Malam itu, Raka duduk di tepi pantai, memandang laut yang gelap tanpa ujung. Angin malam dingin menusuk kulitnya, tetapi ia tidak bergeming. Ingatannya terus berputar pada momen terakhir bersama Ara, pada senyumannya yang terakhir kali ia lihat, pada genggaman tangan yang terakhir kali ia rasakan. Segala sesuatu tentang Ara terasa begitu dekat, namun begitu jauh.
Waktu seolah berhenti bagi Raka. Ia tidak tahu berapa lama ia duduk di sana, hanya ditemani oleh debur ombak dan bintang-bintang yang berkerlip di langit. Suara Ara masih terngiang di telinganya, seakan ia bisa mendengar gadis itu berbicara padanya, membisikkan kata-kata yang tidak akan pernah bisa ia dengar lagi.
Seminggu berlalu sejak perpisahan di tepi pantai itu. Raka mencoba melanjutkan hidupnya, tetapi setiap sudut kota mengingatkannya pada Ara. Kafe kecil tempat mereka biasa duduk berdua, taman di mana mereka pertama kali mengungkapkan perasaan, dan bahkan jalanan yang sering mereka lewati bersama—semuanya seolah menyimpan jejak kenangan yang membuat hatinya semakin remuk.
Satu pagi, Raka menerima surat dari Ara, yang ditulis sebelum kepergiannya. Tangan Raka gemetar saat ia membuka amplopnya, hati kecilnya berteriak ingin menolak, tetapi rasa rindunya terlalu besar untuk diabaikan. Di dalamnya, ia menemukan tulisan tangan Ara yang rapi namun sedikit goyah:
_"Raka,_
_Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah jauh darimu, dalam cara yang paling menyakitkan. Aku ingin kamu tahu bahwa setiap saat yang kita habiskan bersama adalah momen paling berharga dalam hidupku. Aku tidak pernah menyesal mencintaimu, dan aku akan selalu mencintaimu, bahkan ketika aku tak lagi bisa di sisimu._
_Rak, maafkan aku karena tidak bisa bertahan lebih lama. Aku lelah, Raka. Aku sudah terlalu lama berjuang melawan rasa sakit yang terus menghantui setiap nafasku. Tapi tolong, jangan ingat aku dengan kesedihan. Ingatlah aku dengan senyuman, dengan tawa yang dulu sering kita bagikan._
_Kamu harus bahagia, Raka. Untukku. Untuk cinta kita. Jangan biarkan kenangan ini menjadi beban bagimu. Aku ingin kamu melanjutkan hidupmu, menemukan kebahagiaan yang baru, meskipun itu tanpa aku._
_Aku akan selalu ada di hatimu, tapi biarkan aku menjadi kenangan yang indah, bukan luka yang tak bisa sembuh._
_Selamat tinggal, cintaku._
_Ara”_
Surat itu jatuh dari tangan Raka, air mata membasahi pipinya. Semua rasa sakit yang selama ini coba ia tahan, kini pecah seiring dengan tangisannya yang terisak. Raka merasakan kekosongan yang begitu besar di dalam hatinya. Ara memintanya untuk bahagia, tetapi bagaimana ia bisa bahagia tanpa kehadiran Ara di sampingnya?
Waktu berlalu, musim berganti, tetapi luka di hati Raka tak pernah sembuh. Setiap malam, ia bermimpi tentang Ara, tentang hari-hari indah mereka bersama. Dan setiap kali ia terbangun, ia mendapati dirinya kembali terjebak dalam kenyataan pahit bahwa Ara telah tiada.
Akhirnya, di suatu senja yang mirip dengan senja saat mereka berpisah, Raka kembali ke pantai itu. Ia berdiri di tempat yang sama, memandang ke arah yang sama, seolah mencari sosok Ara di balik langit yang memerah. Namun kali ini, ia merasa ada sesuatu yang berbeda—seperti kehadiran Ara yang masih berada di sisinya, meskipun tak terlihat.
Raka menutup mata, merasakan angin senja yang hangat menyentuh wajahnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tersenyum. Bukan karena kesedihannya telah hilang, tetapi karena ia akhirnya mengerti apa yang Ara inginkan.
Ara tidak ingin ia terus terjebak dalam duka. Ara ingin ia menemukan kedamaian, meskipun itu berarti merelakan cinta mereka yang tak mungkin lagi bersatu.
Senja itu, dengan mata yang masih basah oleh air mata, Raka mengucapkan perpisahan terakhirnya pada Ara, dengan cinta yang tetap utuh namun dengan hati yang perlahan belajar untuk melepaskan.
Dan di ujung senja yang memudar, Raka tahu bahwa meskipun Ara telah pergi, cinta mereka akan selalu hidup di dalam hatinya—abadi, namun tidak lagi menyakitkan.
Tetapi, di dalam keabadian itu, tersimpan juga kesedihan yang tak pernah sepenuhnya hilang.
---
Ara mungkin telah pergi, tapi cinta mereka tetap tinggal, meski hanya dalam kenangan yang manis sekaligus pedih. Raka akhirnya belajar, bahwa mencintai juga berarti merelakan, meski itu adalah hal tersulit yang pernah ia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ujung Senja
RomansaDi Ujung Senja adalah sebuah novel romantis yang menggugah jiwa dan penuh emosi, mengikuti perjalanan Raka dan Ara, dua jiwa yang saling terhubung dalam kisah cinta yang mendalam dan penuh liku. Dikisahkan dari sudut pandang Raka, novel ini membawa...