Happy Reading🏹
Bentely berdiri di halaman kastil, tangannya menggenggam erat tombak yang baru saja ia ambil. Tombak itu terasa dingin di tangannya, seolah mencerminkan keraguan yang masih mengisi hatinya. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di tempat seperti ini, terjebak dalam perang yang bahkan tidak ia mengerti. Namun, tidak ada jalan lain. Satu-satunya hal yang ia inginkan adalah memastikan dirinya dan para kembarannya selamat, agar mereka semua bisa kembali ke Neverland—tempat yang selama ini mereka sebut rumah.
Pagi itu, Bentely sudah bersiap sejak fajar, mencoba menenangkan pikirannya setelah kemarin berlatih seharian penuh. Namun, meskipun tubuhnya siap, hatinya tetap saja penuh dengan kekhawatiran. Ia melangkah menghampiri Theodore, yang sudah lengkap dengan peralatan tempurnya. Tatapan ragu Bentely seolah mencari secercah keyakinan dalam mata kembarannya.
“Apa kita benar-benar harus melakukan ini?” tanyanya dengan suara yang hampir tenggelam oleh angin dingin yang berhembus.
Theodore menatap Bentely sejenak, matanya tampak tenang namun tegas. “Sudah telat untuk ragu,” jawabnya tanpa sedikit pun keraguan.
Jawaban Theodore, meskipun tegas, tidak cukup untuk menghilangkan kekhawatiran Bentely. Ia tahu, tempat ini asing baginya. Mereka tidak mengenal makhluk-makhluk yang mengisi dunia ini, dan sekarang mereka dipaksa untuk menyerang demi keselamatan Savior, yang keberadaannya pun masih belum pasti.
Awan gelap yang menggantung rendah di langit seolah mencerminkan perasaan Bentely. Langit yang biasanya cerah kini tampak suram, seakan meramalkan pertumpahan darah yang akan segera terjadi.
Halfoy dan Pangeran Avi kemudian menyusul, keduanya sudah lengkap dengan peralatan tempur. Raja Minos masih berada di dalam kastil, berbicara dengan Ratu untuk meyakinkannya agar tidak khawatir. Sang Raja meminta Ratu dan Hannah untuk bersembunyi di kastil sampai mereka benar-benar pulang.
Setelah semuanya siap, mereka berjalan menuju pemukiman kurcaci. Di sana, Raja membuka peta yang telah usang, menunjukkan titik-titik di mana mereka akan berkumpul untuk memulai pertempuran. Setiap detail peta dihafalkan oleh mereka, mengetahui bahwa setiap langkah yang salah bisa berakibat fatal. Setelah dirasa semua memahami rencana, mereka berpencar, masing-masing kembali ke persiapan terakhir, memanfaatkan waktu yang tersisa untuk berlatih sekali lagi sebelum tengah hari tiba.
Halfoy, yang terlihat lebih tenang, menghampiri Gren. Kapak besar yang digenggam Gren tampak begitu berat, namun pria itu mengayunkannya dengan mudah, menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Senyum kecil muncul di wajah Halfoy, merasa sedikit lega melihat semangat yang terpancar dari Gren. Ia mencari tempat duduk, mencoba menenangkan dirinya dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang terus menghantui pikirannya.
Halfoy melirik pergelangan tangannya yang kini sudah tidak lagi terbalut kasa. Luka sayatan yang dalam masih terlihat jelas di sana, seperti jejak ingatan akan masa lalu yang terus menghantuinya. Luka itu, meskipun sudah berhenti berdarah, tampak sebagai pengingat nyata bahwa luka lama bisa terbuka kapan saja, baik secara fisik maupun emosional. Angin dingin berhembus pelan, membawa serta perasaan gelisah yang tidak bisa diabaikan.
Sambil menunggu waktu berlalu dalam keheningan yang penuh kecemasan, tiba-tiba Goufie muncul tanpa suara, duduk di sampingnya. Ia menyodorkan sebuah botol kecil berisi cairan merah yang berkilauan seperti darah yang baru ditumpahkan. Halfoy menerima botol itu tanpa ragu, namun matanya bertanya tanpa kata-kata akan apa ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐫𝐫𝐨𝐰 𝐨𝐟 𝐕𝐞𝐧𝐠𝐞𝐚𝐧𝐜𝐞 [END]
Fantasy[BAGIAN KEDUA] SELESAI Setelah kematian tragis Caspian, dunia tampak berjalan seolah-olah dia tak pernah ada. Para pangeran yang dulu bersama dan merasakan kehadirannya setiap hari kini melupakan setiap momen dan kenangan tentangnya. Hanya satu oran...