Part 1

6 0 0
                                    

~AFIM~

Sejak pertama kali bertemu, hingga hari ini bertemu, rasa itu tak pernah berubah. Ah, hal itu memang terasa aneh, mengingat kami pertama kali bertemu hanya beberapa menit, dan dalam forum umum yang sebenarnya tak terlalu berarti. Namun, tatapan matanya yang selalu cerdik dan ceria, serta senyumnya yang rasanya tak pernah lepas dari wajahnya itu, tak pernah terlepas dari pelupuk mataku sejak saat itu. Nada suaranya yang kritis, berdinamika, sekaligus lembut, seperti tak pernah lepas dari bayangku.

Sudah berapa lamakah aku berpikir mengenai gadis mungil berjilbab itu? Sejak kapankah aku mulai menyadari ada dia di kampus ini? Kalau diingat, sudah sejak OSPEK aku mengetahui tentangnya. Bagaimana tidak? Saat OSPEK, dia dan salah satu teman lelakinya itu menjadi pentolan kelas dan pencair suasana ketika aku berperan sebagai penjaga ruangan yang kebetulan adalah kelasnya. Dia yang begitu manis, menyenangkan, dan yang terpenting adalah derai tawanya yang membahagiakan. Kok bahasaku jadi alay menye menye gini sih?

"Heh, Fim!" panggilan cempreng itu, tak dinyana, berasal dari cewek kerempeng yang cerewetnya nggak ketulungan. Aku menoleh ke belakang. Cewek itu setengah berlari mendekatiku, jaket hitamnya berayun di sampiran pundaknya. Aku melengos, menatap kembali cappucino di hadapanku.

"Apaan sih, Wik?" keluhku. Sobat sih sobat, tapi kalau datang ya nggak segitu asalnya kali. Cewek kerempeng itu cuma nyengir dan duduk di sebelahku. Ia segera mengangkat tangannya dan memesan sesuatu.

"Mbak, lemon tea satu ya. Gulanya satu setengah sendok. Gelasnya yang tinggi ya, mbak, jangan gelas cantik." Ucapnya tanpa jeda sedikitpun. 

Rasanya pengin menutup wajah aja nggak sih saking malunya sebelahan sama dia?

Mbak pelayan segera berlalu. Cewek cempreng itu kini berfokus padaku. Aku hanya melengos lagi.

"Lah, bukannya tadi kamu yang minta aku ke sini ya? Gimana sih? Katanya hujan hujan enaknya ke kafe biasa. Sori tadi gak sempet ngajakin aji yang kayak saji-sajian. Kayaknya dia lagi persiapan buat naik gunung besok, deh. Trus si Yolen, biasalah dia lagi sama Dina, jadi males duluan kan ngajakin dia. Berhubung Cuma aku yang setia padamu, okelah kuterobos hujan. Eh tadi aku liat ce..."

"Ssst, kalo ngomong bisa jeda dikit nggak sih? Dan kamu kalau ngomong, volumenya beeeh ngalahin tu penyanyi." selaku tanpa iba, sembari menunjuk penyanyi cafe dengan daguku. Dia ngeselin, sih.

Namanya Awik, Danawiri Kusumaningrum. Kenapa dia nggak dipanggil ningrum biar lebih cewek? Aku juga enggak tahu. Cewek itu udah jadi sobat kentelku banget sejak kita SMP kelas 7.

Orang yang tadi disebutkan oleh sahabatku itu, juga sahabat kentelku banget. Aji, yang anak mapala itu, emang sejak SMP keren banget, dan sahabatan sama aku sejak kelas 7 juga. Yolen, yang anak mapala juga, baru ketemu saat kita SMA. Dia anak paling ganteng diantara cowok-cowok ini, aku mengakui. Dia juga udah punya pacar yang superkeren juga, namanya Dina. Ah, pokoknya sahabat kentelku banget lah mereka itu.

"Serius, tadi pas aku jalan masuk, liat Luna. Kukira, dia mau balik ke kosnya."

"Kontrakan..."

"Iya deh yang lebih tahu. Dia pakai jaket mirip punyamu lho."

"Emang punyaku."

"Hah, serius? Ceritain ceritain!"

Kejadian barusan kuceritakan pada Awik dengan rasa seperti, berjuta kupu-kupu terbang di perutku. Seperti, melilit saking senangnya. Tapi tentu saja aku mengaturnya. Selain itu, juga setelah aku melihat kilatan aneh di matanya. Apa yang dia sembunyikan? Sekentel-kentelnya sahabat, dia nggak pernah cerita masalah dia ke aku, kecuali aku tahu duluan, dan minta dia jujur.

Bintang dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang