Part 6

1 0 0
                                    

~ LUNA ~

Lagi. Lagi. Dan lagi. Entah mengapa kejadian hari ini membuatku sangat ingin pergi dari sini secepatnya. Walau aku tak melihatnya, aku sangat tahu bahwa Mas Afim mengikutiku dengan pandangannya hingga ia menghilang di balik pintu kaca itu. Tatapannya tadi saja membuat hatiku mencelos. Hingga aku duduk di kursi ini, rasanya tubuhku ini akan segera limbung saja andai saja aku belum duduk. Aku masih berpura-pura tak melihat walaupun aku menyadari bahwa sedari tadi Gana sedang mencuri pandang padaku. Aku tak bisa mengartikan tatapan Gana, atau mungkin tak mau.

Kertas mengkilap yang disodorkan padaku juga hanya kutatap kosong. Entah apa yang mengganjal di pikiranku ini.

"Nak Luna.." sapaan dari Bu Aya yang disertai dorongan kecil pada bahu kiriku membuatku terlepas dari kekosonganku. Aku sedikit linglung sejenak, dan segera menjatuhkan pilihanku pada, entah apa itu. Yang pasti, aku hanya menunjuk pada gambar yang menurutku nampak menarik.

"Capek?" 

Aku terkejut begitu Gana membuka suara di depanku. Kekosonganku buyar seketika. Aku mengangkat kepalaku, melihatnya sedang memainkan ponselnya sembari menatapku sekilas.

"Yah, sedikit." Ucapku sembari mengangkat kedua alisku, menyandarkan punggungku di kursi. Aku tidak berbohong. Aku benar-benar lelah dengan semua kejadian yang semena-mena menjarah dan menyerap energiku.

"Minum yang banyak, makanya." Aku tersenyum mendengarnya. Sudah lama aku tak mendengar kata itu dari lelaki di samping kananku. Duh, apa sih yang aku pikirkan?

Aku hanya tersenyum sekenanya. Hening. Aku bingung akan melakukan apa. Baru saja aku akan mengambil secarik kertas yang disediakan di atas meja itu untuk request lagu, Bu Aya memecah keheningan. "Dulu kalian ini temen apa, sih? Kok kelihatannya lumayan dekat."

Aku melirik Gana sekilas, bingung akan menjawab apa. Aku memang susah untuk mengendalikan pikiranku sendiri saat menghadapi situasi pelik, contohnya kejadian hari ini.

"Dulu pernah satu osis, satu teater juga." Gana melirikku, tepat ketika aku melempar pandangan kecil ke arahnya sekilas. Semoga ucapan terima kasihku tersampaikan dengan tatapan ringanku barusan.

"Ooo. Lho bukannya sekarang kalian juga di teater, ya?" ujar Bu Aya mewakili rasa penasarannya. Aku menipiskan bibir.

"Kalau di teater SMA lumayan rutin pertemuannya, Bu. Kalau teater kampus cuma kalau mau pentas saja pertemuannya. Itu saja kalau kami sedang mengerjakan naskah yang sama. Kalau tidak salah, selama di teater kampus saya dan Gana belum pernah bermain di naskah yang sama," jawabku sekenanya. Bu Aya mengangguk paham.

"Silakan minumannya. Lho, Luna? Kok di sini?" ucapan penyaji makanan itu membuatku mendongak. Aku seketika terkejut, bingung akan bersikap seperti apa. Jadi, aku hanya bisa tersenyum kecil sembari melambaikan tangan.

"Hai, Ron. Iya, hehe. Biasa. Udah izin, kok." Ucapku sekenanya. Roni mengangguk, dan menuju ke belakang kafe. Sudah bisa ditebak, akan ke mana pembicaraan kami selanjutnya.

"Itu siapa?" tanya Gana yang tak kusangka akan membuka pembicaraan tentang ini. 


Kok aku jadi tergagap gini, sih? Ini kan pertanyaan mudah. Bukan pertanyaan yang biasa muncul di kuis dadakan Pak Ari.

"Itu, emm. Temen. Namanya Roni."

"Temen apa?"

"Ya, temen. Kenal aja. Dia juga satu kampus sama kita."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bintang dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang