The Maid 04

166 17 1
                                    

Naraya memijat pelan pelipisnya yang terasa nyeri. Sudah lebih dari seminggu dia merasakan sakit ini, tanpa tahu pasti apa penyebabnya. Naraya belum sempat memeriksakan diri, terlalu sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk hingga kesehatan dirinya sering terabaikan.

Memilih menutup kembali kotak obat di tangannya, Naraya memutuskan kali ini melewatkan morning after pill lagi. Dia merasa efek samping yang dirasakannya mungkin disebabkan oleh seringnya mengonsumsi pil tersebut. Lagi pula, setelah pertengkaran terakhir, Askara belum memanggilnya untuk kebutuhan pribadi, itu memberi Naraya sedikit ruang untuk bernapas lega. Setidaknya, dia tak perlu mengkhawatirkan soal kehamilan karena mereka tidak sedang berhubungan.

Merasa sudah cukup bisa menahan rasa sakit, Naraya memutuskan keluar kamar untuk kembali bekerja. Dalam perjalanan menuju mansion, dia berpapasan dengan Bu Sri, kepala pelayan, yang terlihat kesulitan membawa pot tanaman besar.

"Saya bantu angkat, Bu," tawar Naraya. Tanpa menunggu jawaban, dia sudah memegangi sisi lain pot dengan kedua tangannya. "Mau diletakkan di mana palem sikas ini?"

"Terima kasih, Nara. Kebetulan sekali, tuan memintaku memindahkannya ke kamarmu."

Langkah Naraya seketika terhenti. Dia menatap Bu Sri dengan bingung. "Untuk apa? Tuan belum memberitahu saya soal ini."

"Aku juga tidak tahu, tanyakan saja nanti setelah kita menyelesaikan ini."

"Tapi—"

"Ini perintah, lakukan saja tanpa banyak tanya. Oke?"

Dengan raut wajah yang masih bingung, Naraya mengangguk pelan dan menyesuaikan langkahnya dengan Bu Sri. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di kamar Naraya. Bu Sri yang mengatur posisi pot, menempatkannya di sudut ruangan dekat tempat tidur, karena menurutnya itulah tempat yang tepat dan terjangkau oleh sinar matahari.

"Nah, selesai. Sekarang kita kembali ke mansion, ada banyak pekerjaan yang menanti."

Naraya kembali mengangguk tanpa berkata apa-apa, meskipun pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa Bu Sri tidak merasa aneh dengan perintah Askara ini? Dan apa sebenarnya makna menempatkan palem sikas di kamarnya? Askara tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa alasan.

Setelah pria itu pulang kerja, Naraya harus menemuinya dan meminta penjelasan. Mungkin Askara bukan lawan bicara yang baik, tetapi setiap pertanyaan yang Naraya ajukan selalu dijawabnya dengan lugas tanpa berbelit-belit. Meski sulit diakui, Naraya sedikit—hanya sedikit—menyukai sikapnya yang seperti itu.

***

Pusing Naraya kembali muncul ketika Nila memberitahu bahwa Arinda mengurung diri di kamar seharian dan menolak semua makanan yang dibawakan oleh pelayan. Tentu saja, ini kabar yang tidak biasa. Merasa ada yang tidak beres, Naraya segera pergi menuju kamar Arinda untuk mencari tahu penyebabnya.

"Nona," ucap Naraya sambil mengetuk pintu beberapa kali. "Ini saya. Boleh saya masuk?"

Tidak ada jawaban. Naraya terus mengetuk hingga akhirnya Arinda, yang mungkin sudah bosan, mulai membukanya.

"Masuklah," ujar perempuan itu, dengan suara serak, mata yang membengkak, dan rambut yang tidak serapi biasanya.

Naraya menghela napas sejenak sebelum mengikuti Arinda masuk dan menutup pintu di belakangnya. Suasana kamar yang remang-remang dan kondisi Arinda yang berantakan sudah memberikan sedikit gambaran. Sepertinya memang ada masalah serius terjadi yang membuat Arinda murung dan kehilangan selera untuk melakukan aktivitas rutinnya.

"Apa yang terjadi? Saya dengar Anda menolak semua makanan hari ini."

"Bagaimana aku bisa makan, sementara hatiku terasa sakit, Nara." Tak lama setelah mengatakan itu, tangis Arinda pecah, dan kedua bahunya mulai bergetar. "Kak Alden memintaku untuk berhenti menemuinya. Ternyata itulah jawaban atas keingintahuanku tentang perasaannya."

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang