Happy Reading🏹
Semburat merah jambu mulai menghiasi ufuk barat. Matahari hampir sepenuhnya tenggelam dan udara sore itu mulai terasa dingin. Theodore dan Halfoy menyudahi latihan sejak beberapa menit yang lalu, kini mereka duduk santai di teras kastil sambil mengamati halaman. Sementara itu, Bentely masih penuh semangat mengayunkan tombaknya, bayangannya bergerak cepat di bawah cahaya senja. Tidak jauh darinya, Pangeran Avi juga terlihat sibuk mengasah pedangnya, fokusnya penuh pada setiap gerakan yang ia lakukan. Sedangkan Raja dan Ratu tengah membantu persiapan di pemukiman kurcaci.
Perhatian Theodore dan Halfoy saat ini tertuju pada sosok kecil yang mendekat, seorang anak kecil yang polos dan menggemaskan, dengan pipi merah muda dan mata bulat yang penuh rasa ingin tahu. Ia berjalan dengan langkah kecil namun mantap ke arah mereka, berhenti beberapa meter di depan, memandangi mereka dengan ekspresi heran dan kagum.
Halfoy tersenyum melihatnya, lalu mengayunkan tangannya, memberi isyarat agar anak kecil itu mendekat. Awalnya, anak itu tampak malu-malu, seakan ragu untuk bergerak lebih dekat. Namun setelah beberapa detik, ia mengumpulkan keberanian dan melangkah mendekat dengan langkah-langkah kecil yang lucu.
“Bukankah dia sangat menggemaskan?” tanya Theodore, matanya berbinar melihat anak kecil itu, berharap Halfoy setuju.
Halfoy mengangguk, menyetujui dengan senyuman hangat. “Sangat,” katanya pelan.
Anak kecil itu, yang kini berdiri di dekat mereka, tiba-tiba menunjuk Halfoy dengan jari mungilnya. “Avi,” katanya dengan suara pelan namun jelas, seolah yakin ia mengenali Halfoy.
Halfoy tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. “Bukan Avi. Ini Halfoy,” katanya lembut, lalu dengan hati-hati mengarahkan jari telunjuk anak kecil itu ke arahnya sendiri. “Dan ini Theodore,” lanjutnya sambil menunjuk kembarannya yang duduk di sampingnya.
Anak kecil itu mengangguk pelan, matanya berkedip beberapa kali seolah mencoba mengingat nama-nama yang baru saja ia dengar. Meski Halfoy tahu bahwa ia mungkin belum sepenuhnya hafal, keinginannya untuk belajar dan mengenal mereka membuatnya semakin menggemaskan. Lalu, dengan polosnya, anak kecil itu menunjuk ke arah Bentely yang masih berlatih di kejauhan. “Siapa?” tanyanya, suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu.
“Bentely,” jawab Halfoy sembari melihat Bentely yang fokus pada latihannya.
Anak kecil itu mengulang nama tersebut dengan suara lucu, “Bentely,” kata-katanya terdengar sedikit pelan, seolah-olah ia berusaha untuk mengingat dengan baik.
Halfoy tidak bisa menahan senyumnya. Dalam hatinya, ia mengerti mengapa Pangeran Avi sangat menyayangi adiknya. Anak ini, dengan kepribadian yang polos dan lucu, memang benar-benar menggemaskan. Meskipun ia tidak tahu persis berapa usia anak itu, dari cara bicaranya, Halfoy memperkirakan bahwa dia mungkin berusia sekitar tiga tahun.
Tiba-tiba, anak kecil itu berteriak, “Aviii!” suaranya menggema di halaman kastil, memanggil kakaknya yang tengah asyik berlatih.
Pangeran Avi menghentikan latihannya, meletakkan pedangnya dengan lembut di tanah, dan berbalik ke arah suara tersebut. Senyum singkat namun hangat terukir di wajahnya saat ia melangkah mendekat. Ia terlihat begitu tenang dan penuh kasih sayang, sebuah sikap yang tidak luput dari perhatian Halfoy. Sikap lembut dan penuh perhatian itu membuat Halfoy teringat pada Caspian, kembarannya yang kini sangat ia rindukan.
“Apa sayang?” tanya Pangeran Avi dengan lembut saat ia tiba di depan adiknya.
Anak kecil itu tidak segera menjawab. Ia hanya berdiri di sana, melirik ke arah Theodore, Halfoy, dan kemudian Bentely yang berada di kejauhan. Matanya yang bulat tampak penuh dengan kebingungan, seolah sedang mencoba memproses apa yang terjadi di sekitarnya, dan mengapa wajah-wajah mereka sangat mirip.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐫𝐫𝐨𝐰 𝐨𝐟 𝐕𝐞𝐧𝐠𝐞𝐚𝐧𝐜𝐞 [END]
Fantasia[BAGIAN KEDUA] SELESAI Setelah kematian tragis Caspian, dunia tampak berjalan seolah-olah dia tak pernah ada. Para pangeran yang dulu bersama dan merasakan kehadirannya setiap hari kini melupakan setiap momen dan kenangan tentangnya. Hanya satu oran...