peluk lelah jiwaku mama

18 10 1
                                    

Lisa mencoba mengatur napasnya yang memburu. Udara sore yang seharusnya menenangkan justru tak mampu menghapus bayangan kelam yang baru saja terjadi. Hatinya terasa sesak, dan ketakutan menggulung dirinya seperti ombak besar yang menghempaskan. Ia tak tahu bagaimana harus menceritakan ini pada siapa pun, terlebih pada Eza, yang selalu menjadi sandaran hatinya. Lisa masih berdiri di halaman, berusaha menenangkan diri dengan angin yang berhembus lembut, namun di dalam dirinya ada badai yang mengamuk.

Eza, yang duduk di bangku halaman, menatap Lisa dengan rasa ingin tahu. Dia melihat sesuatu yang berbeda pada saudara perempuannya-seperti ada kegelapan yang menyelubungi matanya. "Lisa, kamu baik-baik saja?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut dan penuh perhatian. Lisa hanya tersenyum samar, meski di dalam hati ia berteriak meminta pertolongan.

"Aku baik-baik saja, Eza," jawab Lisa dengan suara bergetar, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Dia melirik Zaid yang duduk di samping Eza. Zaid terlihat tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi di kamar tadi. Mata Lisa memerah, menahan tangis dan amarah. Ia tidak ingin membuat keributan di depan Eza, namun bayangan tangan Zaid yang memaksa dirinya untuk melakukan hal yang tidak ingin ia lakukan terus menghantui pikirannya.

Zaid menatap Lisa dengan senyum tipis. Tidak ada rasa bersalah di wajahnya, hanya keangkuhan yang membuat Lisa semakin muak. Hatinya menjerit ingin menjauh dari Zaid, namun tubuhnya terpaku di tempat. Tak ada yang bisa dilakukan Lisa selain bertahan dan mencoba mengendalikan ketakutan yang mulai merayap di benaknya. Di balik senyumnya, Lisa tahu Zaid bukan lagi sosok sepupu yang bisa ia percaya.

Mereka bertiga duduk di sana dalam diam, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Eza, yang tidak mengetahui apa yang baru saja terjadi, merasa ada yang ganjil, tapi ia tidak tahu apa. Ia hanya merasakan suasana aneh di antara mereka, seperti ada sesuatu yang tidak beres.

"Main bola, yuk," Eza mengajak, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang. Namun, Lisa menggeleng pelan.
"Aku ingin duduk saja," jawabnya lemah, matanya tak berani menatap langsung ke arah Zaid. Lisa hanya ingin melarikan diri dari semua ini, namun tak tahu harus bagaimana.

Zaid, yang merasa percaya diri setelah kejadian di kamar, justru semakin berani mendekat ke Lisa. Dia duduk lebih dekat, tangannya terulur ke arah bahu Lisa. Namun, kali ini Lisa bergerak mundur, seolah-olah Zaid adalah api yang siap membakar dirinya.
"Jangan sentuh aku!" teriak Lisa dalam hati, meski bibirnya tetap terkatup rapat.

Dalam ketakutannya, Lisa mulai menciptakan alter ego di dalam dirinya sosok yang kuat dan tak takut melawan. Sosok ini, dalam pikirannya, adalah Lisa yang bebas dari rasa takut dan berani menantang Zaid. Alter ego ini yang akan membantunya bertahan dan melawan rasa trauma yang mulai mengakar dalam dirinya. Mungkin hanya dalam imajinasinya, tapi bagi Lisa, ini adalah satu-satunya cara untuk melindungi diri.

Lisa menatap lurus ke depan, mencoba mencari ketenangan dalam suara angin dan dedaunan yang berbisik lembut. Namun, ketakutan itu tidak hilang. Ia tahu bahwa untuk sembuh, ia harus berani menghadapi apa yang telah terjadi. Tapi untuk saat ini, duduk bersama Eza dan Zaid, Lisa hanya bisa berharap esok hari lebih baik. Ia menatap matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat, berdoa dalam hati agar kegelapan yang menyelimuti hidupnya segera berlalu.
Lisa menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh.

Dia berdiri dengan gemetar dan melihat sekeliling, mencari alasan untuk segera menjauh dari Zaid. Hatinya sudah teramat muak melihat senyum penuh kemenangan di wajah Zaid, sepupunya yang dulu ia anggap sebagai kakak laki-laki yang bisa diandalkan. Waktu seakan berjalan begitu lambat, dan Lisa merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tak ada ujungnya.

"Sudah hampir Maghrib, aku mau masuk dulu," kata Lisa tiba-tiba, memotong keheningan di antara mereka. Suaranya terdengar dingin dan tegas, tak seperti biasanya. Tanpa menunggu jawaban dari Eza atau Zaid, Lisa bergegas menuju rumah, langkahnya cepat dan terkesan terburu-buru.

Eza menatap Lisa dengan alis terangkat, bingung melihat perubahan sikapnya. "Kenapa sih, Lisa? Kok terburu-buru banget?" tanyanya, namun Lisa tidak menjawab. Dia hanya melambaikan tangan tanpa menoleh, masuk ke dalam rumah dengan cepat, seolah ingin segera menghindar dari tatapan Zaid yang mulai membuatnya muak.

Di dalam rumah, udara sejuk menyambut Lisa, namun itu tidak cukup untuk meredakan panas yang membara dalam dadanya. Ia langsung menuju ke kamar mandi, menutup pintu dengan keras, lalu berlutut di lantai, memeluk lututnya erat-erat sambil membiarkan air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh membasahi pipinya. Sementara itu, suara azan Maghrib mulai terdengar, mengisi ruangan dengan gema panggilan sholat yang seharusnya membawa ketenangan. Tapi bagi Lisa, itu hanya mengingatkan bahwa kenyataan yang dihadapinya masih jauh dari kedamaian.

Di luar, Eza dan Zaid masih duduk di bangku taman. Eza terlihat gelisah, merasa ada sesuatu yang salah namun tidak tahu apa. Ia memandangi Zaid, mencoba mencari jawaban di wajah sepupunya itu, tapi Zaid hanya tersenyum tipis sambil bermain dengan batu kecil di tanah, seakan tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Kenapa Lisa seperti itu ya, Zaid?" Eza akhirnya bertanya, mencoba memecah keheningan yang membuatnya tidak nyaman. Zaid hanya mengangkat bahu, lalu menjawab dengan nada santai, "Mungkin dia lagi PMS, Eza. Kau tahu kan, cewek." Jawaban itu membuat Eza mengerutkan kening, merasa jawaban Zaid tak masuk akal, namun dia memilih diam.

Saat itu, Neneng, ibu dari Zaid dan Eza, keluar dari rumah dengan langkah tergesa. Wajahnya tampak serius, seolah ada yang ia khawatirkan.
"Kalian berdua masih di luar? Sudah Maghrib, cepat masuk dan sholat," ujarnya tegas. Neneng memandang kedua anaknya, lalu beralih pada Lisa yang terlihat buru-buru masuk rumah.

"Kalian tidak dengar suara azan? Ayo masuk," lanjutnya sambil menggandeng tangan Eza dan Zaid.

Neneng, yang juga bibi Lisa, sangat memperhatikan kedisiplinan dalam keluarga, terutama soal ibadah. Ia selalu berusaha menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya dan juga keponakannya, Lisa dan Ghifar.

Di dalam, Lisa sudah selesai berwudhu. Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya sendiri. Ia merasa asing dengan refleksi yang dilihatnya-seorang gadis muda dengan mata bengkak dan bibir gemetar.
"Aku harus kuat," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba menanamkan semangat yang perlahan mulai pudar. Dia tahu, menjalani hidup di bawah atap yang sama dengan Zaid akan menjadi ujian berat yang harus dihadapinya setiap hari.

Neneng masuk ke ruang keluarga, melihat Lisa yang berdiri di sudut.
"Lisa, sudah siap sholat? Ayo kita berjamaah," ajak Neneng sambil tersenyum lembut. Lisa mengangguk, berusaha memasang wajah yang lebih tenang di hadapan bibinya. Ia tak ingin Neneng tahu apa yang baru saja terjadi. Ia tahu, menyembunyikan kebenaran bukanlah hal yang baik, tapi untuk saat ini, Lisa hanya ingin semua tetap tenang.

Mereka semua berkumpul di ruang keluarga, siap untuk sholat berjamaah. Zaid berdiri di sebelah Eza, sementara Lisa berada di sebelah Neneng. Selama sholat, Lisa berusaha keras memusatkan pikirannya pada doa dan bacaan. Namun, setiap kali ia mencoba menenangkan diri, bayangan kejadian di kamar tadi kembali menghantuinya. Rasa takut dan marah berbaur menjadi satu, membuat Lisa sulit fokus. Air mata mengalir lagi, tapi kali ini ia berusaha menyembunyikannya, agar tak ada yang melihat kesedihannya.

Setelah selesai sholat, Lisa segera beranjak dari tempatnya, menuju kamar tanpa berkata apa-apa. Neneng melihatnya dengan tatapan khawatir, namun memutuskan untuk tidak bertanya. Di kamar, Lisa menutup pintu dan mengunci diri. Ia berbaring di tempat tidur, memeluk bantal dan membenamkan wajahnya. Lisa merasa terjebak dalam kesedihan dan trauma, dan dia tahu bahwa ini bukanlah sesuatu yang akan hilang dengan mudah.

Ia berpikir untuk memberitahu neneknya, atau mungkin ibunya, tapi ketakutan bahwa tidak ada yang akan mempercayainya membuat Lisa tetap diam. Alter ego dalam dirinya mulai mengambil alih, sosok yang kuat dan berani melawan Zaid di dalam pikirannya. Sosok ini mengajarkan Lisa untuk tidak tunduk pada ketakutan, untuk melawan meski hanya dalam bayangannya sendiri. Alter ego ini memberinya kekuatan, meskipun hanya sementara, untuk bertahan dan tidak hancur.

Malam itu, Lisa terjaga lama di kamarnya, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ia bertekad suatu hari nanti, ia akan punya keberanian untuk menghadapi Zaid dan mengungkapkan kebenaran. Tapi untuk saat ini, Lisa hanya bisa berharap dan berdoa, agar Tuhan memberi kekuatan untuk melewati hari-hari yang penuh tantangan ini.

Lisa memejamkan mata, mencoba tidur di tengah hiruk pikuk pikiran yang masih berputar. Ia tahu, perjalanan menuju pemulihan akan panjang dan berliku, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah. Hari ini mungkin gelap, tapi Lisa percaya, akan ada sinar yang datang di ujung sana. Ia hanya perlu bertahan, sedikit lebih lama, sampai ia menemukan cahaya itu.

𝐦𝐲 𝐚𝐥𝐭𝐞𝐫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang