prolog

196 8 2
                                    

Juni, 2011

Jantung Tristan berdegup kencang kala derap langkah kakinya berjalan cepat memasuki area gedung khusus kelas 12. Laki-laki bermata bulat itu sangatlah gugup, terlihat dari refleks tangan kirinya yang berulang kali membenahi letak kacamata tebal–pembantu penglihatan kedua netra miopianya tersebut. Tak dapat dipungkiri pula, keringat tengah mengalir deras dari kedua telapak tangan Tristan sampai-sampai membuat surat beramplop merah muda di dalam genggaman laki-laki itu jadi basah pada beberapa sisinya. Meski seluruh koridor gedung khusus kelas 12 ini tampak lebih sepi dari biasanya–atau bahkan hampir tidak ada orang sama sekali dikarenakan seluruh murid kelas 12 sedang sibuk merayakan hari kelulusan Ujian Nasional di aula sekolah— dan tidak ada yang melihat dia masuk ke area gedung kelas 12, masih belum mempan juga untuk membuat perasaan Tristan lebih rileks. Justru sebaliknya, laki-laki itu grogi setengah mati!

Bagaimana tidak, saat ini Tristan secara nekat hendak menyatakan perasaan kepada salah satu kakak kelas 12 yang sudah hampir setahun lamanya dia sukai dalam diam. Tindakan Tristan tersebut tidak sesederhana momen menyatakan perasaan kepada sang cinta pertama saja, melainkan keputusan penuh risiko yang mempertaruhkan nama baik serta citra laki-laki bermarga keluarga Wisesa itu selama beberapa tahun ke depan. Oleh sebab, sebentar lagi dia akan menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya kepada si pujaan hati. Bahwa, Tristan Andrias Wisesa adalah seorang penyuka sesama jenis. Dia gay, dan orang yang sebentar lagi akan Tristan berikan 'surat cinta' buatannya itu adalah Saka Putra Lokantara, mantan ketua OSIS sekaligus panitia MOS angkatan Tristan yang akan lulus dari sekolah ini tak lama lagi.

Memang terdengar mustahil laki-laki sesempurna Saka Putra Lokantara akan membalas perasaan dari orang seperti Tristan. Jika dibandingkan, mereka bagai langit dan bumi. Tidak berada pada satu level yang sama. Saka sendiri termasuk dalam jajaran siswa terkenal di sekolah. Dia adalah ketua OSIS yang etos kerjanya terbaik sepanjang sejarah, memiliki nilai akademik yang cukup bagus, serta telah mengantongi berbagai prestasi tingkat nasional cabang beladiri pencak silat. Aura straight yang kental pun menguar hebat pada diri laki-laki itu–menurut radar gay pemulanya Tristan. Sedangkan Tristan? Dia tidak jauh-jauh dari deskripsi seorang siswa pecundang. Tampangnya tidak begitu menjual, badannya terlalu kurus dan tidak jantan, kemampuan akademik maupun non-akademiknya pun payah. Soal kemampuan bersosialisasi? Apalagi itu, dia mendapat nilai nol besar!

Akan tetapi, meski semua ketimpangan itu menghantuinya selama beberapa bulan terakhir, Tristan tetap tidak gentar untuk mantap menyatakan perasaan. Masa bodoh dengan semua fakta menyakitkan tersebut, dia tak mengindahkan itu semua. Yang dia utamakan hanyalah memberi surat cintanya kepada Saka untuk mengutarakan perasaannya kepada laki-laki itu segera, karena Tristan tidak tahu kapan lagi dia bisa bertemu dengan sang cinta pertama setelah kelulusannya. Kesempatan emas ini tidak ingin Tristan lewatkan dan berujung disesalinya seumur hidup. Apapun hasilnya nanti, laki-laki itu sudah menyiapkan mental.

"Loker 145, 145, kelas 12 IPA 8..."

Berulang kali Tristan menggumamkan nomor loker milik Saka beserta kelas yang laki-laki itu tempati supaya tidak lupa. Sedikit informasi, karena tidak begitu banyak punya teman–atau bahkan Tristan tidak punya teman sama sekali di sekolah— dan bukan dari kalangan siswa yang populer, Tristan hanya bermodalkan informasi sekecil itu–yang dia dapatkan setelah berbulan-bulan menggali informasi di ruang BK secara mandiri, tanpa meminta bantuan siapapun— untuk mengirimkan surat cintanya kepada sang pujaan hati. Derap langkah si laki-laki semakin naik kecepatannya, kedua penglihatan Tristan pun dengan teliti menelisik deretan pintu di sebelah barat koridor lantai dua ini guna mencari-cari keberadaan kelas 12 IPA 8–yakni kelasnya Saka.

"Ah, itu dia!"

Senyum Tristan terbit perlahan, seruan kelegaan lolos dari bibir mungilnya kala kedua kaki si lelaki bermarga Wisesa berhasil berpijak di depan pintu kelas 12 IPA 8. Dengan napas sedikit tertatih-tatih–paska setengah berlarian demi menemukan kelasnya Saka, Tristan mengalihkan pandangannya ke deretan loker berwarna biru lusuh milik siswa kelas 12 IPA 8 yang terletak persis di seberang pintu masuk kelas 12 IPA 8. Tristan kemudian mencari-cari keberadaan loker bernomor 145 dengan cekatan. Tak butuh waktu lama, dia langsung berhasil menemukan dimana letak loker 145 tersebut. Ya, ada di deretan tengah loker dan posisinya persis di ujung paling kanan.

Tanpa ada keinginan untuk mengulur waktu lebih lama lagi, Tristan pun segera menghampiri loker bernomor 145 itu. Benar saja, tertulis nama sang empunya loker di depan pintunya dengan spidol hitam permanen, S. Putra Lokantara. Tulisan itu memang buruk rupa bagai tulisan seorang dokter sepuh, namun masih bisa Tristan baca dan meyakinkannya kalau informasi minim dari ruang BK itu memang benar. Kedua tangan si lelaki bermarga Wisesa alhasil memasukkan sepucuk surat beramplop merah muda–alias surat cintanya— yang dibawanya itu lewat celah kecil di bawah pintu loker nomor 145. Begitu suratnya masuk ke dalam loker, Tristan lalu menangkup kedua tangannya dan menutup mata–guna memanjatkan doa singkat sebelum benar-benar angkat kaki dari sana.

Usai merapalkan bait demi bait doa, barulah Tristan membuka mata kembali dan mengakhiri doanya. Dia lalu berbalik badan meninggalkan deretan loker milik siswa kelas 12 IPA 8 itu dalam keadaan jantung yang kian bergemuruh. Langkah Tristan terasa lebih berat daripada saat datang kemari tadi, namun anehnya, senyuman di bibir laki-laki itu tak luntur-luntur. Meski harap-harap cemas menantikan respon dari sang pujaan hati, perasaan Tristan terasa jauh lebih ringan selepas memberanikan diri menyatakan perasaan yang dipendamnya selama hampir setahun ini–lewat sepucuk surat cinta. Tristan sudah menyiapkan diri dari jauh-jauh hari tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi bila Saka membaca surat cintanya nanti. Entah kemungkinan laki-laki pemilik marga keluarga Lokantara itu ternyata adalah seorang homophobic yang langsung membuang surat Tristan seusai membacanya, atau kemungkinan kalau Saka merupakan seorang penindas yang tega menyebarkan surat cinta Tristan ke orang lain untuk mengolok-olok dirinya yang gay, atau juga kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya yang bisa saja terjadi. Tristan memilih untuk tak terlalu ambil pusing dengan itu semua. Dia sudah cukup puas berlaku nekat sampai sejauh ini, setidaknya dia tidak akan menyesal seumur hidup.

"Oi, bocah kacamata!"

Ketika sudah belasan langkah kakinya menjauhi deretan loker kelas 12 IPA 8, seruan penuh intimidasi itu bagai petir yang menyambar telinga Tristan. Keringat dingin seketika mengucur dari pelipis laki-laki itu. Jantungnya seolah turun ke dengkul, serasa nyaris berhenti berdetak selama sesaat. Dengan takut-takut, Tristan pun kembali membalikkan badan demi mencari sumber suara tipe alto itu tadi. Dia sempat kebingungan sendiri di dalam hati. Seingatnya, Saka itu memiliki tipe suara bass, tidak secempreng suara seruan barusan. Lantas, siapa yang meneriakinya tadi? Apakah ada orang lain yang memergokinya saat menaruh surat cinta ke loker milik Saka?

Alhasil, betapa terkejutnya Tristan kala mendapati sesosok laki-laki dengan fitur muka yang lumayan mirip dengan Saka–namun terlihat lebih antagonis dibandingkan Saka— tengah bersandar di depan loker nomor 145 milik kelas 12 IPA 8 sambil memegang surat cintanya. Laki-laki yang rambutnya dicukur cepak itu memakai seragam sekolah yang sudah penuh berisi coretan-coretan selebrasi kelulusan–baik pada kemeja maupun celana panjang abu-abunya, memiliki tinggi kira-kira 183 cm–sedikit lebih tinggi dari Saka, dan terdapat lesung pipi di kedua sisi wajah. Saat mereka beradu pandang, laki-laki bertipe suara alto itu kembali berseru sambil tersenyum miring ke arah Tristan. "Ternyata lu suka sama gua, ya?" cetusnya dengan nada meremehkan. "Lu homo, kah?"

Detik itu juga, kedua mata Tristan membelalak bak nyaris keluar dari tempatnya berada. Refleks, kedua kaki laki-laki bertubuh kurus itu pun langsung berlari secepat kilat menuruni tangga gedung khusus kelas 12 sembari mengabaikan teriakan laki-laki di belakangnya. Sial, beribu sial! Tristan ternyata memasukkan surat cintanya ke loker yang salah! Bukannya ke loker milik Saka, tapi dia malah memasukkan surat cintanya ke loker milik kakak kembarnya Saka, yaitu Satria Putra Lokantara! Kenapa Tristan bisa lupa kalau pujaan hatinya itu memiliki saudara kembar yang juga bersekolah di sini!?

TBC

Moonstruck || SailubPon auTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang