2

17 2 1
                                    

Esoknya, Sasa dan teman-temannya membeli keperluan dan berkumpul disisi lapangan untuk menghias panggung dan mengumpulkan properti. Seperti biasa, Ali, Anton, dan Eri belum kunjung datang membantu. Ketika sedang menyusun hiasan bendera bersama Ninda, Sasa teringat akan permbicaraannya bersama Ali tadi malam, yang mana percakapan mereka telah memberi tanda-tanda bahwa Ali dan dua temannya tidak serius dan tidak berminat membantu mereka. Sasa pun merasa sedih dan kecewa.

Sasa mulai membicarakan ide mengenai pentas drama kepada teman-temannya. Jalan cerita yang akan dipakai adalah cerita tentang Pertempuran Surabaya. Mereka menyetujui ide tersebut, dan ketika mencoba berbagi peran, ternyata mereka kekurangan orang untuk berperan di pentas. Gia memberi saran, kalau mereka perlu mengajak Ali dan kedua temannya berpartisipasi.

Pada suatu sore, setelah kebetulan melihat Ali, Anton, dan Eri, Sasa yang ditemani Ninda menghampiri mereka dan mengajaknya bicara.

"Guys kita udah diskusi bakal nambahin kegiatan baru. Kita mau nampilin pentas drama tema sejarah. Tentang Pertempuran Surabaya. Tapi kita kekurangan orang buat jadi pemeran yang tampil di panggung. Kalian bertiga bisa bersedia ikut, ya?"

Mereka bertiga pun terdiam dan saling lirik. Eri menjawab santai, "Tapi kemarin kita udah bilang... kita bertiga kan mau ada acara, mau berangkat nih malam ini."

"Emangnya... kalian nggak mau ikut ngerayain hari kemerdekaan disini? Seru loh! Barusan Pak Rahman juga bilang, kalau kita berhasil jadi panitia acara ini, kita bakal dapat hadiah dan nilai tambahan.." bujuk Sasa penuh harap.

"Kalian bisa berangkat keluar kota lusanya aja..." tambah Ninda.

"Keburu balik lagi abangnya Eri ke luar negeri," balas Ali.

Sasa berusaha membuat nadanya pelan, "Tapi... kalian kan masih PKL disini... kalian juga perlu tahu prioritas kalian disini.." kata Sasa, tidak menyerah membujuk.

"Kita kan bisa izin kalau ada urusan, Sas." Jawab Eri.

Sesuai perbincangan mereka sebelum ini, Ninda pun tidak kalah menyerah. "Pasti bisa diundur, kan? Urusan kita disini nggak kalah penting loh,"

"Kita habis ini mau minta izin ke pembimbing kok," sahut Anton, "Liburan dulu kita... hehe"

"Hih kalian tuh!" Ninda mulai kesal, "Emang kalian doang yang ada keperluan dan pengen izin libur, kita juga lah!"

Anton menjawab "Hei lagian ya, katanya, anak-anak pada nggak minat ikut acara lomba gitu. Lomba kayak gitu nggak asyik buat mereka, orang mereka juga bisa asyik main game di gadget aja pun."

"Jadi maksudnya.. kalian mau... nyerah sama gadget mereka?" tanya Sasa.

Ali menjawab, "Hm realistis aja sih, itu aja udah bisa jadi hiburan buat mereka kok."

"Kalau gitu... bukannya kita malah biarin mereka main gadget terus dirumahnya?" tanya Ninda.

"Emang kenapa kalau mereka main gadget, itu kan berguna juga buat mereka. Jaman sekarang mereka bisa cari cuan juga loh dari sana.." sahut Anton.

Sasa menanggapi. "Tapi kita juga perlu punya acara kebersamaan, kan? Kita perlu bersosialisasi dan--"

"Mereka tuh nggak punya motivasi apapun buat ikut memeriahkan hari kemerdekaan. Aku pernah lihat sendiri kalau mereka nggak paham cerita sejarah Indonesia itu ada apa aja, dan kenapa Indonesia harus merdeka waktu itu. Lihat aja... anak-anak di desa ini datang ke sekolah itu sering terlambat..." jelas Ali, "Tahu nggak kenapa? Akses mereka ke sekolah itu sulit, fasilitas dan dana sekolah pun belum maksimal bantu mereka yang kurang mampu, mau kita berdelapan bantu juga sebenarnya sulit karena permasalahan utama mereka ada di dana pemerintah yang mandet dikorupsi terus. Indonesia merdeka? Kalau gitu merdeka apanya coba..."

Sasa bergeming setelah mendengar keluhan Ali. Ketika mengingat-ngingat soal itu, Ali memang ada benarnya juga. Tetapi, Sasa mencoba menjawab agar mereka tidak menyerah, "Kita emang belum bisa memastikan semua orang udah hidup merdeka di negara ini... tapi sebagai anak remaja kayak kita, akan lebih bijak kalau kita melakukan apa yang bisa kita lakukan dulu.."

"Dampaknya itu.." Ali tak mau mengalah, "Mereka makin susah dan nggak semangat buat belajar, apalagi buat ngumpul saling kenal dan ikut lomba di desa ini. Mereka juga udah bisa senang-senang kok di gadget. Buat apa sih capek-capek bikin lomba kalau itu nggak bikin masalah hidup utama mereka selesai?"

"Terus, kita mau ngebiarin aja mereka dijajah sama... gadget?" tanya Sasa kepada mereka, "Kamu sendiri itu..., ragu kan, kalau semua orang Indonesia sekarang udah merdeka apa belum. Menurut aku, mau udah merdeka pun, kita tetep bakal dapat ujian hidup. Bukan berarti masalah itu ada, bikin kita jadi nyerah. Kalau dulu kita dijajah negeri asing, sekarang kita pun dijajah sama rasa malas dan gadget,"

Berhasil mengungkapkan kegundahannya, Sasa melanjutkan, "Lomba ini nggak langsung merubah keadaan yang ada, tapi kebersamaan dan kekompakan kita demi menghargai hari kemerdekaan bisa membantu kita, terutama anak-anak muda kayak kita dan juga anak-anak desa agar saling mengenal, bisa main bareng mereka, bisa mempelajari sejarah Indonesia, bergotong-royong, dan nggak nyerah sama keadaan atau ketergantungan terus sama gadget! Tapi... kalau kalian masih nggak bersedia buat membantu kita... ya sudah deh! Makasih!"

Setelah mengucapkan kalimat sarkas itu, Sasa pun mengajak Ninda pergi meninggalkan mereka bertiga yang kini sedang terpaku di tempat.[]

Becoming a Committee on August 17th!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang