05 - Seikat Lara Berbalut Tawa

1.4K 236 157
                                    

05. Seikat Lara Berbalut Tawa

Alih-alih bangkit dan bersiap berangkat ke sekolah, Gio malah betah berlama-lama di kasurnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alih-alih bangkit dan bersiap berangkat ke sekolah, Gio malah betah berlama-lama di kasurnya. Memilih tukar posisi arah samping agar lebih leluasa. Pagi kali ini, ada pemandangan indah yang tak ia temukan di hari-hari biasanya. Membuat Gio enggan beranjak.

Tepat di sebelahnya, ada Sastra yang masih terlelap dengan selimut motif Spiderman membebat hampir dari seluruh tubuhnya. Bibirnya merah dan sedikit terbuka. Memperlihatkan deretan gigi rapih dihiasi dua taring tajam. Matanya juga tampak terbuka. Membuat bulu-bulu lentik di sana semakin kentara. Jangan lupakan alis tebalnya. Ah, bocah putih itu tak ubahnya Pangeran tidur yang sedang menunggu kedatangan sang Cinderella.

"Heh, sange lo pagi-pagi?"

Seseorang melempar guling, membuat Gio spontan membalas.

"Ganggu aja lo, Monyet," tukasnya lalu duduk. Sedetik kemudian, mengulas tersenyum simpul ke arah sang kakak. "Gaya banget, marah-marah. Sekalinya Sastra begitu, selimut kesayangan jug-"

"Bacot lo, kodok. Buru mandi sana. Muka lo mirip bayi bajang."

Selepas kembali menimpuk Gio dengan benda empuk di tangan, Kelvin akhirnya keluar. Menghadirkan tawa gelegar dari bibir yang lebih muda. Menurut Gio, Kelvin itu memang terlalu mengedepankan gengsi. Padahal isi hatinya care setengah mati. Buktinya, tadi malam laki-laki itu bahkan rela bolak-balik naik turun tangga demi mengompres si bungsu yang mendadak demam. Kelvin juga sempat mengambil selimut motif Spiderman kesayangan di kamarnya untuk Sastra pakai. Pun dengan sabar memberi pijatan dan berakhir tidur di sofa sesaat setelah memastikan Sastra nyaman dengan tubuhnya.

"Bang?"

Gio menoleh, mendapati Sastra yang sedang mencoba duduk dengan susah payah. Spontan tangannya ikut membantu. "Nggak usah sekolah, Dek. Istirahat aja di sini. Nanti biar gue bilang ke mama."

Begitu tangan Gio naik hendak menyentuh permukaan dahinya, Sastra langsung mengelak. Ia selalu risi diperlakukan demikian. Oleh siapapun, -kecuali mama.

"Hm," jawab anak itu seadanya. Masih mengumpulkan nyawa.

"Jangan ham, hem, ham, hem, istirahat! Nggak ada baca-baca buku sampe lupa waktu. Lo kalau bandel-bandel gue kirim ke penangkaran binatang buas lo, mau?"

Masih dengan tatapan cekungnya, Sastra menggeleng kecil. Merasa senang karena Gio sudah kembali seperti sedia kala. Tak ada lagi tatapan penuh kecemburuan seperti saat bersama Oma tadi malam. Kakak tengahnya itu telah kembali.

"Bang, soal tadi malem ...."

"Udah, kan gue udah bilang, jangan dipikirin. Tadi malem kita berdua cuma jalan-jalan keliling kota, cari angin buat nyegerin pikiran. Nggak ada sangkut pautnya sama lo, apalagi marah."

Sastra tertunduk, membuat rambut yang belum sempat ia cukur jatuh menjuntai menutupi mata. "Bang Kelvin ...," cicitnya kemudian.

"Tuh anak juga sama. Udah, intinya jangan mikir macem-macem yang bisa bikin lo stres. Nggak baik buat kesehatan." Tangan kanan Gio tergerak menyisir surai Sastra. Bermaksud memberi penenang kecil. "Ya udah, gue mau mandi, siap-siap sekolah. Lo lanjut tidur aja. Nanti gue suruh Bibi antar sarapan ke sini."

Baswara SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang