The Maid 03

187 17 4
                                    

"Kau begitu menyukai bunga itu, Nara?"

Naraya menoleh dan mengangguk. "Ya, Nona. Ini bunga mawar pertama yang saya hadiahkan untuk diri saya sendiri," jawabnya dengan senyum lepas.

"Kenapa menolak saat ingin kubelikan? Kau bahkan bisa dapat satu buket, bukan hanya satu tangkai."

"Bukan begitu ... karena ini hadiah untuk saya sendiri, jadi saya akan membelinya dengan uang sendiri."

Arinda masih berusaha memahami kata-kata Naraya, tetapi akhirnya dia menyerah dan menerima alasan pelayannya. "Baiklah, asal itu bisa membuatmu senang, maka aku juga ikut senang mendengarnya."

"Terima kasih, Nona," ucap Naraya.

Mobil terus melaju membawa mereka kembali ke mansion. Naraya memutuskan melihat pemandangan yang mereka lewati setelah tidak ada percakapan lanjutan dari Arinda. Keheningan yang melingkupi sama sekali tidak membuat bosan; justru Naraya menikmati sekaligus memberi waktu pada majikan mudanya untuk beristirahat setelah menghabiskan sebagian waktu berjalan-jalan di luar.

Sebenarnya, kehidupan nona muda berusia 25 tahun ini tidak sepenuhnya membosankan. Meski tidak terlalu bebas, Arinda tetap bisa melakukan apa yang dia mau asalkan sudah mendapat izin dari Askara. Jadi, segala sesuatu harus melalui persetujuan dari pria itu terlebih dahulu. Jika tidak, Arinda tak bisa berbuat apa-apa sekalipun dia menginginkannya.

Kalau dilihat dari sudut pandang Naraya, menjadi Arinda tidak buruk juga. Asalkan menuruti aturan, maka segalanya akan terjamin. Apa yang dibutuhkan terpenuhi tanpa perlu bersusah payah untuk mencari, mengingat mereka terlahir kaya dan Askara adalah seorang pebisnis sukses. Sayangnya, segala sesuatu tidak mungkin sesederhana itu. Selalu ada hal-hal yang bertentangan dengan keinginan pribadi. Jadi, apa yang dipandang baik oleh Naraya, tidak akan sama dengan pandangan Arinda.

"Sampai saat ini, Kakak belum tahu hubunganku dengan Kak Alden, kan?"

Naraya menoleh kembali, kali ini dengan ekspresi jauh lebih serius, lalu mengangguk. "Saya bisa pastikan itu," ujarnya. "Nona tidak perlu khawatir."

"Syukurlah. Kau memang selalu bisa diandalkan, Nara."

"Tapi ... mau sampai kapan Nona ingin menyembunyikannya? Tidak mungkin kalian terus bermain kucing-kucingan di belakang. Apa tidak sedikit pun ada niat untuk jujur? Kalau Nona dan Tuan Alden sama-sama ingin serius, pasti kalian akan memikirkan berbagai cara agar bisa mendapat restu dari Tuan Askara."

"Masalahnya ..." erang Arinda pelan, saat menyandarkan punggungnya ke jok, "Kakak dan Kak Alden berteman, mereka mengetahui sifat satu sama lain. Terlebih, aku belum tahu perasaan Kak Alden yang sebenarnya. Apa dia mencintaiku, atau hanya sekadar tertarik untuk memuaskan rasa penasarannya terhadapku."

Kelopak mata Naraya sedikit melebar mendengar penjelasan itu. "Jadi? Nona selama ini mengambil banyak risiko demi seorang pria yang belum memberikan kepastian?"

"Iya," jawab Arinda lemah.

"Astaga, Nona! Saya pikir kalian saling mencintai, makanya saya rela mengorbankan di—"

Penasaran kenapa tiba-tiba Naraya menghentikan kata-katanya, kedua alis Arinda menekuk dengan tatapan penuh tanda tanya. "Mengorbankan apa? Beritahu aku apa yang sudah kau korbankan, Nara," desaknya.

"I-itu ... waktu, tenaga, bahkan pekerjaan saya! Seandainya Tuan Askara tahu, tamatlah riwayat saya!"

"Makanya, usahakan jangan sampai ketahuan. Bantu aku sedikit lagi, ya, Nara?"

Mengabaikan sikap hormat di hadapan majikannya, Naraya memilih buang muka karena tidak ingin luluh pada tatapan memelas Arinda. Selama ini saja dia sudah kesulitan, jadi mau sampai kapan dia akan terus berada dalam kesulitan? Askara belum tahu saja, Naraya terus dijadikannya permainan. Apalagi kalau sampai tahu, Naraya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya ke depan.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang