Mbok Ginem adalah pesuruh dari masa kecilku. Ia telah menyaksikan banyak peristiwa—kelahiran, kematian, dan masa-masa kelam saat keluargaku terkena kutukan. Ibu meninggal, saudara jauh pergi, dan lima puluh pria mati.
Mbok Ginem adalah salah satu dari sepuluh pengikut bapak yang tersisa. Umurnya hampir lima puluh tahun, tetapi ia masih sangat lincah. Saat wanita berkebaya putih itu datang, aku langsung memintanya untuk membersihkan lumbung. Tentu saja, ia tidak melakukannya sendiri; ada tiga pria yang membantunya. Mbok Ginem hanya perlu memantau dan memberi instruksi.
Kamar itu sudah siap pada jam delapan malam. Lilin, ranjang yang dipenuhi bunga, dan seprei putih telah tersedia. Aku harus memastikan bahwa malam ini darah perawanku akan pecah.
Namun, itu terlalu cepat. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku hanya akan mengurungnya seperti peliharaan. Penting bagiku untuk membuatnya tertarik terlebih dahulu.
“Mbok, bagaimana penampilanku?” tanyaku kepada Mbok Ginem yang sedang memindahkan sepiring nasi gulai ke nampan kayu.
Aku baru saja mengepang separuh rambut panjangku ke belakang dan menyelipkan mawar di telinga. Parfum juga sudah kusemprotkan di belakang tengkuk.
“Cantik, ndoro, tetapi sepertinya pria kali ini berbeda. Apa hanya perasaan saya saja?” gumamnya sambil menggaruk helai uban di sisi kepalanya.
Senyumku langsung menghilang. “Jangan ikut campur, mbok. Buat saja makanannya. Aku yang akan mengantar.”
Ia terlalu lancang. Untuk ukuran abdi tua, Mbok Ginem seharusnya diberhentikan. Mulutnya mulai mengatakan hal-hal yang tidak penting. Tanya apa, malah membahas hal lain.
“Maaf, ndoro, maaf.” Wanita tua itu langsung bersimpuh, gemetar karena menyinggung perasaanku.
Aku benci diingatkan terus-menerus bahwa Guntur bukan suamiku.
“Jangan mentang-mentang sudah lama, simbok jadi lupa tata krama.” Kutendang sedikit kaki keriputnya lalu mengambil nampan dari meja.
Ia semakin menunduk walau aku sudah pergi dari sana lebih dulu. Manusia kadang aneh. Mereka mengikuti iblis, tetapi merasa tersakiti. Umur tidak menjadikan seorang budak dihormati. Aku paham benar karena sering melihat ayah menyiksa pengikutnya dengan alasan sepele.
“Boleh aku masuk?”
Kuketuk pintu lumbung berulang kali. Sejak lima menit lalu, belum ada jawaban. Aku hanya mendengar gonggongan anjing hutan dan gemerisik semak karena dilalui ular-ular. Bangunan itu memang terpisah jauh dari rumah utama, dikelilingi tanaman salak dan tebu. Lumbung akan penuh saat panen dan kosong saat masa persemaian.
“Kenapa kamu tidak menjawabku, mas?”
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Kubuka pintu dengan kesal.
Di sana, Guntur duduk dengan wajah bingung.
“Di mana aku? Kenapa tubuhku tidak bisa bergerak?” ia menatapku dengan tatapan setengah melotot.
Pantas. Di pangkuannya, nampak kuntilanak merah bergigi panjang duduk dan memeluknya dari belakang. Makhluk itu rupanya ingin mencicipi buruanku lebih dulu. Lidah kotornya mulai menjulur, mengelilingi leher seperti sulur pohon.
Dia bukan suamimu, jadi tidak ada pantangan untuk menggodanya lebih dulu. Ucapan kuntilanak itu bergaung kencang lewat suara batin.
Aku benci berkelahi, tapi tanganku sudah gatal sejak siang tadi. Sebelumnya, ia cukup sering mengganggu.
Tanpa perlu doa atau ritual seperti manusia lain, aku hanya perlu mendekat dan menarik rambut panjangnya kuat-kuat. Guntur melihatnya seolah aku sedang bertarung dengan angin—menendang dan meludahi. Namun, yang terjadi adalah aku membuatnya kesakitan setengah mati.
Hanya dalam sepuluh menit, kuntilanak merah itu terbang secepat angin.
Guntur terkejut karena kakinya tidak lagi seberat tadi.
“Minumlah, tenggorokanmu pasti kering.”
Aku mendekat, menyodorkan secangkir teh rosella panas dari nampan. Namun, bukannya diterima, ia malah menepisnya dengan kasar. Cairan panas itu sedikit mengenai kulit kakiku. Sakit, tetapi tidak seberapa dibanding amarahku.
Bajingan. Berani sekali dia menolak seorang Sri Kembang. Jika tidak terkena kutukan, aku mungkin sudah diperebutkan oleh beberapa pangeran jin.
“Aku bisa menuntutmu dengan pasal 221 KUHP tentang penghalang keadilan dalam hukum pidana.” Ia dengan sigap mengeluarkan pistol dari belakang pinggangnya.
Benda mematikan itu diarahkan tepat di depan kepalaku. Tentu saja, sebagai manusia aku akan mati. Namun, tidak semudah itu. Hanya perlu bersiul, lelembut di depan pintu akan masuk dan mendorong tubuh Guntur seperti kapas.
Namun, aku punya cara yang lebih efektif untuk memengaruhi sisi psikologisnya. Itu lebih baik daripada mengancam secara fisik.
“Aku bisa melihat ibumu. Dia sedang berdiri di belakang dan menyaksikan anaknya yang sebentar lagi akan membunuhku. Jadi, tarik pelatuknya saja,” ucapku sambil melirik sosok lain di belakang Guntur.
Tentu saja, itu bukan ibu Guntur. Makhluk itu hanya jin fasiq yang menyerupai wujud orang mati. Aku sudah melihatnya dua kali—saat Guntur di pendopo dan di sini. Ia menampakkan diri saat Guntur sedang emosi.
“Ibu Kedasih, meninggal di usia empat puluh lima tahun. Dibunuh dengan cara diikat di bawah pohon nangka. Mayatnya baru ditemukan empat hari kemudian, oleh kamu—anaknya sendiri.” Aku menyeringai kecil.
Mudah saja melihat memori yang disimpan oleh jin fasiq. Tatap matanya selama lima menit dan kita bisa mendapatkan kilasan balik.
“Siapa kamu?”
Pistol yang sempat diarahkan padaku kini turun. Mata elang Guntur semakin menajam, bukan sebagai ancaman tetapi rasa penasaran yang besar.
“Aku Kenes Umbara, keturunan terakhir dari Sri Kembang Umbara. Kamu melewati batas dan ada di tempat di mana alam manusia dan lelembut bersatu. Guntur, kamu tidak bisa keluar sebelum menuruti keinginanku. Jika kalah, kamu akan menjadi mayat dan hidupmu akan dilanjutkan.”
Aku mendekat, menaruh tanganku di dadanya. Manusia biasanya memberontak, begitu juga Guntur. Tubuhnya ingin melawan, tetapi tidak bisa. Aku menggunakan tenaga dalamku untuk mengikat energinya. Sekuat apapun, ia hanya bisa mengedipkan mata dan bicara. Bukan karena aku berilmu, tetapi ini wilayah kekuasaan keluargaku.
“Apa maumu?”
“Bercinta denganmu. Sudah puluhan pria yang mati setelah menyentuhku. Bagaimana kalau kamu mencobanya?” Aku berbisik, meniup lubang telinga pria gagah itu.
Aroma tubuhnya mirip harum minyak chamomile—begitu mendebarkan sekaligus menenangkan hati. Sayang jika belum mencicipi malah mati duluan.
Di saat yang sama, jin fasiq ibu Guntur memelototiku. Wajahnya yang sebelumnya bersih dan sendu perlahan berubah buruk. Kulitnya meleleh dan lehernya tiba-tiba robek. Darah kemudian bercucuran dari sana, mengundang bau busuk mayat.
“Mas, aku berjanji akan mengungkap pembunuhan ibumu jika kamu bersedia menikah. Bu Kedasih tidak mati gantung diri, tetapi dihabisi dan dibuat seperti boneka lalu diikat ke dahan pohon nangka. Kamu percaya, kan? Karena kamu sendiri juga merasakannya,” gumamku sambil menyusupkan tangan ke leher lalu mengecup kulit tengkuknya sekilas.
Ajaib, tubuh Guntur tidak dingin. Tidak menggigil dan tidak sakit. Bulu kuduknya malah meremang, tanda t
erangsang dengan sentuhan.
Ah, akhirnya aku bisa merasakan kehangatan seorang pria.
---

KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN PECAH PERAWAN
МистикаKenes Umbara dikutuk tidak akan pernah bisa melalui malam pertama.