3

19 1 0
                                    

Aku menaruh tiga helai bunga rosella kering ke dalam gelas kaca. Kuseduh lalu kuhidangkan dengan setoples kecil kue sagon. Ini adalah pertama kalinya pendopo depan diisi tamu. Biasanya seluruh rumah hanya dijadikan tempat bermain makhluk halus.

“Maaf, anda tidak perlu repot-repot begini.”

Pria itu—Guntur, sedang memotret beberapa sudut pendopo saat aku datang mengantar jamuan. Tidak masalah, toh foto itu nantinya akan terhapus dengan sendirinya. Penunggu tanah kami bisa melakukan apapun. Jangankan menghalangi lensa, mencelakai juga bisa. Ada tingkatan keilmuan dan penunggu tanah ada di kasta tertinggi nomor dua, sedang makluk celaka lain yang di tingkatan pertama.

“Jangan sungkan, anda basah kuyup dan butuh minuman panas. Bapakku pasti sebentar lagi pulang. Jadi makan atau minum dulu selagi bisa.” Aku memulas senyum lembut agar Guntur bisa terbujuk.

Lelembut di dekat dapur bilang kalau Guntur punya weton yang bertolak belakang denganku. Tidak cocok, tidak pantas dan tidak berjodoh. Ketertarikan dengan lawan jenis adalah hal biasa dan tidak berarti apa-apa.

“Terima kasih,” ucapnya menyesap ujung teh hangat itu sedikit-sedikit.

Saat bibirnya menyentuh pinggiran gelas, aku membayangkan tengah menjilat bibirnya. Selama ini belum ada pria yang bisa bertahan lama di ranjang pengantin. Wajar kalau pada akhirnya hasrat biologisku terhenti.

“Untuk membantu penyelidikan, saya punya beberapa pertanyaan yang harus dijawab.” Guntur mengambil ponsel, bersiap merekam percakapan kami.

Sepanjang berinteraksi, aku bisa melihat kalau pria itu belum tertarik padaku. Setiap pandangan kami bertemu, tatapannya dingin sekali. Apa susukku tidak bekerja? Memang ada beberapa orang yang tidak mempan. Satu ahli agama atau sama-sama pendosa. Dari dua itu, Guntur bukan salah satunya.

Dugaanku tentang kepulangan bapak terbukti benar. Dengan masih memakai beskap dan blangkon coklat, sosoknya menerobos masuk. Ia berkeringat lantaran berlari dari pintu gerbang hingga teras. Bersamaan dengan kemuculannya, kuntilanak merah kembali terkekeh kencang. Rupanya ia yang memberitahu bapak.

“Itu bapak saya, orang yang anda tunggu.” Aku sengaja berdiri untuk menyambut langkah kaki bapak. Bisa dipastikan kalau nanti ia akan memberiku ceramah panjang. Memasukkan manusia tanpa persetujuanya adalah larangan besar.

“Selamat siang, saya Guntur polisi yang menangani kasus hilangnya lima puluh pria.”

Guntur sudah mengulurkan tangannya, tapi bapak hanya menatapnya marah.

“Ijinkan saya bicara dulu dengan anak saya. Setelah itu, saya akan melayani anda,” ucap bapak tiba-tiba menarikku ke bagian dalam sebuah ruang ritual di pojokan.

Kami meninggalkan Guntur di tengah pendopo dengan puluhan makhluk halus yang melayang-layang.

“Kenapa kamu ijinkan dia masuk?” tanya bapak mencengkeram lenganku. Sepertinya tidak akan dilepas sebelum bicara jujur.

“Pak, aku mau dia. Aku ingin mengurungnya di sini,” bisikku penuh harap.

Sejenak hening lalu aku mencari celah kecil pintu kayu untuk mengintip keadaan Guntur. Aku khawatir kalau ada lelembut yang ingin memilikinya. Beberapa jin perempuan suka menempel seperti jamur pada lelaki seperti Guntur.

“Kenes, sadarlah nak. Kamu tidak bisa memilikinya. Dia pada akhirnya akan mati juga sebelum bercinta. Kamu tidak lihat? Bibirnya saja pucat sekali. Untuk apa memilih seseorang yang pada akhirnya menjadi mayat?” Bapak mengusap bagian atas rambutku, tapi aku menepisnya lagi.

“Jadi aku hanya pantas dengan manusia seperti Kodrat, begitu?”

“Bapak mengaku salah, nanti kita bicara soal ini. Sekarang yang paling penting, pria di luar harus segera diusir. Tempat ini terlalu berat untuk manusia biasa. Lama-lama dia bisa meninggal.” Bapak mencoba membujukku dengan cara lain.

“Aku akan melindunginya. Biarkan dia di sini pak. Aku ingin memiliki manusia itu. Lagipula kita sudah mengubur lima puluh pria di kebun, tambah satu lagi bukan masalah besar.” Aku tetap bersikeras sampai tidak peduli lagi dengan semua larangan para leluhur. Asal dekat denganku, dia akan aman. Toh, kami bukan sepasang kekasih, jadi makhluk itu tidak punya alasan untuk melukai.

“Kenes!”

“Pak? Beberapa bulan lagi aku akan mati. Anggap saja pria itu sebagai hadiah. Berhenti mencari calon suami lagi. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku untuk diriku sendiri.”

Bapak terpaku lama lalu mengusapi wajahnya gusar.

“Kamu mau menyerah?” bisiknya berat.

Aku mengangguk,”untuk terakhir kalinya, ijinkan aku untuk memilih priaku sendiri.”

Bapak tidak segera menyahut. Bibirnya merapal sesuatu, begitu lirih hingga tidak terdengar sampai telingaku. Sulit baginya untuk melepas perjuangan selama tiga belas tahun. Aku tahu, tapi sudah cukup.

“Mau kamu apakan dia? Dan mau mengurungnya berapa lama?”

“Sampai aku puas. Sampai aku merasa kalau ia sudah bisa dilepas. Gubuk bekas lumbung di belakang sepertinya cukup aman. Mbok Binem bisa membersihkan, ya kan? Kita bisa taruh ranjang dan meja makan.”

“Kenes, kamu mau apakan dia?” Bapak kembali ke pertanyaan awal.

“Aku akan mengurungnya.”

“Lebih spesifik. Jujur pada bapak, kamu ingin apakan? Menemanimu di atas ranjang? itu sangat berbahaya. Kita hanya akan memberi makan pada makhluk itu.” Bapak kembali mengutarakan ketidak setujuannya.

“Ada jin yang bilang padaku kalau…,”

“Berapa kali bapak bilang, jangan percaya pada mereka.”

“Jin itu memakai surban dan wajahnya begitu bercahaya. Pak, sebelum ke sini aku merangkul pria itu dari belakang, dan dia baik-baik saja. Bibirnya pucat karena kedinginan, bukan hal lain.” Aku tiba-tiba ingin menyakinkan bapak dengan cara apapun.

“Kalau dia mati bagaimana?”

“Kita kubur,” sahutku pahit.

Bapak menatapku lama lalu terpaksa mengangguk.

Kami kemudian keluar setelah sepakat untuk membius Guntur. Teh rosella tadi sebenarnya sudah kucampur sesuatu. Tinggal menunggu efeknya setengah jam lagi.

Hantu yang melayang-layang di atas juga di bawah kepala kami langsung pergi saat bapak masuk ke bagian tengah pendopo.

“Silahkan diminum dulu tehnya. Setelah habis, kita baru bicara. Ini adalah aturan di rumah kami. Tamu harus sopan agar kami juga segan.” Bapak tersenyum ramah sekali sambil mempersilahkan Guntur untuk menandaskan separuh teh yang tersisa di gelasnya.

Aku tahu, ia enggan melakukannya. Alis tebal pria itu sedikit menyatu saat mengangkat lalu menyesap ujung gelas.

“Apa kurang manis, saya bisa menambahkan gula lagi.” Aku ikut mengulas senyum sampai-sampai Guntur merasa kalau ada yang tidak beres pada sikap kami.

Keluarga kecil dengan rumah begitu besar. Pendopo dengan hawa panas di tiap sudut. Angin yang selalu kencang, tapi  semaknya tidak bergerak kena tiupan. Langit yang tidak pernah biru, juga hamparan kebun kosong yang tengahnya ada beringin besar. Tentu saja, yang terakhir adalah aku, wanita penggemar kebaya hitam dengan gincu merah terang.

Guntur Atmajaya, kira-kira apa dia akan mati juga sebelum bercinta? Batinku melirik puluhan pocong yang tiba-tiba berjejer di pintu depan pendopo. Selalu begitu, tiap ada yang baru, aku akan didatangi. Mereka mungkin penasaran apa ini akan menjadi yang terakhir atau yang kelima puluh satu.

Saking banyaknya mantan suami, aku sampai harus mencatatnya dalam  buku ritual agar tidak salah panggil.

Kuharap nama Guntur Atmaja tidak pernah kutulis juga, batinku menatap tubuh tinggi sang detektif yang mulai limbung ke belakang.

KUTUKAN PECAH PERAWAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang