acara

14 13 2
                                    

Keesokan harinya, Fani merasa beban hidupnya semakin berat. Setelah peristiwa kemarin dengan Ghifar, ia merasa ada saja musibah yang datang menghampirinya. Pagi itu, saat Fani hendak menyiapkan barang dagangannya untuk hari ini, ia semakin kesal melihat Anwari yang masih saja tidur, seolah-olah tidak peduli dengan keadaan di rumah.

Dengan suara yang penuh kesabaran namun jelas terasa ada nada amarah yang tertahan, Fani berkata, "Coba bangun, Mas. Bantuin aku nyiapin ini di depan."

Namun, Anwari tetap tidak bergerak, masih dengan posisi tidur seperti tidak mendengarkan sama sekali. Kesabaran Fani yang semakin menipis membuatnya merasa tidak dihiraukan. Akhirnya, dengan gerakan cepat dan penuh frustrasi, Fani membanting piring yang ada di tangannya ke lantai, menyebabkan suara pecahan yang keras dan memenuhi ruangan rumah.

Pyar!

Fani, dengan suara bergetar dan mata mulai berkaca-kaca, berteriak dengan penuh emosi, "Ya Allah, Mas! Aku minta bantuan ini aja, kamu kok tega sama aku? Malah tidur terus! Bangun, Mas, bangun!"

Teriakan dan suara piring yang pecah itu akhirnya menyadarkan Anwari. Ia terbangun dari tempat tidurnya dengan wajah yang masih terlihat mengantuk. Melihat piring yang pecah dan Fani yang berdiri dengan wajah penuh keputusasaan, Anwari akhirnya tersadar bahwa ada sesuatu yang salah.

Ia mencoba mendekati Fani, namun Fani sudah terlalu lelah dan kecewa. Anwari mungkin baru menyadari betapa tertekannya istrinya selama ini, namun keegoisannya selama ini membuat situasi semakin sulit untuk diperbaiki. Fani hanya ingin sedikit perhatian dan bantuan dari suaminya, namun setiap hari ia merasa perjuangannya seakan sia-sia.

Anwari akhirnya berkata, dengan suara pelan, "Maaf, aku... aku nggak tahu kalau kamu sampai segini capeknya."

Namun bagi Fani, kata-kata saja tidak cukup. Ia butuh tindakan nyata, butuh suaminya benar-benar hadir untuk mendukungnya. Dengan suara yang masih bergetar, Fani menjawab, "Kalau kamu tahu, Mas, tolong buktikan. Aku nggak bisa terus begini."

Anwari hanya bisa terdiam, menatap Fani yang kini mulai mengumpulkan pecahan piring dengan tangan yang gemetar. Hari itu, Anwari pun mulai memahami bahwa ada banyak hal yang harus ia perbaiki dalam dirinya, jika ia ingin menjaga keluarganya tetap utuh.

Fani yang sudah sangat lelah setelah hari yang penuh tantangan, harus tetap berusaha kuat saat malam itu ada acara pengajian di rumah Ashadi, kakak tertua dari Anwari. Sebagai istri dari Anwari, mau tidak mau Fani harus ikut membantu mengurus keperluan acara, meski tubuhnya sudah hampir tak sanggup lagi. Rumah Ashadi sudah penuh dengan bapak-bapak yang mengikuti pengajian, serta para sepupu dan anak-anak mereka yang ikut meramaikan suasana.

"Fan, kamu bantu yang di dapur ya, bagian takarin kuah rawon," perintah Wenda, adik kedua Anwari.

"Iya, Mbak," jawab Fani tanpa banyak bicara, meski dalam hatinya ia ingin sekali hanya beristirahat.

Di dapur, kesibukan semakin terasa. Cubi, istri dari Darsa, adik ketiga Anwari, menghampiri Fani sambil membawa piring-piring yang sudah berisi nasi, siap untuk dituang kuah rawon.

"Mbak, ini piringnya," ucap Cubi sambil menyodorkan piring-piring tersebut.

"Ya sudah, taruh situ aja, Bi. Sini bantuin aku, Bi," kata Fani, yang mulai merasa kesulitan mengurus semuanya sendiri.

"Iya, Mbak, aku bantu," jawab Cubi sambil menata piring-piring yang sudah diberi kuah rawon.

Setelah doa pengajian selesai, acara dilanjutkan dengan ramah tamah. Para sepupu dan saudara Anwari segera berdiri untuk menyalurkan piring-piring berisi nasi dan kuah rawon ke depan rumah, tempat bapak-bapak berkumpul.

Setelah semua selesai, para sepupu dan saudara dipersilakan untuk makan, begitu juga dengan Fani. Namun sebelum ia sempat duduk untuk makan, Neneng memerintahnya, "Itu anaknya juga ambilkan, Fan."

Fani mengangguk dan memanggil kedua anaknya, "Lisa, Ghifar, ayo makan."

Lisa, yang mendengar namanya dipanggil, segera menghampiri mamanya dan makan bersama Ghifar. Mereka makan dengan lahap, sementara Fani memperhatikan dengan senyum tipis di wajahnya, meski dalam hatinya masih terasa lelah.

Setelah semua saudara-saudara selesai makan dan pulang ke rumah masing-masing, Fani tetap tinggal untuk membantu Neneng mencuci piring yang kotor. Fani tahu posisinya sebagai orang yang tidak berkecukupan, berbeda dengan saudara-saudara Anwari yang lebih mapan. Maka, meski lelah, ia merasa berkewajiban membantu.

Saat mereka berdua mencuci piring, Neneng tiba-tiba bertanya, "Aku denger kemarin kamu ribut sama Asda, ya?"

Fani sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu, tapi menjawab dengan tenang, "Iya, Neng."

"Kenapa? Gara-gara apa kok bisa sampai ribut?" Neneng bertanya, tampak penasaran.

Fani menghela napas sejenak, lalu menjawab, "Cuma gara-gara Lisa masuk ke rumah dan menutup pagarnya itu agak keras..."

Namun sebelum Fani bisa menyelesaikan kalimatnya, ia terhenti, merasa sedikit enggan untuk mengungkit kejadian yang membuatnya sedih dan marah lagi. Tapi Neneng tetap menunggu kelanjutan ceritanya.

"Menurutku si itu cuma hal sepele, tapi Asda tiba-tiba marah besar, sampai-sampai nyalahin Lisa. Padahal anakku nggak salah apa-apa," Fani melanjutkan ceritanya dengan nada yang semakin pelan.

Neneng mendengarkan dengan seksama, dan ia paham betul perasaan Fani. "Yang sabar ya, Fan. Kadang memang ada orang yang sulit dimengerti. Kalau ada apa-apa, bilang aja sama aku."

Fani mengangguk pelan, merasa sedikit lega mendapat dukungan dari Neneng. Mereka pun melanjutkan mencuci piring dalam keheningan, dengan pikiran Fani yang masih berkecamuk antara rasa lelah, frustasi, dan keinginan untuk bertahan demi anak-anaknya.
Setelah selesai mencuci piring yang kotor, Fani merasa lelah tapi puas. Sebelum ia sempat pamit, Neneng memanggilnya. "Fan, ini bawa rawon, telur, sama nasi. Di sini terlalu banyak, eman kalau dibuang mubazir. Kamu bawa yah," kata Neneng sambil menyodorkan bungkus makanan.

"Makasih, Neng," jawab Fani dengan tulus, sambil mulai membungkus nasi, kuah rawon yang berisi daging, dan juga telur. Fani merasa senang karena setidaknya untuk besok , ada makanan yang bisa ia berikan untuk keluarganya tanpa harus memikirkan dari mana lagi ia bisa mendapatkan uang untuk membeli lauk.

Setelah merasa cukup, Fani pun memutuskan untuk pulang. Ia keluar dari rumah Ashadi dan Neneng, lalu mencari Lisa dan Ghifar yang sedang bermain bersama Zaid dan Narman, anak-anak dari Ashadi dan Neneng.

"Lisa, Ghifar, ayo pulang. Salim dulu sama Bapak dan Ibu," perintah Fani kepada anak-anaknya, dengan lembut namun tegas. Fani selalu mengajarkan anak-anaknya untuk menghormati orang yang lebih tua, termasuk memanggil Neneng dan Ashadi dengan sebutan 'Bapak' dan 'Ibu'.

Lisa dan Ghifar segera mendekati Ashadi dan Neneng untuk menyalami mereka. "Buk, pulang dulu, assalamu'alaikum," ucap Fani dengan sopan kepada Neneng.

"Wa'alaikumsalam, Fan. Hati-hati di jalan," jawab Neneng dengan senyum.

Giliran Ghifar yang ikut menyalami Neneng, "Buk, pulang, assalamu'alaikum."

Neneng membalas dengan hangat, "Wa'alaikumsalam, Ghifar. Hati-hati, ya, nak."

Lisa lalu mendekati Ashadi, "Pak, pulang." Lisa menyalami tangan Ashadi dengan sikap hormat.

Ashadi membalas dengan senyum dan nasihat, "Iya, iya, nak. Sekolah yang pintar, ya. Bahagiakan mama sama ayahnya." Ashadi mengusap kepala Lisa dengan sayang.

Disusul oleh Ghifar yang mengikuti dari belakang, "Ghifar pulang, Pak," ucapnya.

Ashadi pun menjawab dengan penuh kasih, "Iya, nak, hati-hati ya," sambil mengusap kepala Ghifar.

Fani kemudian melangkah untuk pulang, "Neng, Mas pamit dulu, assalamu'alaikum," katanya kepada Neneng dan Ashadi, lalu berjalan menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka.

Malam itu, meskipun tubuhnya terasa lelah, hati Fani sedikit lega. Setidaknya untuk besok masih ada makanan yang cukup untuk keluarganya, dan anak-anaknya. Sepanjang jalan pulang, Fani merasa ada beban yang sedikit terangkat, meski ia tahu besok tantangan baru akan kembali menghadang. Tetapi untuk saat ini, ia memilih untuk bersyukur atas apa yang dimilikinya.

𝐦𝐲 𝐚𝐥𝐭𝐞𝐫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang