Dalam Dekapan Rasa dan Sakit

1 0 0
                                    

Hari demi hari berlalu, dan kami semakin sering saling bertukar cerita. Kami berbicara tentang hal-hal sederhana, seperti makanan favorit, film yang disukai, hingga hal-hal yang lebih pribadi. Tanpa aku sadari, aku mulai memanggilnya hanya dengan nama "Grisha" tanpa menggunakan sebutan "Kak," sebuah tanda bahwa jarak antara kami semakin dekat.

Hubungan kami berkembang menjadi lebih akrab, dan seiring berjalannya waktu, kami seperti menjadi sahabat. Setiap kali salah satu dari kami menghadapi masalah, kami selalu siap mendengarkan dan memberikan solusi. Grisha selalu ada untukku, dan aku pun melakukan hal yang sama untuknya. Rasanya seperti menemukan teman yang selalu mengerti, tanpa perlu banyak penjelasan.

Hubungan kami tidak hanya didasarkan pada cerita-cerita lucu atau kesenangan sesaat, tetapi juga pada kepercayaan dan dukungan yang terus tumbuh di antara kami.Kami menjadi tempat berlabuh satu sama lain dalam menghadapi ombak kehidupan, dan hubungan kami terasa seperti ikatan yang semakin kuat dari hari ke hari.

Aku dan Grisha memiliki banyak kesamaan dalam hal hobi dan hal-hal favorit. Kesamaan ini membuat percakapan kami mengalir dengan mudah, seperti sungai yang tenang. Kami bisa berbicara tentang musik yang sama-sama kami sukai, buku-buku yang kami baca, bahkan film yang membuat kami tertawa. Semakin banyak kesamaan yang kami temukan, semakin erat pula hubungan kami. Obrolan yang ringan menjadi semakin dalam, dan hubungan kami terus tumbuh dari hari ke hari.

Namun, waktu terus berjalan, dan tibalah saat di mana aku harus bersekolah di tempat yang jauh. Aku pindah ke sekolah yang mewajibkanku tinggal di asrama, dan aturan di sana melarang siswa membawa ponsel. Dengan berat hati, aku menyadari bahwa aku dan Grisha tidak lagi bisa berkomunikasi seperti dulu. Hari-hari yang biasanya dipenuhi dengan pesan-pesan dan tawa bersama mulai terasa kosong.Jujur saja, dalam setiap percakapan kami, tanpa aku sadari, aku mulai menaruh perasaan pada Grisha.

Meskipun aku belum pernah melihat wajahnya, perasaanku tumbuh dari cara dia berbicara, dari perhatian yang dia berikan, dan dari kehangatan yang selalu terasa dalam setiap kata-katanya. Hubungan kami yang awalnya hanya berbagi cerita telah berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan, setidaknya bagiku. Namun, sekarang jarak dan keadaan memisahkan kami, dan aku hanya bisa menyimpan perasaan itu dalam hati, berharap suatu hari kami bisa bertemu lagi.

Semakin hari, aku berusaha untuk melupakan Grisha, seperti angin yang membawa pergi dedaunan kering. "Ah, mungkin dia hanya menganggapku sebagai sahabat, dan mungkin selama aku di asrama, hatinya telah berlabuh pada orang lain," pikirku sambil mencoba merelakan. Bayangannya mulai memudar, seperti lukisan usang yang perlahan kehilangan warnanya, dan aku pun mencoba membuka hati, meskipun rasanya seperti membuka kembali sebuah buku yang telah lama tertutup debu.Setelah tiga bulan yang panjang, di mana perasaanku berayun seperti daun di tengah badai, aku akhirnya menemukan seseorang yang membuatku merasa hangat lagi. Pria itu bernama Keith, dua tahun lebih tua dariku, dan perkenalan kami dimulai dari temanku, Iani.

Keith adalah kakak sepupu Iani, dan lambat laun, kami saling mengenal dan mulai menemukan irama dalam kebersamaan kami.Keith, seperti mentari pagi yang menghangatkan setelah malam yang dingin, selalu berhasil membuatku merasa istimewa. Hampir setiap hari, ia menyelipkan surat dan cokelat di antara halaman kamus bahasa Inggrisku. "Tolong jangan pernah sedih, dan selalu bersemangatlah, Cantik," tulisnya dalam kertas kecil yang tersembunyi seperti harta karun yang menunggu untuk ditemukan. Kata-katanya adalah pelita yang menerangi hariku, meski gelap sekalipun.Keith adalah putra dari keluarga yang berada, ibarat pohon yang tumbuh di tanah subur, ayahnya seorang peternak ayam yang sukses.

Kadang, aku merasa seperti bunga liar di tengah taman yang indah, minder dan tidak percaya diri, karena keluargaku yang sederhana. Namun, Keith, dengan kelembutannya, memperlakukanku seperti seorang ratu. Ia tidak hanya mengangkatku di atas takhta kasih sayang, tetapi juga menutupi setiap kekuranganku dengan cintanya yang tulus.

Hubunganku dengan Keith berjalan lancar, meski kami tak pernah bertemu langsung. Komunikasi kami seperti benang yang terjalin erat, meski hanya melalui surat-surat yang ia kirimkan dengan kata-kata penuh kasih. Kadang, saat aku pulang dari asrama, kami saling menghubungi dan melakukan video call. Wajahnya yang tersenyum dari layar seakan menenangkan hati yang rindu, menghapus jarak yang memisahkan kami.

Namun, pada bulan Agustus 2018, awan kelabu mulai menggantung di atas kehidupanku. Aku tiba-tiba mengalami sakit yang aneh—telapak kakiku bengkak seperti balon yang terus-menerus dipompa hingga aku tak lagi bisa berjalan dengan lancar. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas duri, dan aku harus dituntun oleh teman-temanku.

Awalnya, aku mengira ini hanyalah kelelahan, seperti daun yang layu karena terlalu lama terpapar matahari. "Mungkin dengan istirahat, semuanya akan kembali normal," pikirku, mencoba menenangkan diri. Namun, hari demi hari, rasa sakit itu justru semakin parah, menyebar ke seluruh tubuhku. Kedua kakiku membengkak, seperti pohon yang akarnya mendorong tanah dengan paksa, dan tanganku terasa nyeri di setiap sendi, seperti ranting yang patah oleh angin kencang.

Aku hanya bisa menangis sepanjang waktu, air mata mengalir tanpa henti, seperti hujan yang jatuh tanpa jeda. Rasa sakit itu begitu mendalam, bukan hanya di tubuhku tetapi juga di hatiku. Rasanya seperti terjebak dalam badai yang tak kunjung reda, dengan Keith yang jauh di sana, hanya bisa mendukungku dari kejauhan. Aku merasa rapuh, seperti kaca yang retak, takut kalau-kalau aku akan pecah menjadi serpihan kecil yang tak bisa lagi diperbaiki.

Karena rasa sakitku semakin menggila, seperti api yang terus membara tanpa kendali, aku akhirnya memutuskan untuk meminta izin kepada pengurus asrama agar bisa pulang. Sakit ini seperti badai yang tak kunjung reda, menggulungku dalam pusaran ketidakberdayaan. Aku tahu, aku tak bisa bertahan lebih lama di asrama dalam kondisi seperti ini.

Sebelum pulang, aku menghubungi Bibiku terlebih dahulu. "Bibi, bisakah kau menjemputku? Aku tidak tahan lagi dengan sakit ini," kataku dengan suara yang hampir hilang oleh tangis. Asrama dan sekolahku memang tak jauh dari rumah bibi, seakan Tuhan telah menempatkan seorang malaikat penjaga di dekatku. Sedangkan jarak antara asrama dan rumahku adalah 34 kilometer, sebuah perjalanan yang terasa seperti ribuan mil dalam kondisiku sekarang.

Menunggu bibi datang, setiap detik terasa seperti jarum yang menusuk kulit. Aku duduk di atas tempat tidur, merasakan tubuhku yang semakin lemah, seperti daun yang kering diterpa angin kencang. Rasanya ingin segera berlari menuju kenyamanan rumah, namun kaki ini sudah tak mampu lagi menuruti kehendak hatiku. Aku hanya berharap, bibi bisa segera datang dan membawa pulang tubuh yang rapuh ini ke tempat di mana aku bisa beristirahat dengan tenang, jauh dari semua rasa sakit yang terus menyerang.

Continue >>>

Bintang Asing ke Bumi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang