Part 7

604 94 8
                                    

Marcello menatap Romeo yang kini tengah menjelaskan satu persatu tentang kerjasama mereka. Wajahnya tampak sangat serius. Meskipun bukan pertama kalinya mereka bekerjasama, namun Marcello selalu waspada dengan pria yang bernama Romeo itu.

Sedikit yang tahu, keduanya dulu adalah teman baik saat SMP. Hingga kejadian dimana Romeo menuduh Marcello merebut kekasihnya. Wanita bernama Nida, teman SMP mereka yang menyatakan cinta pada Marcello saat wanita itu masih menjadi kekasih Romeo.

Romeo marah tentu saja. Nida yang cintanya ditolak oleh Marcello, mengadu pada Romeo jika Marcello menggodanya. Hubungan mereka seketika memanas, dan Nida pergi dari keduanya tanpa mengatakan apapun tentang kebenarannya. Wanita itu sakit hati pada Marcello dan memfitnah pria itu agar kehilangan sahabat baiknya.

Saat SMA, kejadian yang sama terulang. Sandra, gadis yang di incar Romeo lebih memilih Marcello yang lebih dulu menyatakan cinta. Romeo berusaha merebut tentu saja. Namun sepertinya hati Sandra tidak berpaling dari Marcello sama sekali.

Sejak saat itu, terbentuklah dua geng siswa di SMA Dharma Bakti. Keduanya sering terlibat perkelahian dan menyebabkan kedua orang tua mereka harus hadir di sekolah. Meskipun begitu, Ayah Romeo dan ayah Marcello adalah teman baik. Permusuhan kedua putra mereka sama sekali tidak mempengaruhi hubungan bisnis keduanya.

Hingga ketika kini dua putra mereka terjun ke perusahaan, Marcello dan Romeo diharuskan tetap bekerja sama. Bisnis di antara kedua perusahaan memang kerap saling menguntungkan satu sama lain.

Namun begitu, Marcello tetap siaga pada Romeo. Ia tahu sewaktu-waktu lelaki itu bisa menerkamnya kapan saja jika dirinya hilang kewaspadaan. Karena itulah Marcello akan sangat teliti jika bekerja sama dengan Romeo.

"Bagaimana? Apa masih ada yang tidak kau pahami?" Tanya Romeo setelah dia itu selesai mempresentasikan proyek akan mereka kerjakan.

Marcello menggeleng pelan. Penjelasan Romeo sangat gamblang dan ia tidak perlu dijelaskan dua kali karena otaknya cukup cerdas untuk menangkap semua ucapan Romeo.

"Baguslah. Jika semuanya sudah jelas, sebaiknya kita atur agar proyek ini segera terlaksana."

"Awal bulan saja. Bagaimana?"

"Tidak masalah. Kapan saja aku siap."

Marcello menutup berkas yang tadi diserahkan oleh sekretaris Romeo. Ia tidak membutuhkan itu lagi karena cukup gamblang penjelasan dari Romeo tadi. Romeo memang cukup cerdas sedari SMP dulu. Selain bersaing dalam hal wanita, mereka juga bersaing dalam hal prestasi. Dan tetap saja, Marcello lebih unggul dalam hal apapun.

"Ngomong-ngomong, tumben tunanganmu yang biasa mengekorimu itu tidak ikut."

Marcello memutar bola matanya jengah. Romeo rupanya ingin mencari keributan di saat-saat seperti ini. Sebenarnya Marcello enggan meladeni. Tapi, jika tidak dijawab pria itu pasti akan tersinggung juga.

"Itu bukan urusanmu."

"Oh, iya juga. Emang bukan levelku berurusan dengan wanita gatal itu."

"Jaga mulutmu!! Jangan membuat ribut di sini."

Pria tampan dengan rambut yang sedikit acak-acakan itu tersenyum remeh mendengar nada tinggi Marcello. Sudah jadi rahasia umum, Romeo memang suka memancing keributan di antara mereka. Terutama setelah kejadian penolakan Sandra pada Romeo, keduanya jadi sering ribut tidak jelas.

"Aku tidak membuat ribut. Aku sebenarnya cukup heran dengan pilihanmu. Biasanya tipe kita sama. Tapi kenapa kali ini berbeda jauh. Kau benar-benar turun level."

"Kau lupa, si Nida itu juga bukan levelku."

"Bisakah kau tidak menyebut nama itu di sini."

"Kenapa kau marah. Aku mengatakan hal yang sebenarnya."

"Hah, pria rendahan sepertimu memang rupanya sudah tidak menarik lagi sekarang. Buktinya, Sandra saja meninggalkanmu dan bahkan mengkhianatimu dengan pria lain. Eits, aku mendengar hal itu dari mulut tunanganmu. Jadi jangan salahkan mulutku yang bicara apa adanya."

"Bisakah kau tidak menyebut nama itu di sini!"

"Aku ___ tidak ___ bisa. Apapun yang kau benci, itu yang ku sukai. Sandra, cantik sekali. Kenapa, kau marah."

Romeo memutar kursinya dengan mimik meremehkan. Pria itu menggigiti pulpennya, menaikkan sebelah alisnya menantang Marcello. Sementara Marcello hanya menghembuskan nafas berat, tidak ada gunanya meladeni Romero karena obrolan mereka saat ini tidak penting sama sekali.

"Tidak ada yang harus kita bicarakan lagi. Aku pulang."

"Sandra, jika wanita itu kembali, kau sudah benar-benar melepaskannya bukan?"

Sontak Marcello berhenti dan berbalik menghadap Romeo. Pria itu benar-benar pandai memancing emosinya. Dan apa yang akan mereka bahas saat ini, adalah topik yang paling dibenci oleh Marcelo. Sandra. Sungguh, Marcello bener-bener tidak ingin mendengar nama wanita itu lagi.

"Itu bukan urusanku. Lagi pula dia sudah menghilang. Apa kau akan membuang waktumu sia-sia hanya untuk mencarinya?"

"Pertanyaanku bukan itu. Aku hanya tanya, apa aku boleh tidur dengannya ketika suatu saat kami bertemu?"

"Terserah kau. Apapun yang berhubungan dengan wanita itu, sudah bukan urusanku lagi."

Marcello membalikkan tubuhnya untuk keluar dari ruangan rapat mereka. Sungguh setiap bertemu dengan Romeo, Marcello ingin sekali menghajar pria itu habis-habisan seperti dulu.

Tapi kali ini itu sudah tidak mungkin. Mereka sudah sama-sama dewasa dan harus menjaga nama baik keluarga mereka masing-masing. Jika Marcello mengikuti egonya, mungkin saat ini ia akan menghajar Romeo dan membuat pria itu tidak bisa membuka mulutnya sama sekali.

**

Sandra hari ini pulang sore seperti biasanya karena besok ia shift malam. Meskipun tadi siang di kantor sudah makan, entah kenapa tiba-tiba Sandra ingin mencicipi restoran Jepang yang berada agak jauh dari hotel tempatnya bekerja. Dulu, sewaktu ayahnya belum bangkrut, ia sering makan ke situ bersama teman-temannya, bahkan Sandra yang mentraktir.

Sekarang, jangankan mentraktir. Jika ingin ke sana, Sandra harus berpikir dua kali karena uang yang akan ia habiskan bisa untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya selama beberapa hari. Tapi kali ini entah kenapa, sesekali ia ingin merasakan hasil kerja kerasnya.

Setelah berpikir sebentar, Sandra akhirnya mengendarai motornya ke restoran yang dulu menjadi langganannya. Restoran itu tidak terlalu ramai karena hanya dikunjungi orang-orang kalangan atas. Mungkin diantara sekian banyaknya pengunjung, Sandra lah yang memakai sepeda motor.

Setelah memesan makanan yang ia inginkan, Sandra duduk sendirian sambil bermain ponsel. Ia membuka galeri dan menatap foto anak-anaknya. Sesekali ia tersenyum sendiri saat melihat video di mana kedua anaknya itu bertengkar. Itu video dulu karena sekarang mereka sudah jarang bertengkar. Justin lebih banyak mengalah karena merasa lebih dewasa dari pada adiknya yang cengeng. 

Beberapa saat kemudian, seorang pramusaji menyajikan pesanan Sandra. Dari baunya saja sudah sangat enak. Karena sudah rindu dengan masakan Jepang, Sandra segera melahapnya dan tidak lama makanan itu sudah tandas. Dalam hati Sandra berkata, suatu saat akan mengajak anak-anaknya kemari juga.

Karena ia sudah memakan semua pesanannya, Sandra memutuskan akan pulang karena hari sudah menjelang malam. Sandra segera membayar makanannya dan beranjak keluar. Namun ponselnya tiba-tiba berbunyi dan Sandra meraih benda pipih itu dari dalam tasnya. Saat Sandra akan keluar dari restoran, tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang hingga membuat ponselnya terjatuh.

"Maaf, saya tidak sengaja."

Sandra segera berjongkok untuk mengambil ponselnya dan berdiri untuk meminta maaf kepada pria yang sudah ia tabrak itu. Namun, saat melihat wajah laki-laki itu, mata Sandra seketika melotot.

Pria itu, yang sudah tidak ia temui selama tujuh tahun. Pria yang merupakan ayah dari anak-anaknya kini berdiri tegap di hadapannya. Pria itu seperti sama terkejutnya dengan dirinya, namun segera menguasai keadaan karena ada seorang wanita di sampingnya. Dan waktu seolah berhenti seketika. Keduanya saling menatap dalam diam, dan tidak ada yang mengatakan satu kalimatpun hingga rasanya dunia berhenti saat itu juga.

Memories From The Past ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang