Pukul 7.20
Davin keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah rapih, lengkap dengan jaket denim berwarna abu-abu favoritnya. Ia menoleh sekilas pada sang kakak yang masih terlelap diatas ranjang.
Devia tampak sangat cantik dengan pipi sedikit chubby yang menambah kesan lucu pada wajah baby facenya. Wajah yang tak sedikitpun punya kemiripan dengan wajah Davin, namun wajah polos kakaknya itu selalu berhasil meredam rindu Davin pada almarhum bundanya.
Tidur Devia tampak begitu pulas, mungkin ia kelelahan karena akhir-akhir ini terlalu banyak beraktivitas dan jadi kurang beristirahat karena tugas kampus yang menumpuk. Maklum saja Devia kuliah di jurusan kedokteran.
Davin tersenyum kecil ke arah Devia. "Lo masih terlalu sering maksain diri buat terlihat sempurna seperti kemauan ayah, Kak. Padahal gue tau lo bisa ngelawan karena lo juga punya hak buat lakuin apa yang lo suka" Gumam Davin sangat pelan nyaris tanpa suara.
Davin tak sepenuhnya tahu seperti apa sang ayah mengekang Devia selama ini, namun Davin yakin sang kakak mendapatkan hal yang serupa seperti yang ia dapatkan setiap harinya.
Tekanan dan paksaan untuk selalu tampil sempurna dalam segala hal, sudah menjadi hal yang nyaris biasa dalam hidup Davin dan Devia. Keduanya seakan telah kebal dengan tekanan yang sang ayah berikan setiap harinya. Mereka seperti terlahir hanya untuk berlomba menjadi yang terbaik dalam segala hal.
"Semoga lo memang suka lakuin semua ini tanpa adanya paksaan, Kak. Gue selalu bangga punya kakak seperti lo" Monolog Davin masih menatap Devia dengan tatapan sulit di artikan. Seperti sebuah tatapan iba, namun ada pula tatapan kekhawatiran yang terselip disana.
Setelah mengucapkan Davin melangkahkan kakinya pelan keluar dari kamar. Ia menuruni tangga dengan langkah santai, lalu menuju ruang makan untuk melaksanakan sarapan.
Davin menghentikan langkahnya di ruang makan, di atas meja tampak sudah tertata rapi berbagi jenis makanan. Semuanya tampak begitu nikmat, namun entah mengapa tak ada satupun yang menggugah selera Davin.
Davin menarik kursi kayu yang berdempetan dengan meja makan membuat suara gesekan antara kaki kursi dan lantai yang terdengar begitu nyaring. Gemanya seolah menembus kekosongan ruangan berukuran cukup luas tempat dimana Davin berada. Mungkin tak hanya ruangan ini yang terasa begitu hampa, tetapi hampir semua ruangan di penjuru rumah megah ini memancarkan suasana yang senada.
Davin duduk seorang diri menikmati sarapannya pagi ini, mungkin hari-hari biasanya ia ditemani sang kakak yang akan sangat berisik dan banyak sekali bercerita padanya.
Cukup berbeda dengan sarapan Davin pagi ini yang di temani sepi. Hanya suara dentingan sendok, gardu dan piring yang saling bertabrakan yang terdengar mengisi ruang makan. Semuanya benar-benar terasa seperti mati.
"Udah hampir tujuh tahun bunda pergi, tapi sampai detik ini lukanya masih terus terasa buat kami" Batin Davin dengan mulut yang mengunyah.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Harmoni
Teen FictionApa yang jadinya jika cowok dingin penggila musik di pertemuan dengan cewek ceria penggila sains? Seberapa indah romansa mereka? Kuy! Baca siapa tau suka. Di SMANPRA, siapa yang tak mengenal seorang Davindra Argadinata? Pemuda dingin yang tak pernah...