ᑭᖇOᒪOᘜ

63 22 16
                                    

Sebelum membaca biasakan jadi reader yang nyata ya jangan jadi reader yang ghoib ya karena vote itu gratis ❤

Kisah kehidupan seorang gadis kecil yang pada waktu itu masih berusia 7tahun, dimana kehidupannya mulai berubah semenjak dirinya dan keluarga kecilnya pindah disuatu pulau Madura yang mana disebut dengan pulau garam.

Gadis kecil ini bernama Alisa damawarsa,yang akrab dipanggil Lisa. Lisa berparas cantik, berhidung mancung, berbulu mata lentik, ber rambut hitam pekat, berpipi gembul, dan mempunyai lesung dikedua pipinya. Lisa juga memiliki seorang kakak laki-laki yang bernama Al-Ghifari ramadan. Usia Lisa dan kakaknya cuma beda 3 tahun. Ghifar berparas tampan, berhidung mancung dan mempunyai satu lesung pipi.

Hari pertama keluarganya pindah di pulau garam, dirinya langsung mendapatkan tatapan sinis dari seorang wanita yang umurnya sekitar kepala 4 yang mana wanita tersebut kakak dari ayahnya.
"Iyak benni rommahna buppa'en, deddih jek lengmeleng, kakeh ben sekeluarga jiah mon numpang".Ucap wanita itu dengan bahasa madura Lisa yang tidak mengetahui arti dari ucapannya akhirnya memilih melangkah masuk kedalam rumah sambil mencari keberadaan orang tuanya.
" ma, tadi Lisa ketemu sama wanita ma terus dia bilang gini Iyak benni rommahna buppa'en, deddih jek lengmeleng, kakeh ben sekeluarga jiah mon numpang". Adunya kepada sang mama  sambil meniru gaya wanita tadi yang ia temui.
"Udah ya Lisa mungkin itu hanya bercanda jadi jangan dimasukan kedalam hati ya, Lisa kan anak pinter". Ucap mama yang menangkan putri kecilnya, siapa yang tau jika didalam hati mama dan pikiran mama masih memikirkan ucapan dari kakak perempuan suaminya kepada anaknya.
" Iya ma, sekarang Lisa mau main dulu ya ma". Pamitnya sambil keluar kerumah.
"Iya hati hati sayang".Ucap mama Lisa sambil sedikit berteriak.
Selepas kepergian putri kecilnya fani sebagai Mamanya Lisa langsung mencari keberadaan anwari yang berstatus sebagai suaminya.

Selepas Fani bertemu dengan sang suami Fani langsung menyampaikan apa yang dikatakan putrinya barusan.

" Mas, tadi Lisa baru pulang dari sekolah terus mbakmu ituloh bilang ke Lisa kayak gini,Iyak benni rommahna buppa'en, deddih jek lengmeleng, kakeh ben sekeluarga jiah mon numpang, iya aku tau mas kalau kita disini hanya numpang,mbok yo jangan bilang ke Lisa juga dia tau apa mas, dia masih kecil, doh yooo dadi wong melarat kok koyok diidek idek ngene yo, cek nelongso e aku?!". Ucap Fani sambil nangis terseduh seduh. Melihat istrinya menangis Anwari langsung menegur kakak perempuannya.

"Da, ojok ngomong ngono po'o nak anakku mosok cek nemen e, wong iki lo omah e ibu ambek bapak ojok merasa sok menguasai".
" lapo wong aku lo nggak lapo lapo kok, aku ngomong opo nak anakmu iku". Ucap Asda yang membela diri yang tidak mau disalahkan.
Fani yang mendengar percakapan kedua adek kakak itu langsung menghampiri dan langsung berkata
"Mosok Iyo arek cilik sakmono bujuk an kan nggak mungkin, lakar atimu ae seng elek ning".

" lah, ancen Iyo kok aku nggak ngomong opo opo, lapo emang e aku ha? ".Ucap Asda yang mulai menyolot dengan nada tinggi. Fani yang mulai geram dengan kakak iparnya langsung membantah lagi perkataannya.
" wong podo podo numpang kok yo kedunnyan, iki lo masio bojoku ya duwe hak atas oma iki dadi ojok sok dadi uwong".Ucap Fani sambil menunjuk nunjuk wajah kakak iparnya.
Asda yang tidak Terima dengan perilaku Fani langsung menjambak rambut Fani sambil berjinjit. ditariknya ke kanan dan kekiri, begitupun dengan Fani yang nggak Terima dirinya dijambak akhirnya Fani menjambak rambut Asda ditariknya ke kanan dan kekiri, keatas kebawah, Asda yang berbadan kecil kalah dengan Fani yang berbadan gendut dan tinggi

Anwari yang melihat kedua perempuan itu saling jambak rambut mencoba melerai, namun usaha Anwari sia-sia karena Asda dan Fani semakin terbawa emosi. Anwari, dengan wajah cemas, terus mencoba menarik tangan Fani agar berhenti, sementara Asda tak mau kalah, terus menarik rambut Fani dengan lebih kuat.

"Tolong, berhenti! Ini nggak ada gunanya, ayo berhenti!" teriak Anwari, suaranya serak karena panik.

Namun, kedua perempuan itu seakan tak mendengar, terlalu sibuk saling melukai. Suara keributan mereka menarik perhatian tetangga. Beberapa tetangga keluar rumah, berdiri di sekitar halaman rumah Anwari dengan ekspresi kaget dan penasaran.

"Wah, ada apa ini?" bisik salah satu tetangga.

Keributan semakin menjadi ketika vas bunga yang berada di meja ruang tamu jatuh dan pecah, mengeluarkan suara keras yang membuat tetangga semakin resah. Mereka pun memutuskan untuk memanggil kakak laki-laki tertua dari Anwari, Ashadi, yang kebetulan tinggal tidak jauh dari situ.

Tak lama kemudian, Ashadi tiba, disusul oleh Anwari yang sudah basah oleh keringat. Ketiganya, Anwari, Ashadi, dan Wari, saudara laki-laki mereka yang juga datang membantu, mencoba memisahkan Fani dan Asda. Meskipun Ashadi dan Wari berusaha dengan keras, Fani dan Asda tetap meronta dan saling tarik-menarik.

"Ayo, cukup! Ini tidak pantas untuk kita sebagai keluarga," tegas Ashadi, suaranya dalam dan memerintah. Ia menarik tangan Asda, namun Asda terus memberontak.

Dalam usaha melerai itu, Wari tanpa sengaja terkena pukulan dari Asda, dan sudut bibirnya mulai berdarah. Namun, ia tetap bertahan, fokus pada memisahkan keduanya. Akhirnya, dengan segala upaya, mereka berhasil memisahkan Fani dan Asda. Fani terengah-engah, sementara Asda tetap berteriak marah, matanya penuh kemarahan yang tak kunjung reda.

"Asda, cukup! Jangan tambah keributan ini," perintah Ashadi dengan nada tegas, tetapi Asda tidak peduli. Dia, dalam kemarahan yang memuncak, langsung membanting pajangan vas bunga yang ada di meja pyar, membuat pecahannya tersebar ke seluruh lantai.

"Jangan kira kalian bisa seenaknya di sini!" Asda berteriak, suaranya serak dan penuh kemarahan.

Anwari dan Ashadi, yang masih terkejut dengan aksi Asda, hanya bisa menatap tajam. Sementara itu, tetangga yang menonton dari luar mulai berbisik-bisik, beberapa bahkan pergi untuk menghindari lebih banyak masalah.

Ashadi menatap Anwari dan Fani dengan wajah penuh penyesalan. "Sudahlah, kita harus bicara baik-baik setelah ini. Jangan sampai masalah kecil ini merusak keluarga kita."

Anwari mengangguk lemah, sementara Fani masih terlihat gemetar dan marah. Asda yang masih dipenuhi emosi pun dipaksa mundur oleh Ashadi, sementara Wari menghela napas panjang, mengusap darah di bibirnya dengan tangan yang gemetar. Konflik ini mungkin telah usai, tetapi ketegangan di antara mereka masih terasa sangat kuat.

Ashadi memandangi Asda dan Fani dengan sorot mata yang tajam namun penuh kasih. "Asda, Fani, kalian ini saudara. Tidak seharusnya saling menyakiti hanya karena masalah sepele. Kalian harus belajar menahan diri dan lebih menghargai satu sama lain."

Fani menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir tumpah, sementara Asda hanya diam, menggigit bibirnya sendiri. "Kita sudah hidup bersama sebagai keluarga cukup lama. Jangan biarkan emosi sesaat merusak hubungan yang telah kita bangun," lanjut Ashadi dengan suara yang lebih lembut.

Asda mendengus pelan, tapi tak berkata apa-apa. Fani akhirnya mengangguk pelan, walaupun hatinya masih diselimuti amarah. Ashadi bisa merasakan ketegangan yang belum sepenuhnya hilang, tapi dia berharap waktu akan membantu menyembuhkan luka-luka ini.

Keesokan harinya, suasana rumah masih terasa tegang. Asda, yang tampaknya masih menyimpan sisa-sisa amarahnya, mulai mencari-cari kesalahan. Ketika Lisa, yang baru pulang sekolah, membuka pagar rumahnya dengan pelan, Asda tiba-tiba melangkah keluar dan menegurnya dengan nada sinis.

"Pelan-pelan kalau buka pagar itu, nanti kalau rusak nggak ada yang mau ganti. Apa orang tuamu bisa menggantinya, ha?" bentaknya sambil melotot ke arah Lisa.

Lisa yang tidak menyangka akan mendapat teguran seperti itu, langsung menundukkan kepala dan menggumamkan permintaan maaf sebelum cepat-cepat masuk ke rumahnya. Asda hanya menggelengkan kepala, merasa puas telah meluapkan sedikit kekesalannya, tapi tidak menyadari bahwa tindakannya justru memperburuk suasana.

Anwari yang melihat kejadian itu dari dalam rumah, hanya bisa menghela napas panjang. Dia sadar bahwa masalah ini belum sepenuhnya selesai, dan Asda masih perlu waktu untuk meredakan emosinya. Tetapi Anwari tahu, sebagai kepala keluarga, dia harus lebih sering memberikan wejangan dan mendampingi mereka dengan kesabaran yang lebih besar.

𝐦𝐲 𝐚𝐥𝐭𝐞𝐫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang