Laki-laki itu bernama Kodrat, tubuhnya kekar dan tinggi menjulang di atas rata-rata. Bulu di wajah dan dadanya lebat, kukunya hitam dan panjang. Aku langsung tahu bahwa bapak menjodohkanku dengan pria yang mirip genderuwo.
Makhluk halus memang tidak bisa beranak pinak dengan manusia secara langsung, itulah sebabnya mereka menggunakan perantara untuk bercinta dengan wanita idamannya. Agama menyarankan doa sebelum berhubungan, tetapi manusia kadang lupa.
Seperti ibu Kodrat, yang tampaknya tidak mempedulikan hal itu. Baunya campuran antara singkong bakar dan kuncup kamboja kering. Suaminya-- ayah Kodrat, tetap di kamar karena sakit. Kelihatannya lumpuh karena ada tongkat kayu kering di pojok ruangan.
“Saya sudah mendengar alasan kalian memilih anak saya untuk dijadikan suami,” kata ibu Kodrat dengan tatapan angkuh dan terlihat licik.
Andai dia tahu aku bisa melihat makhluk tinggi besar di belakangnya, mungkin harga dirinya akan jatuh. Seperti ibu Kodrat, genderuwo yang tak lain adalah ayah Kodrat juga tidak suka kehadiranku. Mata merahnya nampak menyala sejak aku datang. Ia sesekali mendengkus juga.
“Ini akan menjadi pernikahan yang saling menguntungkan. Anak saya bisa membantu Kodrat mempelajari hal-hal dasar sebagai manusia,” kata bapak mengelus jenggotnya sambil tersenyum hambar.
Sungguh omongan palsu. Mana mau aku mendapatkan sua,i seperti itu?
Di atas meja tersedia teh, pisang rebus, dan kopi. Aku tidak menjamahnya karena Kodrat sempat memegang satu per satu. Akalnya setara anak umur lima tahun. Air liur menetes dan banyak sisa nasi di bibirnya. Namun ibunya tetap angkuh, padahal gubuk mereka sudah sangat lapuk. Andai tebing sebelah longsor, keluarga Kodrat tentu akan terkubur hidup-hidup.
“Saya minta mahar besar karena butuh waktu lima belas tahun pernikahan untuk mendapatkan anak,” ujar wanita berkebaya lusuh itu.
Aku tidak bisa menahan tawa. Bagaimana mungkin anak keturunan genderuwo yang terbelakang dijodohkan padaku? Mengelap ujung bibirnya saja belum bisa, apalagi memuaskanku. Bukannya senang, aku bisa saja muntah duluan.
“Kenes!”
Bapak memberi isyarat padaku untuk diam. Persetan dengan kesempatan terakhir.
“Aku pulang dulu. Silakan bapak bicara dengan genderuwo di belakang wanita ini. Daripada perawanku harus dipecahkan makhluk mengerikan, lebih baik aku mati saja.” Aku menatap semua orang di bilik bambu itu dengan berani.
Tega sekali bapak mengatur pernikahan ini tanpa menceritakan detail tentang Kodrat. Satu jam habis hanya untuk menggelung rambut, menancapkan kembang goyang, dan memakai perhiasan. Ini keterlaluan. Pria-pria sebelum Kodrat semua normal walau beberapa sudah tua bangka.
Seputus asa itukah kami?
Aku pergi meninggalkan bapak, menembus gerimis dan menapaki tanah becek. Lumpur di pinggiran tebing menggumpal di sandal kayuku. Baunya khas, campuran pohon bambu dan rerumputan.
Sambil menunggu reda, aku membersihkan alas sandal dan berteduh di bawah pohon besar pinggiran jalan.
Tak lama, terdengar suara mesin dari kejauhan. Hal ini cukup mengejutkan mengingat jarang ada kendaraan yang melintasi jalur desa. Kalau lurus terus, hanya ada rumahku, kebun simbah, lalu hutan jati besar.
“Nona! Nona, permisi!”
Seorang pria tiba-tiba muncul dengan sepeda motor hitam. Ia nampak asing karena memakai baju modern. Di pelosok seperti kampungku, semua masih menjunjung baju tradisional. Beberapa memakai kaus, tetapi sebagian besar dengan kebaya dan beskap. Semakin kaya, bajumu akan semakin kuno karena mahal.
“Ada apa, mas?” tanyaku memicingkan mata. Kutafsir, usia kami hampir sebaya.
“Sebenarnya saya sedang mencari alamat ini.”
Ia mematikan mesin motor lalu mengulurkan kertas berisi alamat yang ternyata merujuk pada rumahku.
“Saya seperti berputar-putar terus. Arahnya sudah benar, tapi selalu berhenti di tempat yang sama,” ucap pria itu menggigil sambil mengelap bibirnya.
Wajahnya tampak menarik, perpaduan Belanda dan Jawa. Tingginya menjulang dan dadanya kelihatan bidang. Tapi sayang, manusia sebaik itu terlihat lemah sekali. Pasti karena pagar ghaib, ia tidak bisa masuk. Jangankan halaman depan, kadang rumah kami hilang dari pandangan manusia biasa.
“Saya akan mengantarmu ke sana. Motornya bisa untuk berdua, kan?” tanyaku mengembalikan kertas di bawah rintik gerimis.
Kebetulan, aku juga ingin cepat pulang. Hari ini karena terlalu jengkel, tenagaku seperti terkuras.
“Terima kasih sebelumnya.” Ia mendorong motornya ke depan lalu mempersilakanku untuk naik.
Bau tubuh pria itu berbeda. Bukan karena parfum atau pewangi baju, tapi aromanya memang begitu. Tidak bisa dijelaskan, hanya terasa memabukkan.
Di antara kibasan angin dan hujan, aku mendengar suara tawa makhluk halus di sepanjang perjalanan. Mereka meledekku karena pipiku memerah saat mengalungkan tangan ke pinggang pria itu. Mesin motor yang berisik mengalahkan suara degub jantungku sendiri.
Tepat di sisi gerbang besi, sesosok kuntilanak merah melesat turun untuk mengamati tamu ‘pertamaku’. Aku diam-diam meludahinya, tapi tidak pergi juga.
“Tolong turunkan saya di sini.”
Aku mengelus bahu lalu lengannya. Sentuhan tidak sopanku membuat pria itu langsung menurut. Wajahnya nampak tegang, tapi tidak menegur. Pria memang begitu, kalau suka hanya diam saja.
Kuntilanak merah di atas kepalaku cekikikan. Kurang ajar, nanti kalau senggang aku akan menangkap dan melemparnya ke kebun belakang. Kalau sudah mengganggu, tawanya tidak bisa dihentikan.
“Kita sudah sampai? Cepat sekali,” gumamnya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa meter dari gerbang, berdiri sebuah rumah joglo di atas tanah 3000 meter persegi. Sangat luas untuk ukuran orang biasa.
Saat kami melangkah masuk, hujan perlahan berhenti, menyisakan genangan kotor di jalan setapak.
“Masuklah, alamat yang kamu tuju adalah rumahku.”
Pria itu terkejut, memeriksa kertas dan ponselnya.
“Apa anda Kenes Umbara? Anak gadis dari bapak Umbara Kersa?” tanyanya turun dari motor. Tatapan mata yang tadinya ramah berubah serius.
“Ya, saya Kenes,” sahutku menelisik. Jangan-jangan aku membuat kesalahan karena mengundangnya? Bodohnya, hanya karena terlena aku tidak menanyakan maksud kedatangannya.
“Saya Guntur Atmaja, detektif yang dipanggil untuk menyelidiki kasus hilangnya lima puluh pria di tiga kampung sekitar sini. Boleh saya masuk dan minta waktunya sebentar?”
Wajahnya kini mengintimidasi.
Detektif? Jadi dia berusaha menangkapku, batinku sinis. Sudah puluhan polisi yang mengerjakan kasus ini, tetapi hanya dia satu-satunya yang bisa masuk jauh.
“Masuklah, saya buatkan teh.”
Aku tersenyum penuh arti. Usia kami boleh sebaya, tapi pola berpikirku lebih tinggi darinya. Melihat puluhan kematian membentuk karakterku secara alami menjadi licik.
Pria ini harus aku apakan? Tidak mungkin kulepas atau kubunuh. Andai ayah setuju, aku akan memeliharanya menjadi milikku.
Ya, milikku.
Suara tawa kuntilanak tidak lagi terdengar. Makhluk itu mungkin terbang ke sarangnya di bawah pohon asam dekat bukit. Untuk mengabari lelembut lain atau mencari bapak.
Lihat, Kenes memasukkan perjaka ke dalam kurungannya. Ya, kali ini benar-benar perjaka.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN PECAH PERAWAN
ParanormalKenes Umbara dikutuk tidak akan pernah bisa melalui malam pertama.