Prolog; Gutenmorgen, Couple!

190 20 7
                                    

Kata siapa menyambut hari dengan senyum dan lenguhan selepas bangun tidur adalah rutinitas kebanyakan orang? Bagiku tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kata siapa menyambut hari dengan senyum dan lenguhan selepas bangun tidur adalah rutinitas kebanyakan orang? Bagiku tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, aku justru langsung berdiri ketika riuh terdengar dari luar kamar begitu kulihat Bang Gem di sana dengan celana kedodoran dan kaus yang compang-camping. Justru itu yang paling sering kuhadapi ketimbang bangun seperti tuan putri.

Kutebak laki-laki jangkung itu sudah bangun lebih dari tiga jam, lalu bereksperimen dengan dunianya. Jelas, kemarahan menyelimutiku sekarang. Bagaimana bisa dia memilih melanjutkan kegiatannya semalam, tapi melupakanku yang terpaksa bangun karena keadaan badan setengah remuk begini?

Jangan tanya mengapa, tapi kegiatan suami istri yang satu itu membuatku tak bisa berucap apa-apa.

Nasib jadi istri laki-laki obsesi bakery!

"Eh? Sudah bangun, Te?"

"Kamu ngapain, Bang?"

"Lanjutin yang semalam,"

"Yang kita lakukan semalam satunya lagi, kamu lewatkan begitu saja?"

"Hah? Oh, nggak dong,"

Bang Gem bergerak menghampiriku setelah bersandar sedetik di depan pintu kamar. Kepalanya bergerak-gerak riang seraya menarik tubuh yang kubiarkan lemas ini menghambur dalam pelukannya. Tak luput menggendong, Bang Gem membuatku membelit pinggangnya sekarang.

"Thanks for this night, sayang."

"Belum sikat gigi, ya? Bauk!"

"Nggak masalah, sudah biasa, kan? Nggak boleh mengeluh kecuali nggak takut dosa kamu, Te!"

Aku menikmati belitan kakiku di tubuh Bang Gem. Sudah dua tahun rutinitas ini kami ulangi, tapi tak ada yang berubah kecuali tubuh Bang Gem yang kian waktu bertambah bongsor.

Namanya Gemasastra Taichi Samhaji. Orang-orang terdekat memanggil laki-laki ini Gemas. Seperti panggilannya, Bang Gemas memang gemas. Kecuali aku, tak ada yang boleh memanggilnya dengan tambahan abang. Kebanyakan orang memanggilnya Mas Gemas, atau Mas Gema. Dibandingkan Gema, aku lebih suka Gemas. Selain arti gema adalah gaung keras yang bagiku cukup mengganggu, panggilan gemas lebih terasa seperti ungkapan positif. Sementara Taichi sendiri sampai saat ini tak ku ketahui apa artinya sebab mama mertuaku tidak pernah membicarakannya sama sekali. Katanya sih Bang Gem masih keturunan cina, tapi bapaknya saja pakai nama jawa jadi aku sangsi mengatakan jika itu realita. Kecuali ibunya yang gemar olah raga Taichi untuk kesehatan sejak lama.

Kayaknya dari sana sih namanya.

Kalau aku, namaku Ute. Jangan tanya apa kepanjangannya, tapi aku nggak begitu menyukai namaku kecuali nama papa di akhir.

Gutenmorgen Adirahayu.

Perkara lahir pagi hari, papa yang kala itu keranjingan club bola Jerman menemukan kosa kata dalam bahasa Jerman yang berarti selamat pagi.

Astaga, membayangkan kehidupanku di masa sekolah rasanya menyebalkan. Siapa yang nggak akan menghinaku dengan nama itu? Ya, ada, Bang Gem.

Makanya aku nikahi dia.

"Bukan perkara mengeluh, ini jam berapa coba Abang eksperimen di dapur padahal urusan semalam saja sampai badanku remuk begini? Sudah mirip lonte ditinggal begitu saja tahu, nggak?"

"Language, baby,"

"Bodo amat," aku merajuk. Bergerak-gerak dalam pelukan Bang Gem begitu menemukan kekesalanku jelas beralasan.

"Nggak ada yang tahu takdir kehidupan kita kedepan. Roman-romannya Mas Sayu agak kelilit hutang. Perkara kecilnya karena barang inventaris yang disupply ke kantor nggak sebanding sama pendapatan bulanan. Jadinya kredit macet. Mbak Tiwi sih nggak bicara apa-apa, tapi ancaman perusahaan kolaps ada, Te. Aku takut nggak ada persiapan."

"Kan ada aku?"

"Kamu ngapain memang?"

"Aku kasih kamu semangat lah, Bang. Nggak cukup? Lagian belum jelas kolaps, dan nggak dalam waktu dekat, kok kamu sudah panik? Cari kerja yang lain saja kalau gitu."

"Muncungmu itu pengin ku hih, tahu?! Ngomong seenak udel. Dipikir cari kerja gampang? Umurku sudah kepala tiga, Te. Pendidikanku Cuma D3, itu juga dipaksa baba. Bikin usaha jelas masih jadi jalan terbaik."

Masih dalam gendongan Bang Gem, aku memikirkan perkataannya. Tidak sekali dua kali suamiku ini bercerita soal kemungkinan perusahaan web hosting berbasis start-up tempatnya bekerja kolaps. Aku tak pernah ingin jadi doa, maka selalu kuabaikan sambil lalu. Namun, kali ini rasanya benar-benar serius sampai Bang Gem bertekad meneruskan hobinya mengolah hidangan roti jadi sebuah ide jualan.

Sebenarnya kekhawatiranku bukan ada pada apa yang Bang Gem lakukan, tapi ketika Bang Gem yang notabennya anak IT akut, bikin aku jadi sangsi. Hobinya makan roti sampai sering kembung, tapi kneading dough itu favoritnya sampai mampus. Berkat hunting ke kafe jutaan kali rasanya akan segera terealisasi.

Aku tidak akan menghalangi Bang Gemas, tapi aku khawatir jika apa yang ia kerjakan saat ini tidak sesuai dengan bayangannya yang ideal.

Semoga saja apa yang ia takutkan tak terjadi dalam waktu dekat. Apalagi aku tahu bagaimana Bang Gemas mempersiapkan kehidupan ini, termasuk harapan kehadiran anak dalam pernikahan setelah dua tahun lamanya menambah waktu pacaran kami.

*** 

Langsung muncul mumpung sudah ada prolognya wkwk. Yuk, siapa yang mau menyapa Bang Gem (bukan Kak Gem) sama Ute?

Cerita ini sebenarnya nggak seserius sinopsisnya, tapi siapa tahu kalian penasaran, sebenarnya cerita ini akan lebih banyak komedinya dibandingkan drama. So, stay tuned terus yas!

Love,

Rass 

Sweet As Morning!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang