yh

103 7 0
                                    

“Mama, aku bisa lari lebih cepet dari cheetah!” Teriakan bocah itu nyaring dan penuh semangat, mengisi udara sore yang hangat. Ia melompat-lompat di antara batu taman, rambut hitam lebatnya berkibar seperti iklan sampo murahan.

Yunho berdiri di dekat bangku taman, tangan bertumpu di pinggang, menatap anak perempuan kecilnya yang baru empat tahun tapi sudah lebih energik daripada tiga baterai AA digabung jadi satu. “Cheetah, ya? Kamu lupa kali, anak mama ini turunan kura-kura.”

Anaknya berhenti di tengah lompatan, menatap Yunho sambil berkacak pinggang dengan ekspresi drama ala sinetron. “Mama tuh kura-kura. Aku mah, singa!”

Yunho mendesah pelan, menggeleng. “Kalau kamu singa, kenapa tiap malam tidur minta digendong?”

Anak itu memutar bola matanya, sesuatu yang pasti dia pelajari dari ibunya—atau, ya, dari siapa pun. “Mama ini suka ngomong nggak jelas, deh. Aku udah gede, tahu.”

“Gede apanya? Kaki kamu aja masih kayak sumpit warteg.” Yunho terkekeh, tapi segera menyesal ketika bocah itu mulai menyerangnya dengan batang kecil yang entah dari mana dia ambil.

Tapi sejujurnya, di balik candaan mereka yang selalu ramai itu, Yunho tahu satu hal: hidupnya berubah drastis sejak kehadiran gadis kecil ini. Empat tahun yang lalu, Yunho bukan siapa-siapa. Dia bahkan nggak yakin apa bedanya kontraksi dan keinginan mendadak buat makan mie instan tengah malam.

Waktu itu, dokter menatap Yunho dengan ekspresi seperti baru lihat babi terbang. “Jadi... Anda mengandung?”

“Iya, Dok. Gimana, keren, kan?” Yunho mencoba bercanda, tapi nggak ada yang tertawa. Dokter sibuk menatap layar USG, sementara perawatnya mungkin lagi mikir mau makan apa malam itu.

Kehamilan Yunho bukan cuma hal yang aneh; itu adalah berita utama di desanya. Orang-orang datang untuk lihat, nanya-nanya sambil bisik-bisik, seolah Yunho adalah pameran keliling. Ada yang nanya serius—“Gimana cara kamu ngandung?”—dan ada yang konyol—“Eh, anaknya bakal keluar dari mana, tuh?”

Tapi Yunho tetap santai, atau setidaknya berusaha begitu. Dia punya tekad kuat: dia akan jadi orang tua terbaik untuk anaknya. Meskipun itu berarti harus belajar cara melatih otot panggul lewat YouTube dan tidur dengan bantal yang ditumpuk kayak benteng.

Kembali ke sore itu, Yunho mencoba duduk santai di bangku taman. Tapi anaknya nggak ngasih kesempatan.

“Mama, aku mau kejar bola itu! Tapi bola itu nggak mau diem! Aku bilang, ‘Hei, bola, diem!’ tapi dia malah muter-muter.” Gadis kecil itu memandang Yunho dengan wajah serius, seperti baru menemukan teori konspirasi global.

“Mungkin bola itu kabur karena takut kamu jadi pacarnya.” Yunho mengangkat alis, puas dengan candaan recehnya.

Anaknya cemberut. “Ih, mama tuh aneh. Bola nggak punya pacar, tahu!”

Yunho terkikik, tapi kemudian dia melihat wajah anaknya berubah ceria lagi. Bocah ini memang begitu: penuh energi, penuh ide, dan penuh cinta yang Yunho nggak pernah tahu dia butuhkan.

Ketika malam datang, mereka pulang ke rumah kecil mereka. Yunho memasak makan malam—yang sejujurnya lebih mirip eksperimen kimia gagal daripada makanan. Tapi anaknya tetap makan dengan lahap, mungkin karena dia tahu itu hasil kerja keras mama-nya.

“Mama, nanti aku jadi gede, aku bakal masakin mama tiap hari.” Suara anak itu pelan tapi yakin.

Yunho tersenyum, matanya sedikit berkaca-kaca. “Gede mah jangan cuma masak. Kamu harus punya mimpi besar.”

“Aku mau jadi pilot.”

“Kenapa pilot?”

“Biar aku bisa bawa mama ke bulan.”

Yunho tertawa kecil, tapi ada rasa hangat di dadanya. Anak ini adalah satu-satunya hal yang membuat dunia Yunho masuk akal di tengah semua keanehan. Kalau ada yang bertanya, apakah menjadi orang tua adalah keputusan terbaiknya? Jawabannya adalah ya, tanpa ragu.

Tapi hidup nggak melulu soal momen manis. Kadang, ada pertanyaan yang bikin Yunho merasa seperti karung tinju.

“Mama, aku ini anak siapa?” Gadis kecil itu bertanya suatu malam, matanya besar dan penuh rasa ingin tahu.

Yunho terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban yang tepat. “Kamu anak mama.”

“Tapi aku nggak punya papa kayak temen-temen aku.”

Yunho menelan ludah, lalu mendekat, menggenggam tangan anaknya. “Kamu nggak perlu papa. Mama cukup buat kamu. Lagian, papa nggak bisa masak mie instan seenak mama, kan?”

Anaknya tertawa, tapi Yunho tahu pertanyaan itu akan muncul lagi suatu hari nanti. Dan Yunho berjanji, ketika hari itu tiba, dia akan punya jawaban yang lebih baik.

Ketika malam semakin larut, Yunho dan putrinya duduk di sofa kecil mereka. Bocah itu tertidur di pelukannya, napasnya pelan dan stabil. Yunho menatap wajah kecil itu, merasa hatinya penuh dengan rasa syukur yang sulit dijelaskan.

“Kamu mungkin nggak tahu, tapi kamu adalah hadiah terbaik dalam hidupku,” bisik Yunho, meskipun tahu anaknya sudah terlelap.

Yunho punya seseorang yang mencintainya tanpa syarat, tanpa alasan, dan tanpa ragu.

Buxom Episode • All × YunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang