Part 12

11 2 0
                                    

Hari pertama dimana Bian harus menunjukkan keseriusannya. Pagi itu Bian segera mandi setelah bangun tidur. Ia bernyanyi saking senangnya di kamar mandi. Tidak menyangka Putri mau memberikannya kesempatan. Walaupun bukan hubungan pasti tapi itu sudah memberinya jalan untuk meluluhkan hati Putri yang dingin. Bian perlu menghangatkannya kembali dan secara diam-diam menyelinap masuk ke ruang hatinya.

Alfa dan Delta saling melempar pandangan satu sama lain saat Bian berjalan menuruni tangga. Auranya sangat berbeda dari kemarin lebih cerah. Bu Nindya pun ikut merasakannya. Pak Andri sibuk dengan kopinya. Mereka menunggu Bian keluar dari kamarnya. Biasanya mereka sarapan bersama. Bian menarik kursinya. Semua mata tertuju padanya.

"Kenapa?" tanyanya setelah sadar.

"Ada berita bahagia, Kak?" Justru Delta yang mengajukan pertanyaan.

Bian terdiam sesaat sebelum menjawabnya. "Eum, mungkin." ia meraih gelas yang berisi lemon tea hangat. Di minumnya sedikit. Semua orang tidak puas dengan jawabannya. "Kenapa? Apa ada yang aneh di mukaku?" Bian menyentuh pipinya. Alfa dan Delta mendelik sedangkan Bu Nindya terkekeh.

"Sudah kalian sarapan dulu," ucap Bu Nindya. 

"Iya, Ma." Anak-anaknya menjawab secara bersamaan. Mereka sarapan dengan nasi goreng serta lauk pauknya seperti sosis dan telur mata sapi sebagai tambahan. Alfa masih memperhatikan gerak-gerik Bian. Ia menyangka jika ada kabar baik dari hubungan mereka. "Bian," panggil Bu Nindya. "Perempuan yang kemarin itu teman kamu apa Chilla sih?"

"Chilla, Ma." Bian menjawabnya.

"Oh, kok akrabnya sama kamu?" tanyanya ibunya.

"Kak Bian lagi ngedeketin kali, Ma." Delta menyerobot ucapan kakaknya.

Bian memelototinya. "Aku kenal sama dia, Ma."

"Kenal apa kenal," balas Alfa sambil berpura-pura berdehem. Bian ingin sekali menjitaknya.

"Dia kelihatannya baik, dia pendiam ya?" Bu Nindya penasaran dengan hubungan mereka. Yang di lihatnya saat acara Bian tidak pernah meninggalkan gadis itu. Putranya selalu di samping gadis tersebut.

"Namanya Putri, Ma." Bian memberitahu namanya. "Putri memang pendiam. Dia cantik nggak, Ma?" tanyanya seraya bibir terukir sebuah senyuman. Meminta pendapat dari sang ibu.

"Cantik, putih lagi ya."

"Tentu saja, Ma. Dia Dokter klinik kecantikan." Bian mengucapkannya dengan bangga.

"Oh, pantes kalau begitu. Kamu sudah kenal lama?" Bu Nindya masih mengintrogasinya.

"Belum, Ma. Bian kenalnya juga sewaktu ngejemput Chilla di klinik kecantikan. Menurut Mama,  apa dia baik?"

Bu Nindya menoleh pada suaminya. "Menurut Papa bagaimana?"

Pak Andri menghabiskan sarapannya baru menjawab. "Papa kira, dia anak yang baik. Tapi pendiam seperti yang Mama kamu bilang. Mungkin karena belum akrab saja sama kita. Iya kan?" Bian menyetujuinya.

"Sifat orang kan beda-beda. Kalau Rahma, Papa sudah tau bagaimana tingkah dia." Bu Nindya menggelengkan kepalanya.

"Aku pernah liat Kak Rahma ngegodain Kak Alfa. Ih, kalau ingat jijik aku." Delta keceplosan membuka rahasia yang selama ini di jaganya.

Bian hampir tersedak. "Yang benar?" ia tercengang. Ia lantas menatap Alfa. Kakak kembarnya itu menjadi tidak enak hati. Selama ini dirinya diam saja karena menjaga perasaan Bian. Setiap datang ke rumah Rahma seolah menggodanya. Entah itu menggoda dengan tatapannya atau sengaja menyentuh bagian tubuh Alfa.

"Seperti itulah," jawab Alfa malas.

"Kenapa kamu nggak bilang?" tanya Bian geram. Jika tahu lebih awal mungkin detik itu ia akan memutuskan Rahma.

My Dear (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang