[✓] BUNGA MATAHARI 🌻 | JAESAHI ♡

🌻 09 🌻

Sore itu, langit diwarnai semburat jingga saat matahari mulai tenggelam. Jaehyuk berjalan perlahan menuju taman kecil di belakang rumahnya, tempat di mana bunga matahari yang ia tanam bersama Arthur berdiri tegak, seakan menyambutnya. Tanaman itu menjadi saksi bisu dari kenangan manis dan pahit yang ia alami bersama sahabat yang kini telah tiada.

Jaehyuk berdiri di depan bunga matahari itu, memandang kelopak kuning cerah yang mengingatkannya pada senyuman Arthur. Tanpa bisa menahan dirinya, air mata mulai mengalir di pipinya. Dengan suara yang bergetar, ia mulai berbicara, seolah-olah Arthur ada di hadapannya.

"Arthur, aku merindukanmu," katanya dengan suara parau. "Aku tahu ini terdengar konyol, berbicara pada bunga matahari. Tapi, aku merasa kamu ada di sini, mendengarkan setiap kata yang aku ucapkan."

Jaehyuk menunduk, menatap tanah di kakinya. "Aku ingin menceritakan semuanya padamu. Aku telah berbuat salah pada Asahi. Aku terlalu terjebak dalam bayangan masa lalu kita hingga aku tidak bisa melihatnya sebagai dirinya sendiri. Aku menyakitinya, Arthur. Dan sekarang, dia menjauh dariku."

Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tapi air matanya semakin deras. "Aku merasa sangat bersalah. Aku ingin menebus kesalahanku, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Asahi adalah orang yang baik, dia hanya butuh dilihat sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai bayanganmu."

Jaehyuk menatap bunga matahari itu dengan penuh harap. "Bagaimana kabarmu di sana, Arthur? Aku berharap kamu tenang dan bahagia. Aku selalu berdoa agar kamu menemukan kedamaian. Sementara itu, di sini, aku berusaha keras untuk menjalani hidupku tanpa dirimu."

Ia terdiam sejenak, membiarkan angin sore menghapus air mata di wajahnya. "Arthur, aku berharap hubungan aku dan Asahi bisa membaik. Aku tahu ini akan sulit, tapi aku tidak ingin kehilangan dia juga. Aku butuh harapan dan kekuatan. Tolong, beri aku sedikit kekuatanmu, Arthur."

Dengan kalimat terakhir itu, Jaehyuk terduduk di depan bunga matahari, memeluk lututnya. Ia menangis tanpa suara, merasakan kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Dalam keheningan sore itu, hanya suara angin yang mengisi udara, membawa doa dan harapan Jaehyuk ke tempat yang jauh, mungkin ke tempat di mana Arthur berada.

"Terima kasih, Arthur," bisiknya. "Aku akan mencoba lebih baik. Demi diriku, demi Asahi, dan demi kenangan kita."

Jaehyuk kemudian berjalan kembali ke rumahnya, meninggalkan bunga matahari itu berdiri tegak, menjadi saksi dari harapan baru yang tumbuh dalam hatinya.

•••

Jaehyuk merasa seperti berada di dalam labirin emosi setiap kali ia mencoba mendekati Asahi. Setiap pertemuan mereka, entah itu di koridor yang ramai dipenuhi siswa yang sibuk menuju kelas, di ruang kelas yang sepi setelah bel berbunyi, atau di halaman sekolah saat istirahat, Jaehyuk dengan tekun menyapanya, tetapi Asahi selalu mengabaikannya dengan dingin atau bahkan tanpa melirik sekalipun.

Pagi yang dingin, embun masih menempel di rumput halaman sekolah, Jaehyuk melihat Asahi duduk sendirian di tangga, memandang kosong ke arah jauh. Jaehyuk menghela napas dan memutuskan untuk mendekatinya, mengabaikan getaran cemas yang terus mengusik hatinya. "Hei, Asahi," panggilnya dengan lembut, langkah kakinya semakin mendekat. Asahi menoleh sebentar, ekspresinya tetap dingin dan tak berubah, sebelum kembali memandang lurus ke depan tanpa sepatah kata pun lalu meninggalkan Jaehyuk.

Tidak putus asa, Jaehyuk terus mencoba mencari cara untuk menyentuh hati Asahi yang terlihat terluka. Suatu sore yang cerah, setelah latihan atletik, Jaehyuk melihat Asahi duduk di luar lapangan, wajahnya tegang seperti mencoba menahan sesuatu yang tak terucap. Jaehyuk menghampirinya dengan hati-hati, membawa dua botol air minum dingin. "Asahi, ambil ini," ucapnya lembut sambil menawarkan satu botol. Asahi menatap botol air sebentar, ekspresinya masih kaku dan dingin, sebelum akhirnya kakinya melangkah meninggalkan Jaehyuk.