5

26 1 1
                                    

**Guntur POV**

Aku harusnya menikah bulan ini. Lamaran sudah masuk dan tanggal pernikahanku dengan Tina sudah ditentukan. Namun, karena ada panggilan tugas dari atasan untuk menyelidiki kasus laporan orang hilang, rencana akad diundur hingga bulan depan.

Sebenarnya, aku hanya detektif baru yang beruntung memecahkan kasus besar. Potensiku terdengar dari mulut ke mulut hingga akhirnya malah menarikku ke sini. Andai tidak ada iming-iming promosi jabatan, mungkin aku tidak akan jauh-jauh datang dari kota ke pelosok daerah ini.

Sebelum memutuskan untuk mengambil kasus di desa ini, aku sudah lebih dulu menyadari banyaknya kejanggalan. Warganya aneh, lingkungannya dingin, suram, dan penuh kabut. Selain itu, tidak ada suara adzan berkumandang karena bangunan masjidnya terbengkalai. Untuk menentukan kiblat, aku harus menggunakan aplikasi ponsel.

Kejanggalan terus berlanjut saat aku terjun langsung untuk menyelidiki kasus ini. Mana mungkin lima puluh pria menghilang tanpa jejak. Terlebih mereka adalah pria dewasa dengan kisaran umur dua puluh hingga lima puluh tahun.

Pekerjaan mereka pun berbeda-beda, dari penjaga warung hingga PNS desa. Awalnya, aku optimis bisa mengungkap dalang di balik hilangnya para pria itu, tetapi setelah hampir satu bulan berkeliling, aku nyaris menemui jalan buntu.

Hingga kemudian aku menyadari satu hal. Aku belum menemui semua warga. Ratusan rumah sudah kumasuki, hanya milik Pak Umbara yang tidak pernah muncul dalam daftar saksi. Rekan detektif bilang kalau mereka tidak pernah berhasil menemukan rumahnya.

--

“Biar saya antar, motormu bisa untuk berboncengan, kan?”

Seorang wanita dengan tatapan tak biasa menawarkan bantuannya di tengah gerimis sore itu. Ia cantik, berkebaya hitam, dengan senyum melengkung panjang. Tubuhnya tinggi dan ramping.

Waktu itu, aku tersesat dan putus asa karena tidak bisa menemukan rumah Pak Umbara. Dengan motor tua milik kepala desa, aku setuju untuk diantar olehnya. Tidak ada pilihan lain karena sejak tadi, tujuanku tidak pernah sampai. Jalan di depanku seperti tidak berujung, kembali ke tempat semula.

Warga bilang, aku tidak akan pernah menemukan rumahnya. Keluarga Umbara jarang terlihat dan tempat tinggalnya jauh dari perkampungan. Jalannya terlalu berkelok hingga sulit ditemukan. Tapi nyatanya, aku sampai di sana, meskipun dengan perasaan tidak menentu.

“Bu Kedasih tidak meninggal karena gantung diri, tapi ada yang menghabisi nyawanya. Kamu percaya, kan? Karena kamu sendiri juga merasakannya,” gumam wanita cantik itu sambil menyentuh lembut leherku.

Aku yang tidak pernah percaya soal mistis, kini terpaksa menelan ucapanku sendiri. Keanehan yang kurasakan sejak awal kini terjawab. Percaya tidak percaya, perkataannya benar semua. Tidak masuk akal, tapi nyata. Dari sana aku sadar bahwa wanita di depanku bukan manusia biasa. Seberapa kuat pun aku melawan, hanya kesakitan yang kudapatkan.

“Pilihannya cuma dua, bercinta atau mati. Aku akan mencoba mendapatkannya meski harus melihatmu tak berdaya,” bisik wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Kenes Umbara.

Tidak pernah aku melihat wanita secantik dia. Meski tidak seputih Tina, aura mistisnya terpancar kuat. Aroma bunga mawar dari tengkuknya membuatku merasa lemah.

Sayangnya, Kenes harus memaksa pria untuk bersamanya karena siapa pun yang tidak mampu menahan godaannya akan menemui ajalnya.

Malam itu, aku melewati waktu dengan keringat dingin. Ruang gerakku terbatas dan suara-suara tanpa wujud terus berputar-putar di sekeliling ruang itu. Kadang ada benda yang bergerak, tapi kemudian kembali ke tempat semula. Atau bisikan tidak jelas di telingaku.

Aku bukan tidak berusaha pergi, tapi kakiku terasa terpaku di tempat. Jangankan berjalan ke pintu, menggeser tubuh saja sulit.

Saat terdengar suara kokok ayam, barulah mataku bisa dipejamkan.

--

Suara ketukan gamelan adalah hal pertama yang kudengar saat aku membuka mata. Bukan di tempat tidur, aku tiba-tiba saja sudah duduk di kursi pelaminan. Baju beskap, blangkon, dan bunga melati terselip di telingaku. Di sebelahku duduk Kenes Umbara dengan dandanan khas pengantin Jawa. Paes yang melingkari wajahnya terlihat begitu indah.

Hal itu mengingatkanku pada Tina yang kulamar beberapa bulan lalu. Terbayang wajah sedihnya jika sampai melihatku bersanding dengan wanita lain.

“Suamiku, mas Guntur Atmaja, sebentar lagi kita sudah bisa masuk ke kamar pengantin. Semua sudah disiapkan, tinggal menunggu gelar resepsi selesai,” ucap Kenes Umbara sambil menggenggam tanganku. Ia tersenyum manis padaku.

Namun, suasana acara itu terasa aneh.

Tidak ada tamu, tapi bangku-bangku besi tertata banyak sekali. Meski kosong, terasa ramai. Musik gending Jawa juga suara sinden melengking-lengking bersama deru angin malam. Namun hanya ada kami berdua di sana--juga Pak Umbara di dekat alat musik. Pria itu merokok sambil sesekali berbicara ke ruang kosong di sampingnya.

Ini gila, pasti aku sudah gila, batinku berusaha mengucap doa. Tapi sekuat apapun aku mencoba, tidak ada satu pun ayat yang bisa kuselesaikan.

Aku baru sadar kalau selama ini ibadahku tidak pernah benar.

Setelah lama bertahan, beberapa orang kemudian datang. Mereka menarikku turun--mengikuti Kenes Umbara yang berjalan ke bawah pelaminan lebih dulu. Semua mengibaratkan aku sebagai boneka mainan untuk seorang majikan.

“Rebahkan dengan hati-hati, pengantinku harus diperlakukan selembut mungkin,” ucapnya menyuruh orang di sebelah kananku untuk meluruskan kakiku ke atas ranjang.

Helai bunga mawar di atas sprei warna putih menusuk indera penciumanku. Kamar itu benar-benar harum. Suasananya temaram karena cahaya lampu digantikan dengan lilin-lilin kecil.

Tidak ada ijab kabul atau penghulu. Tapi aku sudah dipanggil suami dan ada di dalam kamar untuk menikmati malam pertamaku.

Aku bertanya-tanya dalam hati apakah aku akan selamat dari situasi ini. Tubuhku menegang saat Kenes mendekat dengan ekspresi tenang, seolah menikmati setiap momen.

“Ini adalah kesempatanmu. Kemarilah,” ucap Kenes menanggalkan kain penutup tubuhnya.

Suasana di dalam kamar itu semakin menyesakkan. Setiap sudut terasa dingin, meski udara di luar sebenarnya cukup hangat. Lampu-lampu lilin berkedip lemah, menambah kesan angker pada ruangan yang sudah penuh dengan keanehan. Aku mencoba fokus, mencari celah untuk melarikan diri, tapi tubuhku seolah tidak lagi sepenuhnya milikku. Sesuatu yang tidak terlihat menekan, menahanku tetap di tempat.

Kenes Umbara mendekat lagi, dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Matanya memancarkan keinginan yang kuat, tapi juga ada kilatan kesedihan yang mendalam di sana. “Jangan takut,” katanya, suaranya lembut, hampir menenangkan. Tapi di balik kelembutan itu, ada sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang membuat seluruh tubuhku waspada.

Aku berusaha keras untuk menemukan cara keluar dari situasi ini. Dalam kepalaku, wajah Tina terus terbayang, membuat hatiku semakin berat. “Tina,” gumamku pelan, mencoba mengingat kembali janjiku padanya, berusaha mencari kekuatan dari kenangan itu. Tapi setiap kali Kenes mendekat, pikiran-pikiran itu mulai memudar, tenggelam dalam suasana mistis yang melingkupi tempat ini.

Tiba-tiba, suara geraman yang lebih keras terdengar dari belakang, menggetarkan udara di sekelilingku. Geraman itu semakin mendekat, membuat bulu kudukku meremang. Kenes tampak tenang, seolah suara itu adalah bagian dari rutinitasnya. “Jangan khawatir, mas Guntur. Ini hanya permulaan,” bisiknya lagi.

Aku tahu aku harus bertindak, tapi entah bagaimana, aku merasa setiap langkah yang kuambil sudah direncanakan olehnya. Aku mulai menyadari bahwa mungkin bukan aku yang menangani kasus ini, tapi aku adalah bagian dari kasus itu sendiri.

Bersamaan dengan itu, tubuhku tiba-tiba bisa digerakkan. Tapi belum juga memulai apapun, suara geraman terdengar datang dari arah belakang. Aku tahu, ini bukan suara biasa.

---

KUTUKAN PECAH PERAWAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang