Kenangan Dibalik Senja

8 2 0
                                    


Matahari mulai merangkak turun, menebarkan semburat jingga yang hangat di langit desa kecil tempat Lia tumbuh. Suara azan maghrib berkumandang, mengisi udara dengan ketenangan. Lia kecil, dengan rambut hitam yang dikepang rapi oleh Ummi, berlari-lari kecil di halaman rumahnya. Usianya baru delapan tahun, namun kecerdasannya sudah terlihat jelas. Abi sering berkata bahwa Lia memiliki pikiran yang tajam dan hati yang lembut, kombinasi yang sempurna untuk menjadi seseorang yang besar suatu hari nanti.

Rumah Lia sederhana, terbuat dari kayu dengan pekarangan luas yang ditanami berbagai bunga oleh Ummi. Di tengah-tengah pekarangan, berdiri sebuah pohon mangga tua, saksi bisu dari tumbuh kembang Lia dan kedua saudaranya. Kakak perempuannya, Nadia, sedang membantu Ummi menyiapkan makan malam di dapur, sementara abangnya, Hilmy, sedang belajar di kamar. Lia, seperti biasa, lebih suka menghabiskan waktu bermain di luar, menikmati angin sore yang sejuk.

"Abi, Lia boleh ikut belajar sama abang?" tanya Lia sambil menarik ujung sarung Abi yang sedang berjalan ke masjid.

Abi tersenyum, membelai kepala Lia dengan lembut. "Tentu saja boleh, sayang. Tapi jangan ganggu abang, ya? Belajarlah dengan tekun seperti dia."

Lia mengangguk dengan semangat, matanya berbinar. Meski usianya masih belia, Lia selalu menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi. Dia sering duduk di samping Hilmy, meniru gerak-geriknya saat membaca atau menulis, walaupun sering kali tidak benar-benar memahami apa yang dibaca atau ditulisnya. Namun, Abi dan Ummi selalu mendorongnya untuk terus belajar, tidak peduli seberapa kecil atau besar hal yang ia pelajari.

Setelah maghrib, keluarga Lia berkumpul di ruang tamu. Ini adalah waktu yang paling Lia tunggu-tunggu setiap hari. Abi akan duduk di kursi kayu tua, Ummi di sampingnya, sementara Lia, Nadia, dan Hilmy duduk di lantai, mendengarkan dengan seksama ketika Abi membacakan cerita-cerita dari Al-Qur'an atau kisah para nabi. Malam itu, Abi menceritakan kisah Nabi Ibrahim dan keteguhan imannya.

"Jadi, anak-anak, apa yang bisa kita pelajari dari kisah Nabi Ibrahim?" tanya Abi setelah selesai bercerita.

Hilmy, yang selalu menjadi yang pertama menjawab, berkata, "Kita harus selalu beriman dan tawakal kepada Allah, tidak peduli apa yang terjadi."

Nadia menambahkan, "Dan kita harus berani mengambil keputusan yang benar, meskipun itu sulit."

Lia, yang biasanya diam dan mendengarkan, malam itu mengangkat tangannya kecilnya. "Abi, Nabi Ibrahim juga berani karena dia tahu Allah selalu bersamanya, kan? Lia juga mau seperti itu, berani dan tidak takut."

Abi tersenyum, bangga dengan pemikiran putri bungsunya. "Iya, Lia sayang. Berani bukan berarti tidak takut, tapi tetap melakukan yang benar meski ada rasa takut."

Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Lia tertidur dengan perasaan hangat dalam hati. Kata-kata Abi terngiang di telinganya, membentuk keyakinan yang akan ia bawa seumur hidupnya.

Di masa kecilnya, Lia belajar tentang keberanian, keteguhan iman, dan pentingnya pengetahuan. Meskipun sederhana, kehidupan di desa telah membentuk fondasi yang kokoh dalam dirinya, fondasi yang akan memandu setiap langkahnya di masa depan. Lia tidak tahu apa yang akan dihadapi nanti, tetapi satu hal yang pasti, ia akan selalu membawa jejak-jejak rindu dari masa kecilnya, jejak yang akan selalu membimbingnya kembali ke rumah, ke tempat di mana cintanya kepada keluarga dan Tuhan tumbuh.

Jejak RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang