Setelah keluar dari lingkaran waktu, hari-hari Nara terasa seperti buku yang terbuka pada halaman baru, setiap kata penuh warna dan makna. Bersama Phuwin, hidupnya tidak lagi terjebak dalam rutinitas, tetapi menjadi sebuah petualangan kecil yang menyenangkan. Mereka berjalan di taman, menemukan sudut kota yang belum pernah mereka datangi, dan berbicara panjang tentang mimpi-mimpi yang dulu terasa jauh.
Sore itu, mereka kembali ke bangku taman favorit mereka. Langit berubah warna, bergeser dari biru lembut menjadi oranye keemasan. Daun-daun pohon di atas mereka berbisik pelan, bergoyang seirama dengan angin yang menghembus lembut.
Phuwin menatap Nara, matanya penuh dengan rasa ingin tahu. “Kamu tahu, aku selalu merasa ada sesuatu yang kamu tahan sebelum ini. Tapi sekarang, kamu kelihatan... lain. Lebih bebas.”
Nara menatap langit, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku memang banyak menahan diri. Terutama soal perasaanku ke kamu. Aku takut jujur, takut kalau aku bilang, segalanya bakal berubah. Tapi mungkin, itulah kenapa aku terjebak dalam lingkaran waktu itu.”
Phuwin memiringkan kepalanya, bibirnya melengkung dalam senyum lembut. “Kamu pikir itu cara semesta untuk bikin kamu menghadapi ketakutanmu?”
Nara mengangguk pelan, matanya berkilat-kilat saat ia menoleh ke Phuwin. “Aku rasa begitu. Lingkaran itu adalah pengingat bahwa aku nggak bisa terus lari dari kenyataan. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan menunda-nunda hal penting. Saat aku akhirnya jujur, semuanya berubah.”
Phuwin tertawa kecil, lalu meraih tangan Nara. Sentuhannya hangat, mengalirkan ketenangan. “Aku senang kamu akhirnya jujur, Nara. Rasanya seperti... kita mendapat kesempatan kedua untuk memulai dengan lebih baik. Perasaan ini nyata, dan aku senang kita bisa berbagi.”
Nara menggenggam tangan Phuwin erat, hatinya dipenuhi kehangatan yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. “Aku juga. Aku nggak tahu apa yang menanti kita ke depan, tapi aku siap. Selama aku bersama kamu, aku merasa semuanya mungkin.”
Mereka duduk dalam keheningan, membiarkan momen itu berbicara. Burung-burung mulai pulang ke sarangnya, membawa harmoni pada sore yang damai itu. Cahaya matahari yang kian redup memeluk mereka, seolah memberi restu pada perjalanan baru yang akan mereka lalui bersama.
Bagi Nara, setiap momen kini terasa berharga. Tidak ada lagi ketakutan yang menghantuinya, hanya keyakinan bahwa dia dan Phuwin telah menemukan sesuatu yang lebih besar—keberanian untuk menerima diri mereka apa adanya dan menjalani hidup dengan sepenuh hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Repeat the Moment PondPhuwin
RomansaNara mengalami lingkaran waktu karena ketidakmampuannya untuk jujur pada dirinya sendiri dan pada orang lain tentang perasaannya. Ketakutannya untuk merusak hubungan dengan Phuwin membuatnya terjebak dalam pola yang sama berulang-ulang. • slight 🔞 ...