Part 5

1 0 0
                                    

~ AFIM ~

"Kenapa di saat aku siap begini, tu penyanyi nggak dateng, sih?" keluhku, benar-benar kesal. Apa si penyanyi ini bener-bener anti plus alergi aku kali, ya? Tak bisa dipercaya, ada orang yang alergi kegantengan orang lain. Oh, aku tahu. Pasti dia takut merasa tersaingi oleh ketampananku, hahaha. Aku tertawa dalam hati.

"Heh, kenapa mukamu senyum-senyum gitu, hah? Nggak kayak orang kesel," balas Dina, cewek judes yang mengerikan setengah hidup. Inget kan tatapan dia kalau ke aku? Kalau tatapan bener-bener bisa membunuh, mungkin aku sekarang sudah antri ke gerbang surga, hehe.

"Suka-suka aku, dong. Muka juga yang punya siapa, yang sewot siapa," jawabku sambil menjulurkan lidah. 

Wleeek, tiba-tiba ada gumpalan tisu mengenai lidahku. Alhasil, tisu itu menempel di lidahku. Hueek. 

"Din, sumpah kamu nyebelin."

Aku meminta bantuan dari Yolen. Tapi, anak itu kayaknya nggak peka. Setelah sekian lama, baru cowok ganteng itu melihatku, dan hanya mengangkat bahu. Hanya mengangkat bahu, sodara-sodara! Aku tebak, hubungan mereka nggak akan lama. Ceweknya judes, cowoknya nggak peka. Duh, hubungan macam apa seperti itu, ya Tuhan. 

Eh, jangan, ding. Aku inget dari Kak Al, ucapan adalah do'a. Jangan sampai, lah, mereka putus. Masalahnya, kalau putus, gimana kalau nanti si Dina nyantolnya malah ke aku yang pesonanya sangat meyakinkan ini? Nanti, kan, aku yang bakal kena siksaan Dina tiap hari. Hiks, dunia memang kejam.

"Nggak ada Awik, Dina pun jadi," ucapan Aji itu benar-benar membuatku kesal. Aku hanya berdeham saja mengiyakannya.

"Be te we, bentar lagi graduation, lho."

"Bentar lagi? Sebentarmu itu seberapa sih, Din? Orang masih lima bulan, juga."

"Protes aja kamu, Fim. Maksudku, persiapan buat farewell partynya mereka tu sebentar lagi."

"Emang kamu panitia, Din?"

"Kamu tu, pacar sendiri nggak tau. Pacar macam apa kamu?"

"Iya, aku panitia. Masa nggak tahu. Ck. Coba yang jadi pacarku tu kamu, Ji."

"Seleraku masih bagus."

"Kurang ajar!"

"Betewe, aku juga panitia, lho!"

"Iya, nggak ada yang nanya, Fim."

"Percaya yang jadi panitia petinggi."

"Percaya lho, Din, yang jadi anggota."

"Ck."

"Heh, Yolen! Kenapa, sih? Anteng aja. Tumben."

"No prob, sob."

Yolen hanya menanggapi kami ini seperti angin lewat saja. Sebentar-sebentar dia minum. Sebentar-sebentar dia mengamati kami satu persatu. Kalau kayak gini kan rambut halus di sekitar lenganku jadi sedikit meremang. Nampak ada yang disembunyikan olehnya.

Kayaknya kalau dipikir-pikir tadi dia biasa aja, deh. Dia tadi juga lagi oke banget sama Dina. Mana tadi di kelas nama dia disebut-sebut lagi sama Pak Ari gara-gara ide dia di tugas esai keren banget, sangat modern. Tuh, kan, apa sih masalah tuh anak?

"Tuh, penyanyinya. Ternyata ganteng juga, ya," melihat penyanyi itu naik ke atas panggung, aku langsung mengomentari wajahnya.

"Fim, plis. Dia itu tukang kabelnya."

Bintang dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang