Bab 6 - The destiny

269 100 36
                                    

Lyra tersentak ketika dia sadar. Namun Alih-alih merasa lega karena masih hidup, ketakutan semakin melingkupinya. Matanya tidak bisa melihat apapun, Sampai-sampai lyra berpikir dia telah buta. Kulitnya seolah membeku, namun dia bisa merasakan kalau pakaiannya basah begitu dia bergerak dan membiarkan kulit betisnya yang masih kering menyentuh ujung gaunnya yang lembab.

Pada awalnya, lyra hanya bisa mendengar suara nafasnya sendiri. Lyra takut, dia gemetar, dia tidak berani bersuara. Seolah-olah dia lupa caranya bicara. Peristiwa yang baru saja menimpanya terasa masih segar dan dia belum bisa mencerna apa yang terjadi.

Ketika Lyra mencoba bangun, kakinya seolah mati rasa. Namun, dia memaksakan kakinya untuk bergerak. Rasa kesemutan yang menjengkelkan merambat di kedua kakinya. Dia tahu kalau kakinya masih menempel dengan baik, namun sesuatu menahannya untuk leluasa berpindah.

Tangannya yang ramping susah payah berusaha menggeser apapun itu yang berada di atas kakinya. Itu adalah potongan kayu kereta kuda. Rupanya atapnya rubuh. Lyra bisa mengenalinya dengan meraba ukiran halus mahal yang ada di sana. Lyra berhasil menelungkupkan tubuhnya dan merayap menjauh dari rongsokan kereta. Rupanya, kereta kuda itu menyembunyikannya dari cahaya bulan.

Walau masih samar, tapi tidak lagi benar-benar gelap. Lyra membiasakan matanya dengan cahaya bulan yang untungnya cerah. Ketika akhirnya dia beradaptasi, dia melihat tubuh sang marquiss tergeletak di atas tanah.

"Ayah!" Lyra merasa seluruh tubuhnya sakit.
Tungkainya, pergelangan, rahang bahkan telinganya. Dia belum bisa berdiri dan akhirnya merayap ke arahnya layaknya seekor kuda yang kakinya lumpuh terjerat perangkap beruang.

Dengan gemetar, Lyra menaruh telinganya ke dada sang marquiss.

Jantungnya masih berdetak. Namun itu tidak membuat gemetar di tangannya mereda. Justru, dia semakin terguncang, karena melihat sang marquiss bersimbah darah yang sepertinya terus menetes dari kepalanya.

Astaga. Astaga. Apa yang harus kulakukan?

Lyra duduk bersimpuh di dekat marquiss Hansel dan menyentuh kepalanya. Dengan frustrasi dan tangan gemetar, Lyra berusaha menekan pendarahannya. Kalau lebih banyak lagi darah yang keluar, ayahnya akan mati. Tapi, itu saja tidak akan cukup, karena Lyra mendapati bibir sang marquiss semakin pucat dan ujung jarinya seolah membiru.

Lyra sama sekali tidak punya pengetahuan medis. Dia hanya tahu kalau situasi marquiss saat ini sangat buruk. Kuda penarik kereta miliknya entah berada di mana. Tapi, ketika jatuh dari ketinggian seperti itu, mungkin mereka dan kusirnya sudah tiada. Lyra dan ayahnya masih hidup karena mereka berada di dalam kereta.

Walaupun kondisi kereta serta pakaiannya sangat buruk, buku bersampul hijau itu terlihat tidak bercela. Lumpur pun seolah tidak tampak mengotorinya. Buku itu berada tidak jauh dari sang marquiss seolah memastikan kalau Lyra melihatnya. Aneh, karena Lyra menyimpannya dalam koper yang berada di balik kursi kereta. Bagaimana bisa benda itu muncul tanpa kerusakan apapun? Namun, Lyra tidak butuh waktu lama untuk ingat kalau buku itu ajaib.

Lyrq juga menyesal karena buku itu membawanya ke dalam takdir buruk ini. Lyra menggigit bibirnya, menahan tangis. Setiap detik berharga namun dia tidak tahu harus berbuat apa. Apakah akan berguna kalau dia menahan luka marquiss selama mungkin? Kalau tahu akan seperti ini jadinya, Lyra lebih baik tidak usah punya akhir yang bahagia. Untuk apa kalau akhirnya dia punya peri namun marquiss Hansel meninggal?

"Dia akan mati,"

Sebentuk suara terdengar dari sudut yang gelap. Mata Lyra menoleh, melihat ke arah rimbunan pohon lebat yang tidak tertembus cahaya. Lyra merasa merinding. Apakah itu monster? Vampir haus darah yang sedang berburu? Atau manusia serigala yang aktif ketika bulan penuh? Namun rasa takutnya dikalahkan oleh rasa cemasnya terhadap ayahnya. Lyra menatap ke arah itu seolah menantang, mengangkat kepalanya.

Never a Happy Ending - NaNoWriMo2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang