Bab 4

236 44 17
                                    





"Sakura kau harus ingat perkataan ibu, apapun yang terjadi jangan pernah membenci ayahmu, hm." Suara itu lembut dan memiliki makna yang begitu dalam, menabrak pendengaran Sakura, hingga berapa kalipun ibunya mengulang ucapan yang sama dia akan sentiasa mengingatnya.

Tatapan khawatir bercampur sedikit cemas ibunya digantikan tawa menenangkan. Sakura meraup pelan pipi ibunya dan meremasnya lembut seakan dia belum pernah melakukannya seumur hidupnya, pikirannya dipenuhi tanda tanya, tapi dia mengabaikannya dan menerima pelukan hangat ibunya yang kini berbisik lagi. "Kau juga harus selalu ingat untuk tersenyum, walaupun nanti akan ada yang menghina kondisi kita atau memperlakukan kita tidak adil, kau jangan pernah menghakimi mereka, kau mendengar pesan ibu?" Ibunya menjewel hidungnya main-main karena dia tidak kunjung membalas.

Namun alisnya mengernyit pertanda ada keraguannya atas perkataan ibunya. "Bukankah itu tidak adil?  Maksudku, bagaimana dengan hak kita sebagai manusia ? Kita tidak harus diam dan mendengarkan mereka menghina kita kan? Kalau semua itu dibenarkan oleh senyuman, lalu apa peran polisi, hakim dan sebagainya? Apakah penjara hanya dijadikan sebagai pajangan? Itu kan tidak a-"

"Shh... Kalau kita mempersoalkan keadilan itu sama saja kita tidak mempercayai takdir kita yang sudah ditulis oleh yang berkuasa kepada kita kan... Ibu tidak memintamu untuk diam sebagai patung saat ada orang yang akan menghinamu, tapi ibu hanya ingin Sakura bertindak bijaksana sebelum melakukan sesuatu... Jangan gunakan kemarahan untuk menghakimi sesuatu bukankah itu bukan hak kita, hm?  Jadilah sosok yang akan memahami kondisi sebelum melakukan suatu hal... Ibu yakin kau pasti bisa."

Bibir mungil Sakura melengkung lebar, tersenyum begitu cerah tanpa beban, mata Mebuki menyipit karena membalas senyuman putri semata wayangnya, dan sekilas ada sebutir airmata menggantung di hujung matanya. "Senyuman adalah tanda bahwa semua baik-baik saja sayang, ibu harap kau tidak melupakan pesan ibu ini sampai kapanpun..."

"Kalau itu dari ibu, aku Sakura bersumpah atas takdirku yang akan ditentukan oleh berkuasa akan sentiasa ingat pesan ibu."

Bola emelard itu bergerak gelisah, tubuhnya berkilat oleh peluh yang tidak cukup membuat dirinya terlihat baik dimata orang lain, napasnya mengalun kasar, terburu-buru. Tidak lama sebutir airmata lolos dibalik bola mata tertutup itu, kemudian isakan pelan terdengar memilukan keluar dari celah bibirnya yang memerah karena demam.

Sakura membuka matanya, alisnya mengerut merespon cepat rasa sesak yang kini membungkus dada dan sekitar perutnya. Langit-langit kamarnya masih terlihat seperti kemarin malam saat dia bermimpikan bahwa hanya tersisa seratus hari untuk dia berpuasa dari hubungannya dengan Sasuke.

"Itu bukan mimpi ya," Gumamnya serak, langsung tidak panasaran mengapa dirinya berada di kasur, terakhir yang dia ingat dia berada di guyuran hujan dan petir yang bersahut-sahut seakan ingin menghancurkan jiwanya.

Bunyi pintu dibuka dan suara orang tengah bicara menghentikan manik hijau itu dari menatap langit kamar dan melirik ke arah pintu kamarnya, hanya menemukan dua orang manusia sedang membawa sesuatu diantara tangan mereka. Sakura menatap kosong Barbara dan Irine yang terlihat khawatir pada tubuhnya.

"Kau sudah bangun, bagaimana kondisi tubuhmu?"

Sakura melihat dia mengenakan stoking di kakinya dan sarung tangan, tubuhnya dibalut selimut tebal seperti mayat, tidak heran mengapa keringat sampai sebanyak ini hingga terasa lengket. Tapi itu tidak penting, tadi Irine menanyakan bagaimana kondisinya, Sakura sekali lagi memerhatikan dirinya.

Bad LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang