Odii sedang tenggelam dalam memperhatikan beberapa motif kain yang tersebar di hadapannya ketika suara dering ponsel memecah konsentrasinya. Nama Anne, sahabatnya, tertera di layar.
"Dii, jadi kan nanti?" suara ceria Anne langsung terdengar, bahkan sebelum Odii sempat benar-benar menjawab panggilan itu.
"Iya, jad. Gue langsung ke De'Orion dari toko kain. paling setengah jam lagi gue jalan," jawab Odii sambil melirik jam tangan di pergelangan kirinya, memastikan waktu masih berpihak padanya.
Odii sudah berjanji untuk bertemu dengan dua sahabatnya, Anne dan Citra. Usahanya yang baru dirintis kini menunjukkan perkembangan yang signifikan, begitu pula dengan kesibukan kedua sahabatnya. Kesibukan itulah yang membuat mereka jarang bertemu akhir-akhir ini, meskipun mereka tetap intens berkomunikasi melalui telepon.
Odii memilih beberapa motif kain di toko tekstil untuk produk barunya, membayarnya di kasir, dan meminta salah satu pegawai toko untuk membawakan roll-roll kain tersebut ke mobil yang parkir tidak jauh dari tempatnya berbelanja.
Setelah mengucapkan terima kasih, Odii duduk di kursi pengemudi dan memeriksa jam tangannya. Pukul empat sore, sepertinya dia tidak akan membuat kedua sahabatnya menunggu di De'Orion jika dia langsung menuju ke kafe tersebut.
Jalanan mulai agak macet karena mendekati jam-jam sibuk. Untuk mengusir kebosanan di tengah kemacetan, dia memutuskan untuk menyalakan radio. Senyum tipis muncul di wajahnya saat teringat masa-masa menjadi penyiar radio saat masih SMA. Dia sangat menikmati kegiatan tersebut, namun akhirnya harus berhenti karena harus membantu ibunya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Suara Radhit, vokalis Rama Band, mengalun merdu dengan lagu andalannya yang terkenal di masanya, "Bertahan."
Odii ikut menyanyi dengan setengah suara, namun tiba-tiba ia tersenyum getir saat mengingat kembali masa-masa ketika ia berusaha bertahan dalam hubungan yang toksik. Meski sering kali terluka dan memiliki banyak alasan untuk meninggalkan Devon, mantan kekasihnya, ia tetap sulit untuk berpisah.
Odii tiba lebih dulu di De'Orion. Kafe itu memiliki suasana hangat dengan pencahayaan lembut dari lampu-lampu gantung yang terbuat dari anyaman rotan, menciptakan atmosfer cozy dan ramah. Dindingnya dihiasi mural artistik dengan warna pastel, mencerminkan semangat kreativitas dan keceriaan. Di setiap sudut, terdapat tanaman hijau dalam pot-pot minimalis, memberi kesan segar dan alami.
Kursi-kursi empuk dengan bantal-bantal berwarna cerah tersusun rapi di sekitar meja kayu. Ada sudut khusus dengan sofa besar yang ideal untuk berkumpul, mengobrol, atau sekedar bersantai. Musik akustik mengalun lembut sebagai latar belakang, membuat suasana semakin rileks dan mendukung suasana.
"Jadi, gimana kelanjutan hubungan loe sama si Hizki itu, Ne?" tanya Citra sambil menyeruput minumannya.
Anne mengangkat bahunya. "Gue juga nggak tau sebenernya gue sama dia ini gimana. Kalau dibilang pacaran, Hizki nggak pernah nembak gue. Tapi kalau cuma dibilang temenan, sikapnya kok mengarah ke lebih dari temen ya? Posesif-nya, perhatiannya, pokoknya semuanya."
"Minta kepastian dong. Masa masih jaman main gantung-gantungan gitu? Kita udah bukan anak SMA lagi. Umur jalan terus, say. Ya kali loe mau diginiin terus sampai nenek-nenek nanti?" Citra menasehati.
Odii hanya diam dan menyimak saat kedua sahabatnya menceritakan kisah asmara mereka. Dia tidak punya cerita untuk dibagikan. Sudah lebih dari satu tahun dia menjalani hidup sendirian. Devon adalah mantan pertama sekaligus mantan terakhirnya. Sejak berpisah dengan Devon, Odii belum pernah mencoba menjalin hubungan dengan pria lain.
"Elo kenal Hizki itu dari mana sih, Ne? Apa dia salah satu om dari murid loe?" tanya Citra lagi.
Anne yang memang sedikit tomboy mengajar di salah satu TK bergengsi di kota ini. Sebagian besar anak didiknya adalah blasteran atau anak-anak influencer.
"Enggak. Gue kenal Hizki dari dating apps," jawab Anne dengan santai, yang langsung disambut dengan ekspresi kaget dari Odii dan Citra.
"Gila, loe main begituan? Emang aman?" tanya Odii akhirnya.
"Aman dong. Jangan mikir macem-macem. Yang gue mainin ini aplikasi pencarian jodoh biasa aja. Bukan yang buat esek-esek." Anne memberi tanda kutip dengan jarinya saat menyebutkan kata terakhir.
"Loe gak takut ketemu orang jahat gitu, Ne?" tanya Odii.
"Di sana, gak harus pakai foto asli atau nama asli. Loe bisa pakai avatar atau apa aja. Dan kalau loe merasa gak nyaman saat ngobrol di aplikasi itu, loe bisa skip kapan aja. Aplikasinya juga bisa dipakai buat panggilan suara atau voice note tanpa nunjukkin nomor ponsel kita. Kalau loe merasa nyaman, loe bisa pindah ke aplikasi chat lain seperti WhatsApp atau Telegram. Ya kali baru kenal sebentar gue langsung mau diajakin meet up," jawab Anne santai.
"Dii, kayaknya loe harus ngikutin jejaknya si Anne deh," celetuk Citra.
Odii mengernyitkan dahinya. Citra menoleh ke arah Anne.
"Sini ponsel loe," kata Anne sambil mengulurkan tangannya meminta ponsel Odii. Odii yang belum konek langsung mengeluarkan ponsel dari tasnya dan memberikannya pada Anne.
Anne mengutak-atik ponsel Odii beberapa saat. "Udah beres."
"Apaan sih?" tanya Odii.
"Ih, oneng banget sih ini bocah," kata Citra dengan gemas. "Loe harus nyobain juga main dating apps kayak Anne."
"Enggak, enggak. Gue gak mau main aplikasi-aplikasi begituan," kata Odii sambil berusaha merebut kembali ponselnya.
"Dii... please. Sudahi masa berkabung loe. Kita bukan menyepelekan rasa sakit yang loe rasain. Kita juga ngerasain sakitnya kok. Tapi kita pengen loe bangkit, jangan stuck di sini aja," kata Citra sambil menggenggam tangan Odii.
"Lagian kita juga gak nyuruh loe buat nikah sama orang dari aplikasi itu. Tapi setidaknya loe coba keluar dari kegelapan itu. Kalau gak dapet pacar, paling gak loe punya teman baru," tambah Anne.
"Jadi kalian udah gak mau temenan sama gue nih maksudnya?" tanya Odii dengan nada kecewa.
"Ya gak gitu juga, Dii," jawab Citra nyaris putus asa. "Pokoknya loe cobain aja dulu mainin aplikasi itu. Urusan hasil, belakangan."
Ini adalah pertama kalinya Citra dan Anne berani menyuruh Odii untuk kembali membuka hati setelah kejadian menyakitkan yang akhirnya membuatnya merantau ke kota ini, menyusul dua sahabatnya yang sudah lebih dulu berada di sini.
Meskipun masih ada rasa ragu di hati Odii, ia akhirnya tidak lagi menolak saran dari sahabat-sahabatnya. Mungkin memang sudah saatnya ia bangkit dan memulai lembaran asmara yang baru.
Namun, apakah harus melalui aplikasi kencan online? Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Odii hampir tidak punya lingkaran sosial lain selain lingkungan kerja yang kebanyakan berisi perempuan. Jalur mana lagi yang bisa ia gunakan untuk bertemu orang baru? Apakah di jalur checkout di toko Orange?
Odii baru saja merebahkan tubuhnya di kasur setelah selesai mandi. Tadi sepulang dari De'Orion, ia langsung menuju rumah Mbak Rani untuk mengantar kain yang harus dijahit menjadi beberapa model baju yang akan diluncurkan bulan depan.
Sambil menunggu kantuk datang, Odii membuka ponselnya. Iseng, ia membuka aplikasi yang baru saja diunduh sore tadi atas saran Anne. Ia masuk ke akunnya.
Sunny. Itulah nama pengguna yang tertulis di profilnya. Sisanya masih kosong. Ia lalu memasang foto bunga matahari sebagai gambar profilnya. Setelah itu, ia mulai memikirkan apa yang akan ditulis di kolom bio.
"Nothing special. Karena yang special cuma martabak telor."
Terdengar agak jayus dan kuno, tapi siapa yang peduli? Bagi Odii, ini bukanlah hal yang serius. Ini hanya sebuah hiburan.
Odii meletakkan ponselnya di nakas sebelah ranjangnya, lalu menarik selimut dan memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi Claudia!
ChickLitOdii, seorang gadis dengan trust issue relationship, memilih menyibukkan dirinya dalam pekerjaannya. Dua sahabatnya, Anne dan Citra, sampai memaksanya mendownload aplikasi pencarian jodoh, Amore. Setelah dua kali meet up dengan dua laki-laki berbeda...