🐸 PROLOG 🐸

11 1 0
                                    

ɧąƖƖơ, ƙơɖơʂı 🐸
Kodosi [Kodok Suka Fiksi]

.
.
.
.
.

📖 Ini cerita pertamaku, semoga kalian suka. Dan semoga, ada hikmah yang bisa kita ambil dari cerita ini ya?

Don't forget to:
⭐ Vote ✅
💬 Comment ✅
👥 Follow Author ✅

🐇  Happy Reading  ♡₊

🐇  Happy Reading  ♡₊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*
*
*
--00--

📍 Jakarta, 14 Februari 2014
Dengan derap langkah yang berpacu dengan detak jantungku, aku menerobos kerumunan, melesat ke arah Pak Muhtar—sosok yang telah menjadi penuntunku dalam rimba angka dan formula. Tanpa keraguan, kuabadikan medali emas itu di leherku yang kurasakan masih bergetar oleh adrenalin kompetisi tadi. Ah, Diary, hari ini menjadi epos gemilang bagi seorang Satriya, yang tak kuasa menahan kilauan senyum kebanggaannya. Putra dari keluarga yang hidup dalam kesahajaan ini akhirnya mampu mengharumkan nama almamater dan keluarga tercintanya. Sekalipun tidak beroleh tempat tertinggi di puncak urutan pertama, setidaknya aku telah berjuang sepenuh raga dan jiwa, bukan begitu?

"Pak, ayo langsung wangsul teng Blitar! Kula sampun mboten sabar kepanggih Bapak kalih Ibu. Kangen banget." Kerinduan ini membuncah, menyeruak tak terbendung.

Namun, Diary, betapa herannya aku saat Pak Muhtar tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sorot matanya yang berkabut seolah menyiratkan luka yang tersembunyi di balik wajahnya yang teduh. Perlahan, ia berlutut, kemudian meletakkan tangannya yang hangat di pundakku yang bergetar.

"Pak? Jenengan nopo?" Kutanya ia, berusaha menyelami kegalauan yang terpancar dari matanya yang menyimpan kedukaan.

Diary, hatiku mulai diliputi rasa cemas yang. Mengapa mendadak suasana menjadi duka? Adakah hal yang sedang menghimpit hatinya? Atau mungkin, apa yang sedang aku raih ini membuatnya terharu?

"Kedua orang tuamu telah berpulang kemarin, Sat."

"Loh? Mboten lucu loh, Pak. Berpulang pripun?"

"Tragedi gunung meletus kemarin, Sat. Rumahmu ketimpa batu besar. Ambruk ... Bapak dan ibumu yang berada di dalam, gak bisa diselamatkan.”

Diary, berita itu bagai gelagar petir yang menyambar kuping. Tubuhku bergemetaran, bermandikan peluh dalam sekejap saja. Sakitnya tak terperi, Diary. Bagaimana bisa aku berada di tempat ini, sementara kedua orang tuaku melewati masa-masa terakhir mereka tanpa kehadiranku?

Apakah ini hanya mimpi buruk yang datang tanpa diundang?

"Mereka gak pengen konsentrasimu terpecah, Sat. Orang tuamu sudah berpesan agar tidak ada yang memberitahumu perihal erupsi itu. Mereka hanya ingin kamu fokus pada kompetisi ini." Suara Pak Muhtar terdengar lirih, tangannya yang gemetar dengan lembut menyeka air mata yang tanpa sadar telah membasahi pipiku. "Kami juga sudah memperingatkan mereka untuk segera mengungsi. Tapi_"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SaVeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang