BAGIAN 4

666 128 1
                                    

Gracia mengadah ke atas, menatap bintang-bintang di atas langit sana. Tepatnya dari balkon kamar Adel, yang telah lama tak gadis itu gunakan di gedung teather miliknya. karena keterbiasaanya tidur di apartemen Oniel, sang manager.

Gracia berdiri di balkon sesuai perintah si pemilik kamar, karena ingin membereskan beberapa barang-barang yang berserakan.

"Gracia, udah..." Tutur Adel, menghampiri Gracia yang langsung menoleh ke arahnya. "Selamat beristirahat" Sambungnya, tersenyum ragu, menatap Gracia yang masih terlihat dengan raut wajah banyak pikiran.

"Maaf, ngerepotin" Balas Gracia tak enak, ia melangkah mendekati Adel yang tengah berdiri di bingkai pintu balkon itu. "Kamu jadi beres-beres semalam ini" Sambungnya, melirik jam dinding di belakang Adel, menunjukkan pukul dua belas malam.

"Hehehe..." Adel terkekeh kecil, tak menyangka memikirkan Gracia yang terus merasa membebani orang sekitarnya ketika memiliki masalah, seperti saat ini.

"Kenapa ketawa? Aku-? Ada lakuin kesalahan lain ya?" Spontan Adel terdiam, mendengar respon Gracia semakin berpikir berlebihan. Spontan ia meraih tangan Gracia, menuntun Gadis itu masuk ke dalam kamar. Setelahnya mengunci pintu balkon, beserta tirainya.

"Ga ada hubungannya" Saut Adel, membalikkan badan setelah menutup kedua sisi tirai pintu itu. "Aku heran, kamu berpikir jauh kalo lakuin kesalahan" Setelah selesai dengan kalimatnya, Adel melangkahkan kaki duduk di ujung ranjang, tepat di belakang Gracia. "Padahal semuanya ga seburuk yang kamu pikirin" Tuainya, kembali mencoba untuk menenangkan, setelah di bawah pohon bunga kertas tadi berakhir dengan Gracia mengacuhkannya.

"Harusnya- aku nolak project ini" Ucap Gracia mengalihkan pembahasan yang Adel buka. Ia membalikkan badannya, menatap Adel yang tengah terduduk menatap heran. "Aku mau istirahat dari industri perfilman, del" Sambungnya, tersenyum hambar, menyesal memikirkan berita yang terus semakin memburuk.

"Aku ngerti situasinya" Saut Adel, menegakkan badan. "Tapi, sekarang semuanya udah di luar kendali kamu, Gracia" Tutur Adel serius, menatap manik mata sang lawan bicara. "Kamu pasti kehilangan karir. kalo tiba-tiba menghilang dalam situasi buruk" Sambungnya, berusaha menyadarkan Gracia.

"Kenapa kamu bersikeras?" Sambar Gracia, raut wajahnya kian berubah semakin sendu menatap Adel dengan senyum yang mulai memudar perlahan dari kedua sudut bibirnya. "Situasi ini ga semudah apa yang kamu pikir-"

"Gracia!" Potong Adel tak bisa menahan diri, hingga ia berdiri dari duduknya. Menatap wajah Gracia yang mulai mendongak.

Keduanya terdiam, saling menatap dalam manik mata satu sama lain.

Adel memutus tatapan itu sepihak, ia memutar badannya ke belakang, melangkah menuju pintu. Sesampainya disana, ia mengunci kamar itu. Setelahnya kembali melangkahkan kaki mendekat ke arah Gracia.

Sesampainya di hadapan gadis itu, Adel mengulurkan kunci kamar miliknya. "Keluarkan semua keluh kesahmu, kembalikan kunci ini kepadaku setelah selesai" Tuturnya, memberi solusi agar Gracia bisa sedikit meringankan beban pikirannya tanpa gangguan apapun dari luar sana.

Di sisi lain, Gracia terdiam, sejenak ia menatap kunci yang berada di atas telapak tangan Adel. Setelahnya mendongak menatap raut wajah serius dari sang lawan bicara, seraya meraih kunci itu.

"Ga-semudah yang kamu pikirin, Adel" Balas Gracia, kembali menangis, setiap melihat gadis muda dua tahun darinya itu terus berusaha untuk mengamankan suasana hatinya, walaupun telah tertolak berkali-kali. "Aku udah ga tahan-sama semua tekanan ini" Sambungnya, menggeleng perlahan. "Aku-" Gracia menunjuk-nunjuk dada kirinya. "Gabakal bisa tahan sama kamu di project ini" Tuturnya penuh kebencian.

"Kamu bohong" Sanggah Adel dingin, tersenyum hambar. Kecewa mendengar pernyataan dari sang lawan bicara "Apa karena?, aku gabisa ngingat kamu dalam jangka panjang yang udah berlalu itu?" Sambungnya, masih dengan ekspresi yang sama. Air matanya, mulai mengalir di sela tatapan yang tak berkedip.

Gracia terdiam, ia menahan rahangnya agar tak bergetar hebat sesuai perintah otaknya, agar menangis sekuat mungkin. Setelah tau bahwa Adel, telah mengingat siapa dirinya.

"Apa aku? Harus benar-benar pergi dari hidup kamu? Gracia..." Tawar Adel. Seolah melupakan bahwa gadis yang tengah berusaha menahan suara tangisnya itu, adalah...

Sosok gadis yang ia rindukan, setelah kemalangan buruk yang menimpanya. disaat keduanya dekat, dan memiliki perasaan satu sama lain. Walaupun- tak sempat saling mengungkapkan. Tetapi, perasaan itu benar-benar bertarung hebat untuk saat ini.

"Kamu ninggalin aku di masa terburuk itu" Ungkit Gracia dengan suara rendah, mengingat dirinya benar-benar sendiri. di saat keluarganya hancur berantakan, bersamaan dengan kepergian Adel. "Kamu, ngingkarin janji kamu-selalu ada buat aku" Sambungnya, mendorong Adel hingga kembali terduduk di atas kasur, dengan tatapan rasa bersalah serta penyesalan. "Kenapa?!" Bentaknya, sembari melempar kunci itu ke sembarang arah. "KENAPA KAMU NYEMBUNYIIN PENYAKIT ITU DARI AKU?! KENAPA?!" Teriaknya diiringi tangis kepiluan yang sempat tertahan bertahun-tahun lamanya. "Apa aku selemah itu? dan ga pantas tau kondisi kamu?" Tanyanya dengan nada rendah, menatap kecewa. "Kamu selalu ngehindarin aku, bahkan, aku gatau. apakah sikap kamu selama ini karena efek samping operasi. atau-" Gracia menggantung kalimatnya, bibirnya bergetar hebat, di iringi oleh aliran air mata yang semakin deras. "Kamu memang nganggap aku pantas buat kamu, sesuai perkataan ayah kamu di hari itu kan?" Pasrahnya, tersenyum hambar. Mengingat kalimat ayah Adel merendahkannya di kilas balik tujuh tahun lalu.

Dan disaat Adel baru beranjak tujuh belas tahun, Adel menghilang tanpa kabar sedikitpun. Dan setelah satu tahun berlalu, gadis itu kembali menampakkan diri di hadapannya, namun bersikap Seolah menganggapnya tak ada.

"Ge..."

"Lihat, kamu seolah kembali dari kematian, menyebut nama panggilan itu" Saut Gracia, ia menggelengkan kepala seraya menunduk, menatap lantai di bawah sana terlihat buram, karena air matanya terus mengalir tanpa henti.

"Aku-minta maaf" Adel meremas sprei yang ia duduki, tangannya tak bisa menutupi bahwa saat ini ia mengalami kecemasan luar biasa. "Maaf atas semua kerumitan yang udah kamu lewati karena aku" Perlahan ia berdiri tepat di hadapan Gracia yang masih tertunduk. "Ge-terimakasih, telah menyeimbangi kepura-puraanku selama ini" Kedua tangannya menyingkap rambut Gracia yang menutupi wajah sang lawan bicara. "Demi keselamatanmu, dari ayahku. Maaf, semua ini berlebihan karena pria brengsek itu"

"Itu bukan alasan Adel!" Bentak Gracia. Ia mendongak menatap benci dengan iringan air mata yang terus mengalir. "Aku, tidak keberatan. jika memang harus mati di hari itu" Ucap Gracia serius, menatap manik mata Adel yang terdiam dalam lamunanannya menyimak kalimat itu.





𝐒𝐄𝐑𝐎𝐓𝐎𝐍𝐈𝐍 [ 𝐃𝐞𝐥𝐆𝐫𝐞 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang