Part 14

16 2 0
                                    

Reaksi pertama Bian setelah mendengarnya memang berlebihan. Mulutnya terbuka dan matanya membulat. Tiba-tiba Putri mengatakan itu tanpa di duga. Gadis yang duduk di depannya masih tersenyum. Bian tidak tahu harus bagaimana. Ia menarik napas dalam. Mulutnya kini terkatup setelah sadar. "Maaf, aku nggak tau harus apa." Bian salah tingkah.

Putri terkekeh. "Kenapa? Apa jawabanku sudah terlambat."

"Bukan! Bukan itu," ucap Bian cepat. Ia menaruh sendok di atas piring. Mengelap bibirnya dengan tisu. "Apa ini benar?"

"Ya, benar. Aku menerimamu, Bian." Putri mengulang perkataannya tadi.

"Tapi," ucapnya.

"Tapi kenapa?" Dahi Putri mengerut.

Bian tersenyum sumringah. Ia meralat ucapannya. "Aku nggak tau harus bicara apa saking senangnya." Wajahnya berubah betapa bahagia dirinya. Ia masih tidak percaya. Kini telah Putri menjadi kekasihnya. Bian berjanji dalam hatinya untuk membahagiakan Putri. Apa pun akan Bian pertaruhkan. Perjalanannya menuju keseriusan yakni pernikahan tidaklah mudah. Terutama orang tua Putri, sulit untuk mendapatkan restu dari mereka. "Berarti kita?" tanya Bian. Putri mengangguk sambil mengulum senyum. Keduanya tersenyum malu-malu. "Aku nggak menyangka. Hari ini begitu indah," ucap Bian seraya menatap Putri lekat.

Gadis itu terkekeh mendengar gombalan dari Bian. "Iya kah?" tanyanya meledek.

"Ya, terutama yang di depanku sekarang. Sangat indah," sahut Bian.

Putri malu mendengarnya. "Sudah cukup, menggombal terus."

"Ini bukan gombalan, My Dear. Tapi ini kenyataannya," Bian masih menggodanya.

"Kita lanjutin makannya," Putri mengalihkan pembahasan mereka. Ia tidak bisa menahan tawanya. Di sana banyak orang yang sedang makan siang juga.

"Baiklah, kamu makan yang banyak." Mereka melanjutkan makannya. Sesekali Bian melirik Putri sambil tersenyum. Tidak pernah terbayangkan betapa cepatnya Putri memberikan jawaban. Ia tidak akan pernah melukai Putri. Itulah yang tertanam di hati dan benaknya. Bian ingin melindungi orang yang di cintainya.

Di kantor lain, Pak Ahmad melihat selembar foto. Dimana Putri sedang makan siang dengan Bian. Wajahnya menahan amarah. Setelah semalam ia memberi pelajaran, Putri tidak mendengarnya. Justru semakin menjadi, orang suruhannya memberikan informasi jika Putri yang ke kantor Bian. Pak Ahmad meminta kepada orang suruhannya itu untuk mencari tahu Bian bekerja di kantor tersebut sebagai apa. Ia ingin secepatnya di kabari.

Putri di antar oleh Bian ke kliniknya. Mereka sampai diparkiran tapi Bian enggan melepaskan genggaman tangannya. Ia merasa terlalu cepat untuk berpisah. Padahal  mereka baru saja jadian. Putri memandanginya. Bian cemberut.

"Ini sudah sampai klinik," ucap Putri memberitahu. "Jam makan siang sudah habis," lanjutnya.

Bian menghela napas. "Kenapa baru sebentar sudah pisah," keluhnya.

"Ya ampun, Bian. Aku mau kerja, begitu juga kamu kan. Pulang kerja kita ketemu lagi. Kemarin-kemarin juga seperti ini," ucap Putri tidak habis pikir.

"Kemarin lain, status kita sekarang sudah berubah. Kita menikah saja ya," ucap Bian dengan tatapan penuh harapan.

Putri tercengang. "Kita baru jadian tadi. Sekarang kamu mau menikah?" tangan kiri terangkat menyentuh dahi Bian. "Kamu sakit?" Ia merasakan tidak panas.

Bian segera meraih tangannya lalu memindahkan ke dadanya. "Hati ini yang nggak mau pisah darimu." Putri mendelik. Bian memang raja gombal. "Kita kabur saja yuk," ajaknya.

"Aku nggak mau!" sahut Putri cepat. "Lepasin aku atau aku tarik lagi kata-kataku yang di restoran tadi?"

"Jangan!" timpal Bian. "Baru juga jadian, masa iya di tarik lagi. Nggak boleh itu." Bian panik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Dear (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang