02 - Terkungkung Pilu

1.7K 264 83
                                    

02. Terkungkung Pilu

'Apakah kelebihan merupakan sebuah kutukan?'

Setahu Sastra, selama ini Kelvin tidak begitu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setahu Sastra, selama ini Kelvin tidak begitu. Kakak tiri pertamanya itu memang memiliki watak sedikit lebih keras dari mereka. Namun, keras Kelvin hanya sebatas susah diatur, tidak mau kalah dalam berbicara, atau sekadar melakukan kenakalan di kampusnya. Tak lebih. Tak pernah sampai mencemooh keadaannya seperti beberapa waktu lalu.

Sastra berani jamin, ini pasti ada hubungannya dengan berita yang sedang memperbincangkan keluarga mereka. Singkatnya, mungkin Kelvin tersinggung. Wajar saja, memangnya siapa yang tidak marah saat fisiknya dijadikan bahan perbandingan? Jika Sastra berada di posisi kedua kakaknya pun, ia mungkin akan melakukan hal yang sama. Kecaman publik itu menyakitkan, asal kalian tahu.

Ah, Sastra benci seperti ini. Memikirkan banyak hal membuat paru-parunya rewel. Padahal sewaktu kambuh tadi ia sudah mengisap inhaler. Namun, sampai sekarang dadanya masih saja memberat. Sastra merasa ada benda yang tersumpal di tengah-tengah jalur pernapasannya. Membuat udara begitu sukar untuk dihidu.

Masih dalam posisi duduk, Sastra meringkuk. Berusaha untuk tidak panik sembari menerapkan sistem bernapas melalui hidung dan mulut. Ia tidak boleh menyusahkan lagi. Aryadanu dan Gayatri pasti sudah tertidur. Begitu juga dengan kedua kakaknya. Namun, usahanya terasa semakin berat kala napas yang keluar mulai mengeluarkan bunyi mirip siulan.

Tidak bisa, jika terus dibiarkan, mungkin Sastra akan kehilangan nyawanya malam ini juga. Jadi, dengan sedikit kesulitan, ia gapai gawai di atas nakas guna mencari nomor seseorang untuk dimintai bantuan.

"Halo, Bi ... bisa tolong ke kamar Sastra sekarang? hah ...."

Tanpa menunggu jawaban, remaja yang sudah pucat pasi itu langsung meletakkan ponsel pintarnya dengan kasar. Semakin memperdalam ringkuk guna mengais udara yang tersisa. Sayangnya, Sastra mulai lemas. Tenaganya sudah terkuras habis akibat berupaya terlalu keras dalam menarik napas.

"Ya ampun, udah lama kambuhnya, Dek?"

Terlalu sibuk dengan sakitnya membuat Sastra tidak menyadari presensi Bi Nanda. Wanita paruh baya yang sudah dipekerjakan sejak ia balita itu tampak panik. Tanpa sungkan membawa wajah pias Sastra untuk menghapus peluh yang membasahi dahinya.

"Jangan panik, napas pelan-pelan, ya? Inhalernya mana?"

"Nebu aja, Bi," pinta Sastra nyaris berbisik. Ia benar-benar lemas. Terlihat dari kelopak matanya yang sudah sayup.

"Yaudah bentar, bibi siapin dulu, ya. Sebentar, ya, Nak?"

Begitu mendapat anggukan, buru-buru Bi Nanda beringsut membuka laci nakas bagian bawah. Mengeluarkan sebuah mesin, slang, cup masker, wadah obat beserta obatnya. Tidak ada keraguan sama sekali, wanita dengan balutan piyama bermotif itu terlihat cukup lihai dengan alat-alat di tangan.

Baswara SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang