Part 13

10 2 0
                                    

Ada kekhawatiran dalam diri Bian. Bagaimana jika Putri pulang nanti, ayahnya pasti akan menegurnya. Andai cuma menegur jika melakukan kekerasan bagaimana? Hati pria itu menjadi risau. Ia sangat menyayangi gadis yang berada di sebelahnya. Tidak ingin terjadi apa pun pada Putri. Mereka baru pulang makan malam. Bian menahannya agar tidak pulang cepat. Ingin rasanya membawa Putri ke rumahnya saja.

"Apa kamu harus pulang?" tanya Bian pada Putri yang hendak turun dari mobil.

"Hah?" Dahi Putri mengerut. Ia tidak mengerti maksud Bian.

Bian mendesah. "Aku takut kamu kenapa-napa, Ayahmu," ucapnya berhenti.

"Jangan khawatir. Aku bisa menjaga diriku sendiri." Putri berusaha menenangkannya.

"Tapi," sela Bian.

"Aku akan menghubungimu kalau terjadi sesuatu," ucapnya.

"Baiklah, kalau begitu." Putri tersenyum. Ia tahu keresahan hati Bian. "Putri," panggilnya.

"Ya?"

Tiba-tiba Bian menarik tubuh Putri. Mendekapnya cukup lama. Gadis itu terpaku. Pundaknya yang tegang melemas. Putri merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan yakni bebannya seolah terangkat. Matanya berkaca-kaca. Ia menahannya agar tidak jatuh, apa lagi di depan Bian. Tidak pernah merasakan pelukan setelah sekian lama. "Please remember this, I'm here for you."

"Ya," jawab Putri serak. "Thank you," lirihnya.

Bian pun tidak mengerti kenapa dirinya begitu berani melakukannya. Di antara mereka belum ada hubungan pasti. Andai saja Putri sudah membuka hati untuknya. Ia akan memberikan perlindungan untuk Putri sepenuhnya. Dan cara segera melamarnya. Pelukan Bian mengendur lalu lepas. Putri buru-buru memalingkan wajahnya. Takut jika pria itu tahu air di pelupuk matanya.

"Aku pulang, kamu hati-hati." Putri menutup pintu mobil. Bian menatap nanar. Ia berharap tidak lama Putri mau menerimanya. Ikatannya dengan Putri cukup kuat. Itulah yang di anehkannya. Begitu cepat dan tanpa di duga. Melihat gadis itu sudah masuk ke dalam rumah. Bian baru tenang dan pulang.

Putri berjalan melewati ruangan tengah hendak ke arah tangga. Dimana kamarnya berada di lantai dua. Langkah terhenti karena suara deheman. Ia sudah menyangka jika ayahnya pasti menunggunya. Putri diam tidak bergerak sama sekali. Ia memejam matanya sesaat seraya menarik napas dalam.

"Baru pulang?" tanya Pak Ahmad dengan suara hentakan kaki yang mendekatinya.

"Ya," jawab Putri. Ia bersikap biasa saja.

"Guna tadi menjemputmu?" tanya Pak Ahmad dengan aura yang berbeda.

"Ya, tapi aku tolak."

Pak Ahmad tertawa namun bukan berarti senang tapi tawa yang menakutkan. "Kenapa kamu menolaknya? Kamu tau Ayah yang menyuruhnya buat ngejemput kamu!"

"Aku ada janji dengan yang lain." Putru masih menjawabnya dengan tenang.

"Si Bian itu?! Sudah Ayah bilang jangan berhubungan dengan laki-laki itu!" ucapnya dengan nada tinggi membuat Putri tersentak kaget. "Kenapa kamu masih nggak mau dengar apa kata Ayah, hah!"

Putri berbalik menatap ayahnya langsung. "Aku sudah bilang kan sama Ayah. Aku sudah dewasa. Aku bisa menentukan jalan hidupku sendiri!" ucapnya emosi. Perkataannya membuat Pak Ahmad berang. Ia lantas maju dan langsung melayang tamparan di pipi Putri. Hingga terdengar menggema di rumah yang besar dan sunyi itu.

"Berani sekali, kamu meninggikan bicaramu sama Ayah!" ucapnya marah. Putri tidak menyahutinya. Pipinya yang nyeri tertampar tidak sesakit hatinya. Walaupun air matanya menetes. Ia masih menunduk, wajah terhalang rambutnya akibat tamparan tadi. Putri mengigit bibir dalamnya agar isakannya tidak terdengar. Ayahnya berani berbuat kasar karena tidak menuruti keinginannya. "Itu akibatnya karena kamu berani sama ayah. Apa Bian yang mengajarimu?!" Putri diam seribu bahasa. "Karena dia, kamu berubah seperti ini?!" Pak Ahmad tetap saja menyalahkan Bian.

My Dear (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang