1

81 2 1
                                    

Ini adalah malam pengantin ke lima puluh. Helai mawar, lilin aroma, dan musik romantis bergema di seluruh penjuru kamar. Seorang pria dengan rahang tegas naik ke atas ranjang. Kami saling memeluk dalam suasana intim, siap untuk berbagi kehangatan.

Namanya Zidan, suami kelima puluhku yang tidak bekerja. Aku memilihnya karena aura yang kuat.

Namun, siapa sangka bahwa di menit ke lima belas, malam kami berakhir dengan tragis. Tubuh tinggi Zidan terlempar ke belakang dan punggungnya membentur dinding dengan keras. Setelahnya, napasnya tersendat-sendat selama beberapa menit sebelum ia meninggal.

Aku tidak terkejut sama sekali. Sudah lima puluh kali makhluk tak kasat mata menggagalkan malam pertamaku. Aku berharap ini adalah yang terakhir, tetapi meskipun aku memilih pria yang taat beragama, ia tetap tidak kuat.

Sial, aku jadi janda lagi.

Sambil membenahi kembenku, aku memanggil bapak yang menunggu di luar pintu.

“Mati lagi?” tanyanya menghela napas panjang.

Aku mengangguk lemah, “Mayatnya dikubur saja seperti biasa, di kebun milik simbah.”

Aku mempersilakan bapak masuk untuk memeriksa. Tidak ada yang istimewa karena Zidan posisi matinya sama dengan suami-suami sebelumnya. Makhluk itu hanya mendorong sedikit, tetapi nyawanya tercabut dalam satu kali benturan.

“Tapi ini pria paling lama kan?” bapak berjongkok lalu menutup mata Zidan.

“Lima belas menit, lumayanlah, daripada suami-suami sebelumnya,” sahutku duduk di tepian ranjang.

“Pergilah, bapak yang akan mengurusnya. Malam ini jangan tidur, tetap terjaga sampai bapak pulang.” Bapak menepuk bahuku dengan tatapan kasihan.

Zidan akan dikubur layak di kebun nenek, seperti suami terdahulu. Tidak ada pelayat karena akan mengundang omongan. Selama ini aku tidak pernah meninggalkan jejak. Pernikahan selalu dilakukan secara siri oleh para pengikut bapak.

Semua mayat suamiku dijejer mengelilingi pohon asam. Awalnya aku sedih, tetapi lama-lama menjadi mati rasa. Bahkan di tahun-tahun terakhir ini, tidak ada yang namanya jatuh cinta. Aku hanya memilih pria yang sekiranya kuat untuk didekati dan dinikahi, tetapi semuanya malah mati.

Namaku Kenes, keturunan terakhir nenek buyut yang dulunya pengikut aliran sesat. Entah apa perjanjian leluhurku dengan jin hingga aku terkena karma begini. Satu hal yang kutahu, sebelum perawanku pecah, hidupku tidak akan bahagia. Itupun ada batas waktunya. Saat umurku menginjak tiga puluh, petualanganku akan berakhir dengan kematian. Dengan begitu, tujuan memutus keturunan nenek buyut berakhir. Tidak ada gunanya melahirkan keturunan baru karena sejak ibu meninggal, bapak tidak lagi bergairah.

---

Seminggu setelah kematian Zidan, bapak terus-menerus murung. Ia menandai kalender karena ulang tahunku yang ke tiga puluh tinggal hitungan bulan. Jujur, bertahan sampai sejauh ini sudah sangat melelahkan.

Aku telah melalui tiga belas tahunku berburu pria lajang. Hampir empat orang dalam setahun jatuh ke pelukanku. Ya, meskipun semua berakhir menjadi mayat di perkebunan nenek buyut. Berkat susuk di wajah dan tubuhku, mudah memikat siapa saja. Ilmu hitam adalah salah satu alasan kenapa kami tidak pernah tertangkap. Tidak ada yang curiga karena kebun nenek ada pagar ghaibnya.

“Kurang tiga bulan lagi, tapi laki-laki di daerah sini mulai habis,” kata bapak menggaruk kepalanya gusar. Total ada tiga kampung yang menjadi fokus perburuan kami selama ini. Sekarang sisanya hanya tinggal pria paruh baya dan anak kecil saja.

“Pak, bagaimana kalau kita menyerah saja? Aku akan menjalani sisa tiga bulanku dengan bertobat,” gumamku memainkan semut yang kebetulan lewat di depan tanganku.

“Tunggu dua bulan lagi, bapak punya firasat bagus.” Bapak menatapku yakin.

Aku percaya? Tentu saja tidak. Sudah terlalu banyak harapan kosong yang ia berikan padaku. Sayang, tidak ada sisa semangat lagi. Setelah menumbalkan banyak laki-laki, bukankah ini saatnya untuk berhenti?

Akhir-akhir ini aku sering bermimpi buruk. Suara jeritan korban mati bersahut-sahutan keras sekali. Di alam bawah sadarku, suamiku berjejer dengan kain kafan kotor dan tali pocong. Aku yang lahir dengan mata batin terbuka tidak terlalu takut karena sering melihat hantu dengan wujud busuk.

Namun lama-lama mentalku mulai terganggu. Nuraniku mati karena selalu menganggap sepele nyawa manusia. Agaknya, jiwa kejam nenek buyut benar-benar menurun padaku.

“Minggu ini kita jalan-jalan ke kota saja. Kebetulan keperluan dapur juga sudah habis. Kampung ini suram dan mencekikku.” Aku bergumam sembari menatap bayangan gelap ranting pohon di kebun. Cahaya muram senja tidak lagi seindah dulu. Entah kapan terakhir kalinya aku menghargai sesuatu.

“Baiklah, persediaan kemenyan untuk dupa bapak juga mulai menipis. Sekalian bapak mau bertemu kawan lama. Siapa tahu ia bisa merekomendasikan seseorang pada kita.”

Kali ini aku berharap bapak tidak mendapatkan info apapun. Seperti aku yang ingin hidup, semua korban punya hak yang sama. Jangan karena menyambung nyawa, aku terus menumbalkan para laki-laki lemah.

---

Pasar pagi yang kukunjungi lebih ramai dari bulan lalu. Para lelembut juga turun gunung untuk membelanjakan sesuatu. Tidak semua orang tahu bahwa tak jauh dari pasar manusia, ada pasar makhluk halus. Dagangan mereka nyaris sama, tetapi jual beli menggunakan sistem barter.

“Jangan ke mana-mana. Berdiri saja di sini dan hindari kontak mata dengan jin,” bisik bapak mendudukkanku di sebuah kursi kayu. Ia sendiri masuk ke warung pojok yang menjual jampi dan dupa. Ada seorang nenek tua bungkuk dengan kebaya hitam duduk di sana. Kami sekilas saling tatap lalu saling membuang muka.

Pasar itu isinya hanya orang-orang tua saja. Paling muda sebaya bapak. Pakai blangkon atau beskap hitam. Manusianya tidak berubah, seolah toko mereka turun temurun. Tujuan utamaku adalah kota, tetapi bapak malah mengajakku ke bawah bukit begini.

“Sayangku datang lagi. Kamu pasti masih belum menemukan pria kuat itu, kan?”

Sesosok jin bersorban putih mendekat, melayang tepat di pundakku. Tawanya melengking—mengalahkan suara pedagang tempe dan daging yang berisik. Mudah sekali mengenali manusia dengan kemampuan sepertiku. Di mata mereka, wajahku lebih bersinar dibanding yang lain. Itulah kenapa tidak ada gunanya bersembunyi.

“Aku lihat kamu akan bertemu pria kuat itu dalam waktu dekat. Tapi sayang, Tuhan tidak menjodohkanmu dengan siapapun. Dia terlalu baik untuk wanita bejat yang dikutuk jadi perawan seumur hidup.” Ia terkekeh, berusaha memancing obrolan denganku.

Belum puas, ia kembali berbisik tentang neraka yang bakal aku datangi setelah mati. Katanya, nenek menungguku di sana sebagai alas kaki para iblis.

“Diam! Kubilang diam dasar jin sialan!” teriakku penuh amarah.

Kupandangi mata putihnya lekat-lekat. “Pergi atau kamu akan menyesal!”

Jin itu ternyata tidak gentar, malah terlihat senang dengan reaksiku. Sosoknya melayang-layang seperti karet pegas dan memutari kepalaku.

“Sayang, mau kuberitahu satu hal lagi? Pria itu akan mengubahmu. Kalau jadi kamu, aku akan merebut lalu menjadikannya milikku. Saat kutukanmu terlepas, pertobatanmu akan dimulai.” Sorban jin laki-laki itu menjuntai seperti selendang. Menampari wajahku. Ternyata dia jin kuat.

“Apa pria itu kesempatan terakhirku?”

“Bukan, dia satu-satunya kesempatanmu.” Jin itu akhirnya pergi sesaat setelah bap

ak kembali. Selain galak dengan sesama manusia, bapak juga tidak ramah dengan jenis lelembut apa saja.

“Kenes, ayo temui pria terakhirmu,” ucapnya menatapku serius.

Lagi-lagi ada hawa dingin yang menyusupi tengkuk. Firasatku bilang, akan ada peristiwa besar.

KUTUKAN PECAH PERAWAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang