𖦹 over thinking

219 31 8
                                    

•••

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

✷        ·
  ˚ * .
     *   * ⋆   .
·    ⋆     ˚ ˚    ✦
  ⋆ ·   *
     ⋆ ✧    ·   ✧ ✵
  · ✵

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

Malam itu, Gita berada di kosannya yang sederhana namun nyaman. Sebuah kamar kecil dengan dinding yang dihiasi poster-poster buku dan film favoritnya, rak buku yang penuh dengan novel-novel dan action figure, serta meja belajar yang rapi, meskipun jarang digunakan. Gita memilih untuk berbaring di atas kasurnya yang empuk, mengistirahatkan tubuh setelah seharian beraktivitas di kampus. Sementara itu, pikirannya melayang-layang, membayangkan bagaimana hari esok akan berjalan.

"Besok disuruh bawa apa ya..." gumamnya pelan, sembari menatap langit-langit kamar. Besok adalah hari kedua masa PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru), masa di mana Gita dan teman-teman seangkatannya akan diperkenalkan pada kehidupan kampus yang sesungguhnya. Kegiatan ini seringkali penuh dengan aktivitas dan tugas-tugas kecil yang harus diselesaikan, tetapi Gita merasa sedikit cemas-bukan karena tugas-tugas tersebut, melainkan karena ia masih merasa asing di lingkungan baru ini.

Gita meringkuk di kasurnya, memeluk bantal dengan erat. Meski dia adalah orang yang mandiri dan terbiasa sendiri, kali ini ada rasa hampa yang tak biasa mengusik hatinya. Ia tahu bahwa seharusnya ia mulai membuka diri, mencoba berkenalan dengan lebih banyak orang, tetapi hal itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Gita bukan tipe orang yang mudah memulai percakapan, apalagi dengan orang yang baru dikenalnya.

Sementara ia berpikir, telepon genggamnya tergeletak di meja samping tempat tidur, berdering sekali menandakan bahwa pesanan makanannya sedang dalam perjalanan. Gita menatap layar ponselnya sejenak, lalu meletakkannya kembali tanpa membuka notifikasi itu. Ia masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Mungkin aku memang terlalu tertutup..." pikir Gita, mengakui hal yang selama ini ia coba abaikan. Sejak kecil, Gita selalu memiliki tampang yang serius dan tegas. Hal ini membuat banyak orang berpikir dua kali sebelum mendekatinya, padahal di dalam hati, Gita justru mendambakan hubungan yang lebih dalam dengan orang lain, hubungan yang melampaui basa-basi dan percakapan singkat.

Untungnya, ada Eli yang sejak lama sudah ia kenal. Meski hubungan mereka pernah mengalami masa-masa sulit, Eli adalah satu-satunya yang bisa melihat Gita sebagai dirinya sendiri. Selain Eli, kini ada Dey-seorang gadis yang baru dikenal Gita namun sudah mampu membuatnya sedikit lebih nyaman. Dengan keceriaan dan sifat vokalnya, Dey berhasil menerobos pertahanan yang selama ini Gita bangun.

Tetapi di luar itu, Gita merasa masih ada jarak antara dirinya dan mahasiswa lain. Ketika berkumpul dengan kelompok besar, seperti dalam kegiatan PKKMB, Gita merasa canggung dan sulit menemukan kata-kata yang tepat.

Gita menghela napas panjang, memandangi langit-langit kamarnya sambil merenungkan situasi yang ia hadapi. Di dalam lingkungan kampus yang baru ini, ia merasa seperti orang luar yang terjebak di antara kelompok-kelompok yang sudah terbentuk. Kebanyakan mahasiswa lain tampaknya sudah menemukan teman-teman mereka sejak awal-entah melalui jaringan pertemanan dari SMA, atau mungkin mereka lebih mudah bergaul, dengan cepat membangun koneksi selama masa orientasi. Bagi Gita, ini membuat tantangan untuk berteman menjadi semakin berat.

LATCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang