Prolog

85 17 15
                                    

"Nyatanya, memilikimu tak semudah saat aku menaruh rasa padamu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Nyatanya, memilikimu tak semudah saat aku menaruh rasa padamu."

-Naviara Pratistha Asthari-

✨✨✨

Itu benar. Karena selama Nara menaruh rasa pada Harsa, ia merasakan itu. Memang tak mudah, tapi Nara menyukainya. Kalau ditanya apa alasannya? Maka Nara juga tak tahu. Sampai sekarang jatuh cinta masih menjadi misteri yang belum bisa ia mengerti. Apa karena wajahnya yang tampan? Nara selalu menggeleng kalau memikirkan alasan itu. Atau karena senyumnya yang selalu berhasil membuatnya berdebar? Bisa jadi. Mungkin saja karena ia memiliki daya tarik tersendiri? Tapi daya tarik cowok-cowok koreanya tidak kalah menarik.

Lalu karena apa?

Nara selalu memikirkan satu momen yang paling sering terbesit di pikirannya kalau ia bertanya-tanya mengapa harus Harsa. Tepat satu tahun yang lalu, saat ia baru saja diterima sebagai siswi SMA Dirgantara. Saat itu, baru tiga hari ia menjadi siswa kelas 1 SMA, namun ia sudah lupa memakai dasi. Yang ada dipikiran Nara saat itu hanya dua, pulang ke rumah atau pasrah dan terima nasib jika harus dihukum oleh kakak-kakak OSIS yang terlihat galak.

Namun, keberuntungan tiba-tiba datang. Dan yang selalu Nara syukuri, keberuntungan itu mendatangkan Harsa padanya. Saat itu, Nara hanya bisa menatap Harsa yang tiba-tiba menghampirinya.

"Dasinya kenapa dilepas, Kak?" tanya Nara dengan raut kebingungan saat Harsa melepas dasi yang terkait di kerah kemejanya.

"Nih pake punya gue aja." Harsa menyodorkan dasi itu kepada Nara. Nara terdiam sebentar kemudian dengan ragu menerimanya.

"Serius gapapa, Kak?"

Harsa tak menjawab pertanyaan itu. Ia malah berkata. "Biasanya mereka razia cuma pas apel pagi doang. Habis itu kalau lo mau balikin dasinya, titip ke cowok sok ganteng itu aja." Harsa menunjuk sesosok lelaki yang sangat Nara kenal.

"Makasih, Kak."

Hari itu, Nara hanya bisa tersenyum sembari memandangi Harsa yang berjalan menjauh. Rasanya lucu sekaligus mendebarkan. Perutnya terasa digelitik pelan. Nara kembali melirik Harsa yang sedang mengobrol bersama teman-temannya. Ia tertawa geli saat menyadari Harsa adalah teman masa kecil abangnya. Saat membaca name tag Harsa tadi, Nara seakan dibawa kembali ke masa-masa saat ia menatap tajam setiap kali Harsa datang ke rumahnya untuk mengajak abangnya bermain. Dulu, Nara tidak suka dengan Harsa. Bahkan Nara pernah menangis karena abangnya lebih memilih bermain bersama Harsa dari pada dirinya.

Namun, siapa sangka ia akan jatuh semudah ini?

Bahkan hanya dalam hitungan detik.

"Hai, Kak Harsa!"

Kalimat itu sudah menjadi kalimat yang hampir selalu Nara katakan setiap kali ia bertemu dengan Harsa. Tak terasa sampai ia menginjak kelas dua SMA, perasaannya masih saja sama. Tapi, Nara yakin Harsa tak tahu apa-apa tentang perasaannya. Karena Nara memang seperti itu, ia suka menyapa orang yang ia kenal. Perhatiannya tidak hanya untuk Harsa saja. Bahkan teman-teman abangnya yang lain juga sering kali ia sapa. Tapi tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain mendapat balasan dari seorang Harsa.

"Hai, Ra. Ada perlu apa?" tanya Harsa saat Nara muncul di hadapannya saat ia hendak keluar dari kelas.

"Gue disuruh Bang Rayyan ambilin jaketnya, katanya ketinggalan di kelas," jawab Nara. Ia tidak berbohong. Rayyan selaku abangnya memang menyuruhnya.

Tapi, apakah Nara mau kalau orang yang tersisa di kelas saat itu bukanlah Harsa? Tentu tidak.

"Nih baru mau gue bawain."

"Kasih ke gue aja, Kak."

Harsa mengambil langkah sembari berkata, "bareng aja, gue mau pulang juga."

Mana bisa Nara menolak tawaran itu. Malah dari tadi itu yang dia mau. Nara pun hanya bisa tersenyum saat Harsa sudah beberapa langkah di depannya. Setelah itu ia pun menyusul.

Menjual nama Rayyan adalah hal yang biasa untuk Nara. Bahkan bisa dikatakan itu sudah menjadi keahliannya. Jika Nara melihat kesempatan maka ia tak pernah ragu untuk memanfaatkannya. Hari itu, saat Nara tak melihat Rayyan di lapangan seusai bermain basket, ia cepat-cepat melangkah menuju kantin untuk membeli minuman dingin. Tentu saja, air minum itu akan ia berikan kepada Harsa.

"Kak Harsa liat Bang Rayyan nggak?" tanya Nara sembari pura-pura mencari keberadaan Rayyan.

"Kayaknya di toilet."

Nara menyodorkan air mineral ke arah Harsa. "Kalau gitu bisa titipin ini ke Bang Rayyan nggak? Tadi dia nyuruh gue beliin minum."

Harsa menerima air minum pemberian Nara. "Oke."

Perjuangan Nara tidak sampai situ. Bahkan saat gadis itu hendak berbalik, ia kembali menatap Harsa. "Kalau misalnya Bang Rayyan nggak haus. Ambil aja kak, gue ikhlas," sambungnya lagi.

"Iya thanks, Ra."

Bukan itu saja. Kala itu, Nara pernah pulang agak terlambat karena harus piket kelas. Namun saat ia mengetahui bahwa Harsa belum juga pulang, ia lagi-lagi menjual nama Rayyan agar ia bisa pulang bersama Harsa.

"Kak maaf banget nih ngerepotin. Tapi tadi Bang Rayyan nyuruh gue pulang bareng lo aja. Katanya dia ada urusan penting. Tapi kalau keberatan gapapa kok, Kak. Gue pulang naik gojek aja."

Harsa memakai tasnya dan berjalan lebih dulu.

"Ayo."

Walaupun balasan Harsa sangat singkat. Tapi Nara tidak bisa menahan senyumnya. Mimpi apa dia bisa pulang bareng Harsa. Gadis itupun berlari kecil menyusul Harsa yang belum jauh.

Bagi Nara, Harsa adalah orang pertama yang membuatnya mau memutar jauh hanya untuk melewati kelasnya. Harsa adalah orang yang membuat Nara mau datang pagi-pagi agar bisa berpapasan dengannya. Nara mau begadang semalaman hanya untuk menonton film-film horor karena katanya Harsa suka film dengan genre seperti itu. Padahal Nara tidak pernah berani menonton film horor sendirian. Semenjak menaruh rasa pada Harsa, Nara selalu mencoba hal-hal baru. Mulai dari menghafal chord gitar lagu kesukaan Harsa sampai belajar untuk membuat brownies bersama mama agar Harsa mencicipinya ketika ia datang ke rumah bersama teman-teman lainnya.

Namun, sampai kapan ia akan seperti itu?

Saat Nara rela memutar jauh hanya untuk melihat Harsa di kelas, Harsa tak pernah menatapnya balik. Saat Nara datang pagi-pagi hanya untuk berpapasan dengan Harsa, Harsa tidak pernah menyapanya lebih dulu.

Ketika Nara rela begadang dan mengumpulkan nyalinya untuk menonton film-film horor kesukaan Harsa, Harsa hanya membalas seadanya, padahal Nara begitu excited menceritakannya. Jika Nara mulai bermain gitar di teras rumah sembari menyanyikan lagu kesukaan Harsa bersama Rayyan dan teman-temannya, Harsa tidak pernah ikut bernyanyi. Dan brownies coklat yang ia buat bersama mama, juga tidak Harsa makan. Alasannya, Harsa tidak suka coklat.

Siapa sangka Nara juga harus berjuang dan merasakan rasa sakit yang tak berujung seperti ini?

Katanya, jatuh sendirian itu menyakitkan.

Lagi-lagi itu benar. Nara merasakannya.

Lalu jika sudah tau rasanya menyakitkan. Bagaimana selanjutnya? Apakah membiarkan rasa itu perlahan pergi adalah pilihan yang tepat? Atau bolehkah jika perjuangannya ku perpanjang?

✨✨✨

-TBC-

How's the prolog guys?

Suka gaaaa??

Sebuah Rasa Untuk HarsaWhere stories live. Discover now