5. Waktu yang kembali bangkit

35 13 0
                                    

Selalu senang untuk mengingatkan kalian agar Vote dan Follow akun Vel_kyy terlebih dahulu.

Pagi kembali tiba, dan Shion memutuskan untuk meninggalkan rumah ibunya dan kembali ke apartemennya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi kembali tiba, dan Shion memutuskan untuk meninggalkan rumah ibunya dan kembali ke apartemennya. Namun, perjalanan pulang ke apartemennya itu ternyata tidak semulus yang dia bayangkan.

Setelah berpamitan dengan keluarganya, Shion melangkah keluar dengan semangat. Dia mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang. Namun, saat dia melewati sebuah gang kecil, motornya tiba-tiba berhenti. Dia melihat sosok misterius bertopeng berdiri di tengah jalan, menghalangi jalannya.

Shion merasa jantungnya berdegup kencang. “Kenapa nih orang?” pikirnya. Namun, rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya. Dia turun dari motornya dan mendekati sosok itu.

"Permisi, ada yang bisa gue bantu?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar.

Sosok bertopeng itu tidak menjawab. Dia hanya berdiri diam, menatap Shion dengan tatapan kosong. Shion merasa ada yang tidak beres. Dia berbalik untuk kembali ke motornya, tetapi tiba-tiba, sosok itu melangkah maju dan menghalangi jalan Shion.

“Apa mau Lo?” tanya Shion, mencoba tetap tenang meskipun ketakutan mulai menyelimuti hatinya. Namun, sebelum dia bisa bergerak, sosok itu mengeluarkan sebuah pisau dari balik jubahnya. Shion terkejut dan mundur beberapa langkah.

Shion sangat was-was saat seorang bertopeng itu mulai berjalan kearahnya, tetapi sosok itu tidak menghiraukannya. Dalam sekejap, sosok itu melompat ke arah Shion. Dalam pertarungan yang singkat, Shion berusaha melawan, tetapi sosok itu lebih cepat. Dalam kekacauan itu, Shion teringat akan adiknya, Sheila, yang hilang beberapa bulan lalu, dan juga Lina yang dibunuh oleh sosok bertopeng. Shion merasa semakin ketakutan kala ia memikirkan tentang kematian tragis Lina di gudang GHS waktu itu.

Dalam sekejap, sosok bertopeng itu menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Shion terengah-engah dan bingung. Dia berlari ke arah motornya, berusaha menenangkan diri. “Ini tidak mungkin terjadi,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Gue harus segera kembali ke apartemen.”

~•~•~•~•~•~•

Shion melangkah pulang ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Kenangan tentang Sheila masih membekas kuat di pikirannya, tetapi ia tahu bahwa hari ini adalah hari sekolah dan ia harus tetap bersiap-siap.

Sesampainya di apartemen, Shion langsung menuju ke kamar tidurnya. Ia mengganti pakaian dan bersiap-siap dengan cepat. Namun, saat melihat jam dinding, ia terkejut.

“Duh, Gue terlambat!” teriaknya panik.

Tanpa membuang waktu, ia mengambil tasnya dan berlari keluar mengendarai motornya, berharap bisa sampai di sekolah tepat waktu.

Di perjalanan, Shion berusaha sampai secepat mungkin, tetapi jalanan yang ramai membuatnya terjebak dalam kemacetan. Ia terus melihat jam di pergelangan tangannya, dan semakin merasa cemas. “Jam pertama kelasnya pak Edgar, Bisa sampai di sekolahan sebelum bel masuk bunyi gak ya,” gumamnya.

Namun, harapan itu sirna ketika bel sekolah berbunyi tepat saat ia memasuki gerbang. Shion menghela napas panjang, merasa frustrasi. “Ah, pasti di hukum lagi,” pikirnya sambil melangkah masuk ke dalam gedung sekolah.

Begitu ia memasuki kelas, semua mata tertuju padanya. “Shion, Lo terlambat!” seru Chakra, dengan nada prihatin. Shion hanya diam membisu dan berjalan menuju tempat duduknya. Tak lama kemudian, Pak Gerald masuk.

“Selamat pagi, semua! Sebelum kita mulai pelajaran, saya ingin mengingatkan bahwa keterlambatan tidak akan ditoleransi. Shion, karena kamu terlambat, kamu harus menjalani hukuman,” kata Pak Gerald dengan tegas.

Shion merasa jantungnya berdegup kencang. “Hukuman? Seperti apa?” tanyanya dengan nada cemas.

“Dua jam di ruang kelas tambahan setelah sekolah. Saya harap ini akan menjadi pelajaran bagi kamu,” jawab Pak Gerald. Shion merasa sangat kecewa. Ia tahu bahwa hukuman itu akan mengganggu rencananya untuk bertemu Dementia seusai sekolah.

Selama pelajaran berlangsung, Shion berusaha untuk tetap fokus, tetapi pikirannya terus melayang. Ia tidak bisa berhenti memikirkan kasus Sheila dan Lina.

Setelah bel berbunyi, Shion mengumpulkan buku-bukunya dengan berat hati dan menuju ruang kelas tambahan. Di dalam ruangan itu, ia melihat beberapa teman sekelasnya yang juga dihukum. Mereka semua tampak lesu dan tidak bersemangat.

“Kok Lo di sini?” tanya Edgar kepada Shion, yang ternyata juga ada di sana,

“Terlambat,” jawab Shion sambil menghela napas panjangnya.

Disisi lain Dementia sedang berjalan menuju ruang hukuman. Ia hampir saja lupa dengan hukumannya, Hari itu, Dementia terpaksa harus menghadapi konsekuensi dari kesalahannya karena berbincang dengan Edgar di kelas. Namun, saat ia sampai di pintu ruang hukuman, suara gaduh menarik perhatiannya.

Dementia mendekat dan melihat Shion dan Edgar, sedang adu pukul. "Berhenti! Kalian tidak bisa berkelahi di sini!" teriak Dementia, berusaha menghentikan pertarungan yang tidak perlu itu.

Shion dan Edgar tidak mendengar seruan Dementia, mereka terjebak dalam emosi mereka masing-masing. "Lo selalu menganggap diri lo yang terbaik!" teriak Shion. "Dan Lo juga selalu menghindar dari masalah! Kenapa Lo ga pernah mendengarkan kata orang lain?" balas Edgar dengan nada tinggi.

Melihat situasi semakin memanas, Dementia mengambil keputusan berani. "Dengar! Kalian berdua tidak bisa menyelesaikan masalah dengan berkelahi!" serunya, melangkah maju dan berdiri di antara mereka. "Kita di sini untuk belajar, bukan untuk bertengkar."

Shion dan Edgar terdiam, terkejut melihat Dementia yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. "Tia? Kenapa Lo di sini?" tanya Shion, sedikit bingung. "Gue disini karena dihukum juga lah," jawab Dementia dengan jujur. "Kenapa kalian berdua bertengkar lagi."

Edgar dan Shion saling berpandangan, dan dalam sekejap, mereka berdua menyadari bahwa mereka tidak ingin mengungkapkan kebenaran tentang perkelahian mereka. Shion merasa malu karena telah membiarkan emosinya menguasai, sementara Edgar tidak ingin terlihat lemah di hadapan Shion. Dengan cepat, mereka berdua berusaha mengalihkan perhatian Dementia.

"Nggak, kita berdua cuma latihan!" kata Edgar dengan senyum yang dipaksakan. "Gue lagi coba teknik baru buat melawan seorang bertopeng itu!" Shion mengangguk setuju, "Ya, kami ingin memastikan kalau Shion siap untuk melawannya kalau bertemu!"

Dementia mengangkat alisnya, tampak tidak sepenuhnya percaya. "Latihan, ya? Sangat menarik. Namun, kadang-kadang, kebenaran bisa lebih kuat daripada kebohongan."

See you again in the next chapter, Jangan lupa Vote dan follow akun ini ya!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

See you again in the next chapter,
Jangan lupa Vote dan follow akun ini ya!!

Bye~🌠

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEMENTIA: Who is He?(Hiatus!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang