The Maid 05

161 21 4
                                    

Warning! Sex*al abuse. Jangan ditiru ya dek yaaa ...

"K-Kakak," ucap Arinda dengan suara gemetar saat dia berdiri.

Melihat pakaian adiknya yang berantakan, rahang Askara mengeras. Tanpa banyak bicara, dia melangkah cepat menuju Alden dan menghantam pipinya dengan keras. "Dasar bajingan! Beraninya kamu menyentuh Arinda, adikku?!" teriaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Alden, aku mempercayaimu! Kau temanku, bukan orang asing! Beraninya kau mengkhianati kepercayaanku?!"

"Kakak, jangan!" Arinda memegang erat baju Askara, berusaha menghentikannya. "Kumohon, Kak. Cukup ..." Suaranya bergetar, diiringi pukulan-pukulan lemah yang dilayangkannya ke punggung kakaknya.

"Askara, aku ... maafkan aku ..." Alden mengucapkan kata-kata itu dengan terputus-putus, darah mengalir di bibir dan sudut matanya. Pukulan Askara membuat salah satu matanya sulit terbuka.

Sejenak Askara terdiam, mendengar isak tangis Arinda yang begitu memilukan. Namun, saat Alden turut berbicara, kemarahannya kembali membara. Dia mencengkeram kerah baju Alden dengan lebih kuat. "Maaf? Itu yang kau katakan?!"

"Aku yang memulainya, Kak! Aku yang mendekati Kak Alden, memintanya untuk terus menemuiku dan menyembunyikannya dari Kakak!"

"Kau yang memulainya, Arin?" tanya Askara dengan nada tak percaya. "Mengapa? Untuk apa? Mengapa kau melakukan itu?" Askara melepaskan cengkeramannya dari Alden dan mengguncang bahu adiknya. "Aku pernah bilang padamu, Alden tidak berniat menikah! Kau itu adikku! Jika kau ketahuan menghabiskan malam dengan pria yang belum menjadi suami dan tidak akan menikahimu, itu akan sangat memalukan!"

"Aku tidak peduli! Aku melakukannya karena muak selalu diatur, jadi aku memutuskan untuk memberontak!" Arinda berteriak, lalu terduduk lemas. Air matanya mengalir deras, kepalanya tertunduk dengan kedua tangan terkulai di sisi tubuh. "Kalau bukan dengan Kak Alden ... aku tidak ingin menikah dengan siapa pun."

"Kau ... apa? Kau muak karena selalu diatur, lalu menyerahkan dirimu pada seseorang seperti Alden? Apa sekarang kau punya perasaan terhadapnya?!"

"YA! Kak Alden tidak tahu apa pun, akulah yang membuatnya terjebak dan ... dan tidak bisa menolak permintaanku—"

"Tidak, itu semua salahku ..." Alden berusaha bangkit sambil menyeka darah yang mengalir di dagu dan pipinya. "Aku yang akan bertanggung jawab menikahi Arinda. Kau tidak perlu khawatir soal kehormatan adikmu, dengan begitu kau tidak punya masalah lagi, Askara."

"Tapi kau tidak benar-benar berniat menikahinya, Berengsek!"

"Sekarang aku ingin menikahi Arinda."

"Apa kau serius?" Tatapan Askara tajam dan penuh keraguan. "Kau tidak mengatakan itu hanya untuk mengakhiri semuanya dengan cepat, kan? Aku sangat mengenalmu dan tahu cara berpikirmu, jadi jangan coba-coba menipuku!"

"Selama Arinda menginginkannya, aku akan melakukannya."

Arinda tertegun mendengar ucapan itu, namun sebelum bisa merenungkannya lebih jauh, suara Askara kembali memanaskan suasana. "Arinda tidak akan pernah menolak, dia sudah dibutakan oleh perasaannya. Sebagai kakaknya, aku tidak akan membiarkan dia hidup dengan kehormatan yang telah ternoda. Jika kata-katamu tidak sungguh-sungguh, aku tidak punya pilihan selain berduel denganmu hingga salah satu dari kita mati!"

"Sampai akhir pun, Kakak masih egois memutuskan sesuatu tanpa mempertimbangkan pendapatku," lirih Arinda, air mata masih mengalir di pipinya.

"Pikirkanlah, Arin, semua ini demi kebaikanmu."

Saat Askara berdiri, Arinda memilih mendekat ke sisi Alden, seakan sudah tak peduli lagi dengan kakaknya. "Aku—"

"Jawabanku tetap sama," potong Alden sambil meraih lengan Arinda dan menggenggamnya erat. "Aku akan menikahi adikmu. Suka atau tidak, kau harus menerima ini, Askara."

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang