Rintik-rintik hujan yang semula hanya membasahi pelan perlahan berubah menjadi deras, menghantam atap dan jalanan dengan intensitas yang terus meningkat. Kilatan petir saling bersahutan dengan gemuruh guntur, seolah langit tengah mengamuk. Angin berembus kencang, menggoyang pepohonan dan menyusup dari sela-sela jendela bangunan tinggi yang menghiasi kota.
Jakarta—kota metropolitan yang nyaris tak pernah benar-benar tidur, kini larut dalam hujan yang tak kunjung reda. Sudah lebih dari dua setengah jam hujan mengguyur tanpa jeda, seperti enggan pergi. Langit menggelap, seolah waktu berhenti berjalan, meski jam tetap berdetak.
Di dalam sebuah perpustakaan kampus yang sunyi dan sejuk, Sahara duduk bersandar di sofa panjang. Ia memeluk kedua lututnya sembari memandangi jendela yang dipenuhi oleh butiran air hujan. Di sisi lain meja, Aliya sedang tenggelam dalam buku psikologi tebal, sementara Nara mengetuk-ngetukkan jarinya di ponsel, sesekali memandangi langit lewat kaca dengan wajah sebal.
Kilatan petir yang begitu terang menyambar, lalu disusul gemuruh guntur menggelegar. Ketiganya terlonjak kecil, spontan terkejut.
“Astaga, hujan ini kapan sih selesainya?” gerutu Nara sambil mengelus dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit melonjak karena kilat tadi.
“Hujan itu rahmat dari Tuhan. Nggak baik ngomel-ngomel begitu, Nara,” sahut Aliya tanpa melepaskan pandangan dari halaman yang sedang ia baca.
“Ya gue tahu, tapi—”
“Kalau udah tahu, diem. Ini perpustakaan, bukan tempat karaoke. Kalau diusir baru tahu rasa lo,” sela Sahara tanpa mengalihkan pandangan dari luar jendela.
Nara mendelik tajam ke arah Sahara, lalu mencibir. “Ish, lo nyebelin banget, sumpah.”
“Memang,” balas Sahara ringan, tanpa beban. Nada datarnya justru membuat Nara makin geregetan.
“Mampus,” timpal Aliya sambil menahan tawa, berusaha tidak bersuara terlalu keras.
Suasana pun kembali tenang. Hanya suara hujan di luar dan desau pendingin ruangan yang mengisi udara. Namun, tak lama, denting notifikasi ponsel memecah keheningan. Sahara yang mendengarnya langsung merogoh saku jaketnya. Ia melihat layar ponselnya, dan tiba-tiba saja tubuhnya menegang.
Nama di layar membuat napasnya tercekat.
“Kenapa nggak diangkat? Diusir baru tahu lo,” ledek Nara, membalas ucapan Sahara sebelumnya.
Sahara menoleh menatap Nara dengan sorot tajam. “Diem lo,” ucapnya pendek, lalu menekan tombol hijau.
“Halo...” suaranya lirih, pelan. Tapi tak ada balasan dari seberang.
“Mas?” panggilnya lagi, sedikit lebih keras. Namun yang ia dapatkan hanya suara bising mesin dan deru napas seseorang—napas yang terdengar berat dan tidak normal.
Sahara hampir menutup panggilan itu sebelum suara lirih memanggilnya.
“Ra...”
Tubuh Sahara membeku. Suara itu—suara yang nyaris tak terdengar, seperti milik orang yang menahan rasa sakit luar biasa—adalah milik Satra, kakak sulungnya. Jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah, Satra menelepon Sahara langsung. Biasanya, jika ada hal mendesak, Satra akan menghubungi Septian atau Samudra.

KAMU SEDANG MEMBACA
NEED - End (PROSES REVISI)
ChickLitPROSES REVISI! ROMBAK ALUR PASTI ADA! BACA ULANG DAN VOTE UNTUK MENGHARGAI USAHA PENULIS. "Bunda... apa Hara harus sakit dulu supaya bisa diperhatikan sama kalian kayak gini?" Sahara tumbuh di tengah keluarga yang utuh di mata orang lain, tapi rapuh...