Aufar yang berdiri sambil menyilangkan tangan di depan dada, tersenyum. Perlahan langkahnya mendekat pada sang istri untuk memeluknya dari belakang. Beberapa kali dia berusaha mencium lembut pundak Reyna sembari menghirup aroma parfumnya yang cukup menenangkan pikiran. Namun, sayangnya, beberapa kali juga Reyna berusaha melepaskan diri dari kungkungan Aufar.
“Mas ngapain sih? Telat loh nanti. Udah berangkat sana. Katanya ada meeting,” ucap Reyna merajuk.
“Mas udah batalin semua jadwal hari ini. Mas mau kita ke rumah sakit untuk memulai program hamil kita. Kamu mau?” tanya Aufar seraya berharap Reyna akan setuju dengan usulnya.
Reyna yang sejak tadi terus meliukkan tubuh untuk bisa lepas dari sang suami, seketika terdiam. Rasanya ada yang aneh, karena sang suami mau membatalkan meeting dan sepemikiran dengan dirinya, pergi ke dokter. Wanita itu sebenarnya sudah sangat siap jika memang dokter akan menyarankannya untuk melakukan program bayi tabung. Hanya saja, selama ini mulutnya terlalu takut untuk mengutarakan keinginan tersebut, karena sang suami selalu bersikeras ingin mendapatkan anak dengan cara alami.
“Mas serius? Kita akan ke dokter?” tanya Reyna untuk memastikan, dan langsung diangguki oleh sang suami yang terasa di pundaknya. “Tapi, kan meeting Mas dan perusahaan jauh lebih penting?”
Aufar menggeleng, lalu menarik tubuh Reyna hingga kini keduanya berhadapan. “Perusahaan memang penting, tapi kamu dan rumah tangga kita adalah prioritas untuk Mas. Soal anak, kamu dengarkan Mas baik-baik, itu nggak pernah jadi masalah buat Mas. Kalaupun sekarang Mas mau periksa, bukan karena Mas betul-betul akan menuruti mama, melainkan karena Mas nggak mau kamu terlalu kepikiran masalah ini. Kita buktikan sama mama, kalau kita pasti punya anak. Oke.”
Mata Reyna berkaca-kaca. Kali ini bukan karena sedih dan rasa takut yang menyelimuti hati, tetapi karena ucapan Aufar rupanya mampu membuat hatinya terenyuh. Seketika dia memeluk erat sang suami dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Setelah kesepakatan itu, Reyna pun bersedia untuk menemani Aufar sarapan dengan nasi goreng yang sudah dingin. Kemudian mereka berangkat ke Klinik Fertilitas Graha Amerta Surabaya.
“Kenapa kita nggak ke Siloam aja sih, Mas? Kalau ke Graha Amerta, pasti banyak orang. Kalau ada salah satu yang kenal sama Mas, terus mereka berpikir seperti mama, Mas nggak malu?”
Sambil tetap fokus ke jalanan yang ada di depan, Aufar menggelengkan kepala, kedua sudut bibirnya terangkat menampilkan senyum mendengar pertanyaan konyol dari sang istri.
“Udah ya, jangan mikir yang aneh-aneh. Sekarang kamu harus rileks, karena aku sudah minta Aldo untuk membuat janji dengan Dokter Fabian, dokter yang sudah terkenal dan banyak pasien yang program hamil sama beliau itu sukses. Nggak usah mikir hal lain. Oke.”
Suasana seketika hening. Reyna hanya bisa memanyunkan bibir karena jawaban yang Aufar beri tak sesuai dengan keinginannya. Wanita itu hanya bisa menikmati pemandangan lalu lalang kendaraan yang padat. Walaupun ini masih jam kerja, tak sedikit pula warga Surabaya yang berada di jalanan dan memadati kota pahlawan ini. Beberapa tukang ojek online juga tak mau kalah, beberapa di antara mereka tampak mengantre di beberapa kedai makanan dan minuman. Beberapa anak sekolah yang masih berseragam lengkap juga terlihat di sebuah kedai mi pedas yang sedang viral, dan sudah dipastikan mereka sedang bolos. Mana ada sekolah yang membiarkan muridnya berkeliaran di jam sekolah, bukan?
“Mau jadi apa negeri ini, kalau pemudanya pada suka bolos begitu? Mereka membohongi orang tua juga guru demi bisa bebas berkeliaran. Memangnya nggak bisa nunggu nanti pulang sekolah? Toh tempatnya nggak akan pindah,” gerutu Alina yang cukup kesal dengan pemandangan tersebut. Karena menurutnya, orang tua rela membanting tulang demi anak-anaknya bisa mendapat pendidikan yang layak, tetapi anaknya justru selalu berpikir untuk bisa bebas bersenang-senang.
“Biarinlah, Yang. Mereka bertanggung jawab atas masa depannya sendiri. Orang tua hanya mengarahkan dan memberi fasilitas. Mau apa yang mereka lakukan, jika itu buruk, pasti akan mereka sesali nantinya. Kita pun kalau punya anak, nggak bisa sepenuhnya mengatur mereka. Kita harus bisa jadi orang tua yang mampu jadi sahabat untuk mereka. Jangan galak-galak kaya mama.”
Apa yang Aufar katakan memang ada benarnya. Fenomena yang terjadi saat ini, banyak orang tua yang justru berinvestasi pada anak mereka. Memberikan kebutuhan anak, dengan harapan kelak merekalah yang akan menopang masa tuanya. Padahal sejatinya anak merupakan tabungan akhirat yang Tuhan titipkan agar orang tuanya bisa mengumpulkan banyak pahala dari merawat anak-anak mereka.
Cukup lama Aufar dan Reyna membahas tentang cara mendidik anak-anak mereka kelak. Hingga tanpa sadar, Aufar sudah memarkirkan mobilnya tepat di halaman gedung Graha Amerta yang merupakan bagian dan masih satu komplek dengan RSUD dr. Soetomo. Salah satu rumah sakit terbesar di Indonesia.
Sepasang suami istri bergandengan erat menuju resepsionis untuk melakukan administrasi, lalu mereka diarahkan untuk ke lantai dua, di mana klinik khusus fertilisasi berada.
Jantung Reyna berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Telapak tangan dan kaki terasa dingin dan mulai dibasahi keringat. Tak bisa dipungkiri, banyak beban berat yang menumpuk dalam hati dan pikirannya. Bayangan kemandulan itu terasa begitu nyata, hingga ketakutan akan kehilangan Aufar kembali menyelimuti.
“Nggak perlu takut, Sayang. Mas ada di sini. Kita sama-sama berjuang untuk mewujudkan keinginan kamu dan mama,” ucap Aufar menenangkan hati Reyna.
Denting lift terdengar, layar keci di atas tombol penunjuk lantai, menampilkan angka 2, tempat yang Aufar dan Reyna tulu berada. Reyna menghela napas beberapa kali untuk mengurangi rasa gundah dalam hatinya.
Di sana, mereka melihat beberapa sepasang suami istri yang tengah duduk di kursi tunggu. Reyna pun merasa sedikit lega, karena setidaknya mungkin bukan hanya dirinya yang mengalami susah hamil hingga membuat mereka harus datang ke tempat itu.
Reyna dengan senyum ramah menyapa pasangan tersebut, kemudian duduk di bangku kosong di samping mereka.
“Sayang tunggu di sini, Mas mau ke bagian informasi sebentar ya,” pamit Aufar yang kemudian menanyakan banyak hal kepada suster yang berada di bagian ujung ruangan fertilisasi. Cukup lama dia berbicara, hingga akhirnya nama Aufar dan Reyna dipanggil untuk menemui Dokter Fabian di ruangannya.
Di dalam ruangan, Aufar pun menceritakan apa yang mereka alami tentang sulitnya Reyna bisa hamil. Seorang perawat yang duduk di samping sang dokter, mencatat semua yang Aufar katakan.
Dokter yang kepalanya hampir dipenuhi rambut-rambut putih, tetapi wajahnya masih cukup kencang dengan minim kerutan yang menandakan usia yang tak lagi muda, lantas menoleh kepada Reyna yang sejak awal hanya diam dan menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Makmum
Roman d'amourKenyataan pahit harus dialami oleh Aufar dan Reyna, yang sudah lama menunggu hadirnya buah hati, saat dokter menyampaikan bahwa Reyna tak bisa hamil. Tekanan dari orang tua yang terus mendesak agar segera punya anak, serta bayangan perceraian yang s...