Bab 3 - Cerai?

58 7 1
                                    

“Bik Muna, selama ini Aufar dan Reyna baik-baik aja, kan? Mereka nggak pernah pisah kamar, kan?” tanya Rossa yang sebenarnya juga merasa bingung sekaligus heran, karena sudah lewat dari lima tahun, tetapi rumah tangga putranya belum juga dikaruniai buah hati. Berbagai spekulasi tentang ketidakharmonisan pun terbesit dalam benaknya.

Sejak tiga tahun lalu, saat Aufar dan Reyna memutuskan untuk tinggal berdua saja di rumah yang memang sudah disiapkan putranya untuk sang istri, Rossa tak pernah sepenuhnya menyetujui hal itu. Di matanya, mereka masih sangat muda untuk bisa menjalankan rumah tangga tanpa aturan keluarga dan orang tua.

Ndak, kok, Bu. Mas Aufar dan Mbak Reyna selalu akur. Ndak pernah mereka itu ribut, apalagi sampai pisah kamar. Mas Aufar terlihat sangat memuliakan Mbak Reyna,” jawab Bik Muna.

Rossa duduk merenung di meja makan, di mana semua makanan yang sudah dimasaknya sejak Subuh telah tersaji di hadapannya. Pikiran-pikiran buruk mulai menyelimuti, perkiraan tentang kemandulan langsung memenuhi pikirannya.

Semalam Aufar bilang kalau Reyna lagi telat datang bulan. Cuma kenapa tingkah laku Reyna tidak menunjukkan kalau dia sedang hamil? Semoga saja hari ini kabar baik itu memang benar. Biar nggak sia-sia aku memasak untuk Reyna.

Lama berselang, Dengan setelan jas hutam dipadu dengan kemeja warna biru langit dan dasi bermotif garis miring berwarna kombinasi hitam dan emas, Aufar dan juga Reyna yang mengenakan  lon dress lengan panjang warna putih motif bunga timbil dipadu dengan hijab biru polos, menghampiri Rossa yang tengah termenung. Tatapan matanya kosong dengan dahi mengerut, seolah banyak hal yang tengah dipikirkan oleh ibu dari dua anak itu.

“Tadi Ibu nanya tentang kalian, habis itu langsung bengong seperti itu,” ungkap Bik Muna yang baru saja menyelesaikan cucian piringnya.

Reyna dan Aufar mengangguk paham, lalu meminta sang ART untuk mengerjakan hal lain agar menjauhi meja makan.

“Ma?” sapa Aufar seraya menggoyangkan sedikit pundak sang mama.

“Eh, iya, kalian udah selesai? Kita sarapan bareng ya. Mama sudah laper.” Rossa hendak meraih piring Aufar dan menyajikan nasi juga lauk untuk putra kesayangannya.

Aufar menahan sang mama. “Sayang, tolong kamu sajiin makanan untuk aku dan mama ya. Aku mau nasi goreng aja. Mama juga pasti maunya makan nasi goreng. Kalau kamu juga mau nasi goreng buatan mama, yang lain bisa disimpen aja buat nanti,” pinta Aufar yang langsung dituruti oleh Reyna.

Dengan cekatan Reyna menyajikan tiga piring nasi goreng dan telur mata sapi untuk mereka, kemudian meletakkan makanan lain ke dalam rak khusus penyimpanan  makanan.

“Reyna udah tes kan, pagi ini? Hasilnya apa?” tanya Rossa yang berhasil menghentikan aktivitas Reyna yang tengah sibuk membereskan makanan.

“Ma, sebaiknya kita makan dulu, ya. Udah ada makanan  enak di depan mata gini, masa iya mau ditunda sarapannya? Kalau udah dingin nggak enak, kan, Ma?” kilah Aufar, mengalihkan perhatian sekaligus mencari kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang ibunda.

“Aufar! Kamu tau betul apa tujuan Mama pagi ini ke sini! Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Mama udah lama nunggu kalian turun untuk mendapat kabar baik,” kata Rossa dengan nada sedikit meninggi. “Reyna, segera duduk. Mama pengen tau apa hasilnya?”

“Ha-hasilnya ...,” jawab Reyna terbata. Bukan karena dia takut, melainkan karena hatinya juga merasa pilu.

“Ma, kita sarapan dulu, baru kita ngobrol. Ya?” pinta Aufar dengan nada lembut seraya memegang telapak tangan sang mama.

“Negatif lagi?” tanya Rossa langsung pada intinya.

“Ma ....”

“Iya, Ma, hasilnya negatif. Maaf, Reyna belum bisa kasih keturunan untuk keluarga ini.” Reyna lantas berlutut di samping ibu mertuanya. Rasa bersalah kembali menyeruak, seolah hal ini adalah sebuah kesalahan besar dalam hidupnya.

Aufar segera menghampiri Reyna, mengelus pundak sang istri untuk menguatkan hatinya, lalu meminta Reyna berdiri. “Nggak perlu kaya gini, Sayang. Udah, ya, Mama nggak akan marah, kok.” Aufar juga mengusap wajah istrinya, membersihkan sisa air mata di sana.

“Iya, Mama nggak marah. Nggak perlu nangis. Mama cuma butuh cucu, bukan butuh tangisan kamu, Reyna!” ucap Rossa dengan ketus, telunjuknya sambil menunjuk ke arah Reyna, menandakan kekesalan pada menantu yang menjadi harapan akan melahirkan penerus untuk keluarga mereka. “Lagian ya, kalian ini sudah lama menikah. Sudah lebih dari lima tahun, masa sekali aja belum pernah ada tanda-tanda kehamilan? Atau jangan-jangan, kamu pernah memakai alat kontrasepsi? Apa kamu pernah punya keinginan untuk menunda kehamilan?”

Astaghfirullah, Ma, nggak semua orang punya pemikiran seperti itu. Apalagi kami menikah di usia yang memang sudah matang. Kami nggak ada niat sedikit pun untuk menunda punya anak. Ini semua memang ujian kesabaran dari Allah untuk kita semua, Ma. Nggak hanya untuk aku dan Reyna, tapi juga untuk Mama yang memang ingin punya cucu,” ucap Aufar membela sang istri.

Sekuat tenaga Reyna menahan rasa sedih. Tangannya menggenggam erat tangan sang suami yang masih bertengger di pundaknya. Di satu sisi, hatinya sangat bersyukur karena memiliki suami yang berani membelanya di hadapan semua orang, bahkan di depan ibunya sendiri.

Rossa yang awalnya masih duduk, kini mulai beranjak. Kedua tangan menyilang di depan dada. Matanya memicing menatap sinis pada sang menantu yang justru mendapat pembelaan penuh dari putra kesayangannya sendiri.

Beberapa kali Rossa menghela napas kasar, laku berkata, “Ada akibat, sudah tentu ada sebabnya, Aufar! Kamu tadi bawa-bawa Tuhan, kan? Sekarang Mama tanya, apa yang akan Tuhan lakukan kalau manusia sudah pernah melakukan dosa atau kesalahan?”

“Pasti akan ada ganjarannya, Ma. Akan dapat hukuman ....”

“Nah, ya itu dia, ini pasti hukuman dari Tuhan. Kamu ...,” Rossa menunjuk Reyna dengan wajah memerah karena emosi, “Ngaku kamu, pasti kamu sudah pernah melakukan kesalahan, sampai-sampai anak dan juga keluarga saya yang harus menanggung akibatnya. Kamu pasti diam-diam sudah pakai kontrasepsi tanpa sepengetahuan Aufar, kan? Bukannya dari awal kalian menikah, kamu memang masih ingin berkarir, tetapi saya melarang kamu.”

Astaghfirullah, nggak gitu, Ma. Sumpah demi apa pun, aku nggak pernah pakai alat kontrasepsi apa pun. Benar kata Mas Aufar, ini ujian dari Allah, Ma,” sanggah Reyna membela diri. “Aku juga pengen hamil, Ma. Pengen ngerasain punya anak seperti perempuan lain di luar sana. Aku dan Mas Aufar juga sudah berusaha untuk hal itu. Tapi, kalau memang belum waktunya, kita bisa apa, Ma?”

Rossa menggelengkan kepala seraya kedua telapak tangan memegangi bagian samping kepalanya. Mata yang bulat sejenak terpejam, lalu kembali menatap sinis pada sang putra.

“Cukup, cukup. Mama udah pusing banget hari ini. Lima tahun lebih Mama memberi kalian toleransi, tapi nyatanya nggak ada hasil. Sekarang dengerin mama baik-baik, tiga bulan ... ya, tiga bulan dari sekarang, nggak mau tau gimana caranya Reyna harus bisa hamil, atau kalau nggak, ceraikan Reyna dan nikahi wanita lain yang lebih mampu memberikan keturunan!”

Dua MakmumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang