04 - Selepas Senja Tenggelam

1.5K 267 144
                                    

04. Selepas Senja Tenggelam

Selepas senja tenggelam, kamar nuansa putih itu diselimuti cahaya lembut dari lampu meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selepas senja tenggelam, kamar nuansa putih itu diselimuti cahaya lembut dari lampu meja. Udara malam membawa kesejukan rendah, menyusup pelan melalui jendela yang sedikit terbuka. Aroma teh hangat tercium samar. Seakan ikut serta menenangkan suasana seisi kamar. Di sudut, terdapat kursi empuk menghadap jendela, menawarkan tempat nyaman untuk melepas lelah. Segalanya terasa tenang, hangat, dan damai. Sempurna untuk menikmati malam yang baru saja tiba.

Di atas ranjang luas yang ada di sana, seorang remaja laki-laki duduk. Bersandar pada bantal-bantal yang sengaja ditumpuk. Tangan kirinya menahan buku yang terbuka lebar. Sementara tangan kanan dengan lembut menyibak rambut hitam yang menjuntai menghalangi pandang. Matanya fokus pada deretan aksara yang terhampar di halaman. Seolah setiap hurufnya berbisik langsung ke dalam pikiran.

Sesekali, Sastra tarik napas dalam-dalam. Menghidu aroma kertas yang khas dan menenangkan. Saking nikmatnya, bahkan rasa lelah pun tak mampu menyurutkan niat remaja itu untuk terus membaca. Seolah mencari pelarian dari segala gelisah yang sempat mengusik jiwa.

Rambutnya yang lemas jatuh kembali menyentuh pipi. Namun, Sastra sama sekali tidak terganggu. Seakan terbiasa dengan gerakan sederhana itu. Semakin intens ia meniti kata, semakin tenggelam pula ia dalam dunia fantasi yang kertas-kertas itu cipta.

"Pantes, dipanggil nggak nyaut-nyaut, lagi pacaran sama buku ternyata."

Sastra tersentak saat tiba-tiba ada tangan yang mencubit ringan hidungnya. Spontan mengulas senyum ketika mengetahui presensi sang ibu yang sudah berdiri di sisi samping.

"Cukuran ngapa, Dek? Udah kepanjangan ini. Ribet banget mama liatnya baca sambil ngalingin rambut gitu." Jemari lentik Gayatri tergerak menyisir rambut lebat si bungsu. Meresapi sensasi lembut helai demi helai yang menyentuh permukaan kulit tangan.

Karena nyaman, Sastra lantas menutup buku dan meletakkannya asal. Beralih memeluk pinggang ramping Gayatri sebagai pelampiasan. "Temenin."

Gayatri tersenyum. Masih dalam kegiatan yang sama. "Ya udah siap-siap, gih. Balik makan kita ke barber shop biasa."

Dalam pejamnya, Sastra mengernyit. Hatinya mendadak gusar. Sepengetahunya, Aryadanu itu cukup susah diajak makan bersama di luar. Kecuali dalam situasi tertentu. "Mau makan ke luar?"

"Iya, Sayang. Oma ngajakin. Itu udah kumpul di ruang keluarga. Nungguin kamu nggak keluar-keluar."

Tak sadar, Sastra spontan menghela napas. Bukannya tidak menyukai keberadaan sang nenek, Sastra hanya benci dengan sikap berlebihan wanita renta itu dalam memperlakukannya. Terkesan ... membeda-bedakan.

"Sastra di rumah aja, deh, Ma." Anak itu mengurai pelukan. Kembali ke posisi semula dengan wajah sulit diartikan.

Gayatri langsung paham. Lantas ambil posisi di samping Sastra untuk mengusap pelan pundaknya. "Jarang-jarang, loh, kita makan malam bareng gini. Mumpung papa free juga."

Baswara SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang