21. Kabar

155 30 3
                                    

"Phi, berikan nomor rekeningmu. Aku mau mengembalikan uang hari ini." Rain menyerahkan ponselnya, berharap Alpha menuruti apa yang dimintanya.

"Aku senang kamu selalu menjadi dirimu sendiri. Tapi Rain, uang yang kukeluarkan untuk kalian, tidak seberapa dengan yang kamu berikan padaku. Kamu mengerti maksudku, bukan?" Phayu mendorong pelan ponsel milik Rain.

"Phi Phayu, aku tidak bisa menerima uang itu dalam bentuk apa pun."

"Rain, aku paham. Itu sebabnya, aku selalu menemuimu untuk hal yang seharusnya."

"Kamu menemuiku bukan karenaku, kan? Kamu hanya merasa bersalah, dan merasa kamu perlu melakukan hal ini agar rasa bersalahmu hilang."

"Kamu mengatakan itu untuk mengingatkanku akan keburukkanku, atau ada sesuatu yang membuatmu menolakku?"

Rain sudah memiliki jawaban, jika suatu saat Phayu bertanya demikian. Tetapi, saat ini dirinya memilih diam.

"Jadi, itu karena keburukkanku, benar? Apakah aku tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku?"

"Bukan seperti itu maksudku."

"Lalu apa?"

"Aku tidak bisa mengatakannya di sini."

Dia melihat ke sekelilingnya, mereka berada di kursi teras, dengan beberapa anak dan pengasuh di halaman depan, serta di dalam rumah.

Phayu menyadari kalau posisi mereka saat ini, tidak begitu leluasa untuk berbicara lebih lanjut.

"Kamu sudah siap berbicara padaku tentang hal lain? Jika ya, kita bisa mencari tempat lain."

Haruskah aku menjawabnya sekarang? Apakah aku sudah benar-benar siap mengatakannya?

"Danau hari itu sepertinya bagus, apakah di malam hari tempat itu memiliki penerangan?"

"Tidak terlalu, tapi bisa membuat kita cukup nyaman. Mau ke sana?"

"Phi, beri aku waktu satu minggu ini untuk sendirian, dan kita akan bertemu di sana untuk berbicara lagi."

"Baiklah, kalau begitu aku pulang. Sampaikan salamku pada Bu Anong dan yang lainnya, jangan tidur terlalu malam."

Phayu dan Rain perlahan berdiri dari kursi, dia menatap Rain dengan penuh harap. "Sebelum aku pergi, bolehkah aku mencium keningmu?"

Meski tahu jawabannya akan seperti apa, Phayu tetap bertanya dengan suara yang begitu lembut, dan si pendengar hanya tersenyum. Sesuai yang sudah dia duga, Rain memberikan penolakan yang halus namun jelas melalui senyumnya.

"Maaf, Rain," ucapnya sambil mengangguk pelan, matanya memancarkan pengertian.

Kemudian, Phayu berjalan menuju mobilnya. Sejenak, ia menoleh ke belakang sebelum benar-benar pergi, meninggalkan Rain yang masih berdiam diri di teras.

Suara mesin mobil yang tadi bercampur dengan tawa anak-anak, kini menjauh. Menjadikan gelak tawa mereka sebagai satu-satunya bunyi, yang terdengar di tengah sunyinya malam.

Tak lama setelah mobil Phayu pergi, ibu pemilik panti menghampiri Rain yang telah duduk kembali.

Wanita paruh baya duduk di sebelahnya dan menatapnya dengan tatapan penuh kasih. "Kamu baik-baik saja, Nak?" tanyanya dengan suara lembut.

Rain mengangguk pelan, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Mereka berbicara sebentar, tentang perasaan, harapan, dan kenyataan yang kadang tak sejalan.

Setelah obrolan yang menenangkan, Rain akhirnya menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar, membawa perasaannya yang masih bercampur aduk.

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ─── ─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

"Perlu diingat, pembangunan hotel kedua ini bukan hanya untuk mengembangkan bisnis. Tetapi, juga untuk memberikan pelanggan pelayanan berbeda, yang belum pernah ada di hotel lainnya. Selain itu, kita juga perlu meningkatkan kepuasan dan kenyamanan mereka selama di sana."

Pria bermata tajam, terus menjelaskan setiap detailnya pada para pegawainya di ruang rapat. Mereka telah berada di ruangan itu selama satu jam, guna membahas hotel yang mendekati tahap penyelesaian.

Setiap kepala memberikan gagasannya pada atasan mereka, baik dari segi layanan maupun pemasaran.

Pemikiran mereka selalu Phayu terima, dan diolah kembali menjadi satu kesatuan untuk diwujudkan.

"Baiklah, terima kasih untuk rapat hari ini dan selamat berakhir pekan." Phayu berdiri mengakhiri rapat dan diikuti dengan tundukkan kepala oleh mereka, sebagai penghormatan pada atasan.

Alpha keluar dari ruangan, bersama pria lain di belakangnya.

"Ughh." Ia berhenti berjalan ketika hampir sampai ke ruangannya. Phayu memegangi perut, dan satu tangan lainnnya membekap mulut.

"Anda baik-baik saja, Pak? Apakah saya harus memanggil dokter?"

"Tidak perlu."

"Anda yakin?"

"Ya, Sig."

"Baiklah, mari saya bantu ke ruangan Anda. Saya perlu memastikan, atasan saya baik-baik saja."

"Terima kasih."

Pada awalnya, dia memang menangani segala sesuatunya di perusahaan tanpa sekretaris, setelah tertangkapnya Prim.

Akan tetapi, dengan lonjakan minat para pelancong di hotelnya, Phayu mulai memikirkan lebih banyak pengembangan di hotel tersebut, dan itu agak sulit ia lakukan, karena tidak memiliki bantuan detail di saat rut.

Sebab, pada saat itu, Saifah pergi ke luar negeri untuk mempelajari bidangnya lebih dalam lagi. Jadi, Phayu memutuskan untuk mencari sekretaris baru dengan gender Beta.

Dari semua tahapan yang diberikan Phayu untuk calon sekretarisnya, hanya Sig yang mampu bertahan. Meski begitu, Phayu tetap memastikan, bahwa Sig tidak sama seperti orang sebelumnya.

"Saya permisi, Pak."

Sepeninggal sekretarisnya usai memastikan Phayu dalam kondisi baik, Alpha menghidupkan layar ponselnya.

Dia telah menunggu dalam beberapa hari, tetapi masih belum ada tanda kejelasan untuk jam pertemuan, yang Rain katakan padanya.

Setelah melihat berkali-kali bahwa tidak ada pesan ataupun panggilan tak terjawab dari Rain, Phayu mengalihkan matanya dari ponsel ke komputer. Ia mengecek kembali balasan e-mail dari mitra-mitra bisnisnya.

Phayu menghela napas lega, ketika membaca balasan positif dari mereka, mengenai pembangunan hotel kedua.

Di saat dirinya akan mematikan komputer, ponselnya bergetar, menandakan adanya panggilan masuk.

Matanya yang tajam menampakkan keterkejutan, di saat dirinya menerima panggilan dari rumah sakit. Tanpa banyak berpikir, ia segera berlari keluar ruangan, meninggalkan segala sesuatu di belakangnya.

Deru mesin kecepatan tinggi memenuhi telinga, seakan hanya ada suara dari mesin mobil miliknya di jalanan yang cukup ramai.

Perjalanannya seolah-olah memaksa waktu untuk berhenti, menunda takdir yang menunggu di depan.

Phayu menginjak pedal gas semakin dalam, tangannya erat menggenggam setir, matanya fokus menembus cahaya jingga, penuh kecemasan yang tak tertahankan.

Di dalam hatinya, ada doa yang terus terucap tanpa suara, berharap bahwa ia akan tiba tepat waktu.
















🌪🌧
☆Jangan jadi silent reader's, tinggalkan jejak dengan vote ★






🐻 : Untuk pembaruan bab yang akan datang, agaknya akan lebih lambat, soalnya aku lagi ada urusan. Jadi, untuk pembaruan minggu depan, aku publish malam ini—jadi 4 bab sekaligus.

Seperti kata Phayu—selamat berakhir pekan ^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LOVE GEOMETRY ⊹⊹ OMEGAVERSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang