Sabtu sore itu, sinar matahari yang lembut menyusup melalui jendela dapur rumah Asahi, menciptakan suasana yang hangat dan nyaman. Asahi duduk di meja makan, matanya terus mengikuti gerakan Jaehyuk yang sibuk memasak di dapur. Entah sejak kapan, Asahi mulai suka mencuri pandang pada Jaehyuk tanpa sepengetahuannya. Ada rasa menggelitik di dada saat memikirkan Jaehyuk, perasaan yang sulit ia jelaskan namun begitu nyata.
Jaehyuk, dengan lengan baju tergulung dan celemek yang terikat rapi di pinggang, tampak serius mengolah bahan-bahan di atas kompor. Aroma ramyeon yang sedang dimasaknya memenuhi ruangan, menggugah selera Asahi.
Tak lama kemudian, Jaehyuk menyelesaikan masakannya. Dia membawa satu panci ramyeon dan dua mangkuk ke meja. “Aku harap kamu suka ramyeon ala buatanku ini,” kata Jaehyuk sambil tersenyum, menatap Asahi dengan penuh harapan.
Asahi tersenyum balik, mencoba menutupi rasa gugup yang tiba-tiba menyerangnya. “Aku harap ini enak, kalau tidak enak kamu harus menghabiskannya sendiri,” Jaehyuk tertawa kecil sebagai respon.
Jaehyuk menuangkan ramyeon ke dalam mangkuk Asahi dengan hati-hati. Saat Asahi hendak mengambil sumpit dan menyuap sendiri, Jaehyuk tiba-tiba menahannya. “Tunggu sebentar,” kata Jaehyuk dengan lembut. “Biar aku yang menyuapimu.”
Asahi terkejut, wajahnya memerah. “Aku bisa makan sendiri, Jaehyuk. Tidak perlu repot-repot.”
Namun, Jaehyuk hanya tersenyum dan mendekatkan sumpit berisi ramyeon ke mulut Asahi. “Ayolah, sekali ini saja. Anggap saja ini sebagai tanda terima kasihku karena kamu sudah selalu bersabar denganku.”
Asahi ragu sejenak, merasa malu. Namun, bujukan manis dari Jaehyuk meluluhlantakkan pertahanannya. Akhirnya, ia membuka mulut dan menerima suapan pertama dengan malu-malu. “Bagaimana?” tanya Jaehyuk, matanya bersinar penuh harap.
Asahi mengangguk pelan, merasa ramyeon itu sangat lezat. “Ini enak sekali, Jaehyuk. Kamu benar-benar hebat dalam memasak.”
Jaehyuk tersenyum lebar, senang melihat Asahi menikmati makanannya. Setelah beberapa suapan, Jaehyuk mengelus kepala Asahi dengan lembut, senyum manisnya semakin memperkuat perasaan hangat di hati Asahi. “Aku senang kamu suka. Kamu harus makan banyak supaya cepat pulih.”
Asahi merasa pipinya semakin panas, bukan hanya karena ramyeon yang pedas, tetapi juga karena Jaehyuk yang begitu perhatian. “Terima kasih, Jaehyuk,” kata Asahi pelan, masih merasa canggung.
Tanpa disadari, Jaehyuk mendekatkan wajahnya ke Asahi. “Kamu tidak perlu berterima kasih, Asahi. Aku melakukan ini karena aku peduli padamu.”
Kata-kata itu membuat Asahi tertegun. Hatinya berdegup kencang, dan tiba-tiba, ia tersedak karena salah tingkah. “Ugh!” Asahi batuk-batuk, merasa sangat malu.
Jaehyuk segera mengambil segelas air dan memberikannya kepada Asahi. “Hati-hati, jangan terburu-buru,” katanya lembut, sambil menepuk punggung Asahi dengan penuh perhatian.
Setelah beberapa saat, Asahi berhasil menenangkan diri. “Maaf, aku terlalu gugup,” kata Asahi dengan senyum malu-malu.
Jaehyuk tertawa kecil, matanya penuh kasih. “Tidak apa-apa. Aku senang bisa membuatmu gugup,” candanya.
Setelah menghabiskan ramyeonnya mereka, Jaehyuk dan Asahi duduk di teras belakang rumah. Senja mulai memudar, meninggalkan langit dengan semburat jingga dan merah yang indah. Angin sepoi-sepoi mengelus wajah mereka dengan lembut, membawa aroma bunga dan rumput yang segar. Keduanya duduk berdampingan, menikmati ketenangan sore itu.
Jaehyuk mencuri pandang ke arah Asahi, yang sedang memandang jauh ke depan, ke arah matahari senja yang perlahan tenggelam di balik cakrawala. Dalam sekelebat, Jaehyuk seperti terbawa ke masa lalu, ke saat-saat ketika ia sering menikmati mentari senja bersama Arthur. Mereka sering duduk bersama seperti ini, berbagi keheningan yang damai dan menikmati keindahan alam. Dalam bayangan itu, Arthur menoleh kepadanya dan memberikan senyuman khasnya yang secerah bunga matahari, senyuman yang selalu membuat hatinya hangat.
Namun, suara Asahi memecahkan keheningan dan mengembalikan Jaehyuk ke kenyataan. “Jaehyuk, apa yang kamu lamunkan?” tanya Asahi dengan suara lembut, menatap Jaehyuk dengan tatapan penuh perhatian.
Jaehyuk tersentak sedikit, merasa canggung. “Oh, tidak ada apa-apa,” jawabnya cepat, mencoba menyembunyikan perasaannya yang berkecamuk. Ia tidak ingin membuat Asahi tersinggung atau merasa dibandingkan dengan Arthur.
Jaehyuk hanya tersenyum, merasa ada sesuatu yang tak terkatakan antara mereka. Namun, ia tidak ingin merusak momen damai ini. Ia berusaha menikmati kehadiran Asahi, meskipun bayangan Arthur terus menghantui pikirannya.
“Apa kamu sering melihat mentari senja seperti ini?” tanya Asahi, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ya, aku suka melihat matahari terbenam. Ada sesuatu yang menenangkan tentang melihat dunia berubah warna,” jawab Jaehyuk, merasa sedikit lega karena pembicaraan beralih.
Saat sinar mentari terakhir menghilang di balik cakrawala dan langit mulai menggelap, Jaehyuk merasakan dorongan untuk mendekat. Dalam keheningan yang penuh arti itu, Jaehyuk perlahan mengikis jarak dengan Asahi, hingga bahu mereka saling bersentuhan. Kehangatan tubuh Asahi di sampingnya memberikan rasa nyaman yang tak terduga.
Asahi menyadari gerakan Jaehyuk dan menoleh sedikit, menatapnya dengan mata yang lembut. “Jaehyuk, ada apa?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik, seakan takut merusak ketenangan malam yang baru saja dimulai.
Jaehyuk tersenyum tipis, merasakan keberanian yang tumbuh dalam hatinya. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin lebih dekat denganmu,” jawabnya dengan jujur, matanya bersinar dalam cahaya redup.
Asahi merasakan hatinya berdebar lebih cepat. Ada sesuatu dalam cara Jaehyuk mengatakannya yang membuatnya merasa istimewa.
To Be Continued...
- 29.08.2024 -
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.