Berkali-kali Ku hirup udara dalam-dalam dan ku hembuskan perlahan. Berharap dengan begitu mampu mengurangi rasa sesak dan emosi yang bersemayam di dada. Bagaimana tidak emosi ini masih pagi, baru juga aku masuk gerbang sudah mendengar cuitan sumbang dari mulut-mulut berbisa itu.
Apalagi yang mereka bahas kalau buka tentang statusku yang masih single di usia matang.
"Perawan tua"
"Susah laku"
"Pemilih"Adalah deretan asumsi teman-teman mengajarku di Tk bakti nusa. Sebuah Tk yang terletak di pusat kota kabupaten. Statusnya saja yang guru tapi kalau udah kumat julidnya masya allah.
Dulu saat awal-awal mereka mengeluarkan kata-kata berbisa itu aku selalu terpancing emosi. Bukan kepada mereka aku tumpahkan semua tapi kepada anak-anak didik ku. Anak-anak polos yang bahkan tidak mengerti tentang semua masalahku.
Beruntung bu Aisya selaku kepala sekolah tanpa lelah selalu menasehati diri ini.
Aku bukannya pemilih, susah laku apalagi penyuka jenis nauzubillah. Meski dulu aku dan keluarga hanya islam KTP tapi kami bukan pendukung apalagi mengikuti kelompok bersimbol pelangi itu.
Ayah yang memang tidak terlalu mengerti tentang agama yang di anutnya di tambah kesibukannya mengurus bisnis mebel warisan dari kakek membuat dia juga tidak terlalu perduli dengan kualitas iman istri dan anak satu-satunya ini. Yang beliau perdulikan hanya akadamisku seperti dulu kakek mendidik ayah yang juga hanya anak tunggal. Dari pihak ibupun tidak begitu mengerti tentang agama islam yang ia anut.
Tapi semua berubah sejak kepindahan kami ke salah satu kota yang ada di Jawa Tengah ini.
Disini kami tinggal tidak jauh dari pesantren al ikhsan. Sebuah pondok kecil dengan beberapa santri yang di asuh oleh Ustad Wahid dan Ustadzah Halimah. Sepasang suami istri yang mempunyai tiga orang anak.
Awalnya ayah hanya sekedar basa-basi menyapa ustadz berparas tenang itu. Tapi entah kenapa disetiap kepulangan beliau yang hanya sebulan sekali pasti bertandang ke rumah ustadz wahid.
"Nyambung" Jawabnya setiap aku tanya kenapa betah sekali ngobrol dengan laki-laki yang umurnya lebih muda itu.
Kedekatan pria cinta pertamaku dengan sang ustadz itu membawa pengaruh baik dalam kehidupan dan keimanan di keluargaku.
Ayah memutuskan untuk memulai belajar mengaji alquran di bulan ke empat kedekatan mereka. Beliau yang awalnya pulang kerumah hanya sebulan sekali kemudian merubah semua jadwalnya. Paling lama seminggu satu kali dia harus pulang untuk mengaji Alquran bersama ustadz wahid, seiring berjalannya waktu bunda dan aku pun ikut belajar Alquran tapi di bimbing Ustadzah Halimah.
Jujur aku tidak tau kenapa kedua orang tuaku memutuskan untuk hijrah kemari. Banyak hal yang terlupakan sejak pertama kali bangun dan sudah mendapati diri berada di kota Boyolali ini.
Kenangan terakhir yang aku ingat hanya ayah memboyong kami untuk tinggal di sebuah desa di provinsi Jawa Tengah. Tapi sebelum bertolak kemari kami singgah kesalah satu teman ayah dulu. Dan kemudian aku tidak ingat apapun.
Kata Bunda aku terlelap dirumah teman ayah. Dan mereka tidak tega untuk membangunkanku. Bahkan saat menaiki pesawat aku di gendong ayah. Padahal saat itu usiaku sudah sekitar tiga belas tahunan. Aneh bukan?
Walau ayah dan bunda sudah berusaha menjelaskan sedetail mungkin tapi aku masih merasa ada yang janggal. Apalagi di salah satu sudut hati ini selalu merasa ada yang kosong. Ada rasa semacam rindu tapi tidak tau untuk siapa rindu ini bermuara. Dan itu yang membuat hatiku sulit klik dengan pria-pria yang datang untuk taaruf entah lewat ayah, bunda ataupun ustadz wahid.
Instingku mengatakan aku harus bertemu dengan seseorang yang mampu mengisi sudut hati yang kosong ini terlebih dulu, sebelum memulai membangun bahtera rumah tangga. Namun sayang hingga kini di usia yang sudah menapakai tiga puluh dua tahun sudut hati ini masih terus terbengkalai.
Sudah berkali-kali aku izin ke ayah dan bunda untuk meminta bantuan psikolog tapi mereka selalu menolak. Dan memintaku untuk bersabar.
Padahal bukan hanya karena kekosongan hati saja yang mengganggu tapi mimpi yang nyaris setiap malam menghantui. Yang menyisakan teriakan di tengah malam atau nafas tersenggal dengan keringat membanjiri tubuh.
Ahh entahlah, ayah dan bunda hanya terus memintaku semakin mendekatkan diri pada Allah dan meminta pentunjuknya.
Memang benar sih semua masalah di hidup kita akan terasa jauh lebih ringan ketika kita terus mendekat kepada sang Pencipta. Tapi kita harus ada ikhtiar jugakan, dengan berobat ke psikolog aku bisa tau mungkin ada luka batin dari masa lalu yang tidak ku sadari.
Tapi tanpa izin kedua orang tua ku tidak mungkin aku mengambil langkah sendiri.
"Wooiii! " Suara sedikit keras dengan tepukan sebuah tangan di pundakku membuat aku berjingkat, membuyarkan lamunan panjangku.
"Masih pagi udah ngelamun aja" Lanjut niken sipemilik suara itu. Sahabat sekaligus teman mengajarku di Tk Bakti Nusa.
"Masuk itu salam dulu nyonya Niken, bukan malah ngagetin" Jawab ku sambil mengerling pada wanita beranak satu itu, sedang tangan ini sibuk menyusun beberapa buku dan alat peraga untuk pembelajaran nanti.
"Sudah tuan Putri Guntoro, tuh si Dimas aja udah duduk disitu dari tadi. Kamunya yang nggak denger waktu aku sama Dimas masuk tadi" Terangnya memanggil nama belakangku sambil menunjuk seorang anak didik ku yang tengah sibuk memainkan balok kayu berbentuk persegi empat itu.
"Pinjem bulpoint satu dong ada nggak, tempat pensil ku semalam di sabotase Zira, jadi lupa aku masukin tas lagi" Lanjutnya sambil tersenyum kecut.Aku terkekeh melihat tampang lucu itu. Sambil menyodorkan sebuah bolpoin aku membayangkan anak perempuannya yang berusia delapan tahun tapi kalau minta apapun tidak bisa di tunda-tunda. Persis seperti ibunya kalau lagi bete.
Tidak lama setelah Niken kembali ke ruangannya satu persatu peserta didikku datang. Total murid yang ada di kelasku ada sekitar tiga puluh lima anak, dengan rentan usia diatas lima setengah tahun karena memang aku mengampu kelas besar. Dengan di bantu oleh Nisa salah satu guru honorer dari lima guru honorer yang ada di Tk Bakti Nusa.
Tapi sudah beberapa hari ini Nisa membantu di kelas kecil. Karena sekarang adalah tahun ajaran baru dan terkadang seminggu pertama guru kelas kecil ada yang kewalahan menangani anak baru yang datang dari berbagai layar belakang.
Setelah bel tanda masuk berbunyi anak-anakku segera berbaris di depan kelas dengan sangat empat lima.
Hari selasa adalah jadwal kuis angka. Setelah belajar sedikit baris berbaris di lanjut dengan bernyanyi mereka harus menebak angka yang aku pegang. Bila bisa mereka baru boleh masuk kedalam kelas.
Cara ini aku lakukan biar mudah mengetahui sampai dimana kemampuan per individu dari anak didikku, mengingat tes untuk masuk SD minimal harus bisa mengeja dan mengenal angka.
Mereka mungkin bukan anak yang lahir dari rahimku tapi sungguh aku menyayangi mereka dengan tulus. Karena itu hingga sekarang hati ini masih merasa bersalah, mengingat anak didikku yang sudah lulus tahun ini. Karena hampir di sepanjang semester dua kemarin mereka menjadi tumbal kemarahanku. Memang tidak sampai main tangan tapi bentakan nyaris setiap hari aku lontarkan.
Alhamdulillah Bu Ais dan Niken tanpa lelah selalu mengingatkan ku untuk tidak mengorbankan anak-anak. Padahal hanya saat dekat dengan merekalah kekosongan di sudut hatiku terasa berisi dan lengkap.
Terimakasih sudah membaca. Jangan lupa like, komen dan follow akun author🤗🙏💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Yang Kosong
General Fictionada yang kosong di sudut hati, dan terkadang rasa rindu bertalu hebat disudut yang sama. Itulah gambaran hati Najwa. Kemana lagi kita mengadu tentang ketidak tauan kita di dunia? Ya kepada sang Pencipta di sepetiga malam. Mampukah nazwa menemukan s...