“Apakah siklus menstruasi Ibu Reyna lancar?” tanya Dokter Fabian.
Reyna perlahan mengangkat kepalanya, menatap mata sang dokter yang masih menatapnya juga. “Setiap bulan, saya selalu menstruasi, Dok. Tapi memang tidak pernah di tanggal yang sama. Seringnya telat seminggu atau lebih dari sepuluh hari.”
Dokter Fabian mengangguk. Sesekali jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, mencatat keterangan Reyna untuk kemudian dianalisis. Beberapa pertanyaan kembali terlontar mengenai rasa sakit seperti apa yang Reyna rasakan ketika tamu bulanan wanita itu datang.
“Sakit sekali, Dok. Bahkan, beberapa hari kadang nggak bisa melakukan aktivitas dan lebih banyak tidur,” ucap Reyna menjelaskan. “Pernah juga sampai muntah, dan beberapa kali pingsan saking sakitnya, Dok.”
Lagi-lagi Dokter Fabian mengangguk. Dia mulai memahami dan bisa memperkirakan apa yang terjadi. “Baik, kalau gitu, apa Pak Aufar dan Ibu Reyna bersedia kalau kita lakukan beberapa macam tes untuk memastikan tentang apa yang membuat kalian sulit memiliki keturunan?”
Untuk sesaat suasana terasa hening. Muncul kekhawatiran di benak Reyna dan disadari betul oleh Aufar. Sang suami lantas menggenggam tangan istrinya, menautkan jari-jari mereka untuk meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Keduanya pun beradu tatap, lalu seulas senyum menghiasi wajah, menampilkan lesung pipi yang menambah ketampanan Aufar di mata Reyna. Detik berikutnya, pria itu pun mengangguk pelan diiringi kedipan kedua mata, makin meyakinkan Reyna bahwa tidak ada jalan lagi untuk mundur.
Reyna menelan ludahnya dengan susah payah, diikuti embusan napas kasar melalui mulutnya. “Dok, saya punya pertanyaan.”
“Silakan,” sahut Dokter Fabian.
Reyna memajukan tubuhnya hingga menempel ke meja. Satu tangannya terlipat di atas meja dengan mata menatap tajam kepada sang dokter.
“Dokter pasti sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi pada saya, kan, Dok?” tanya Reyna dengan wajah serius.
Dokter Fabian sejenak terdiam seraya bergantian melihat Aufar dan Reyna dan sesekali membenarkan posisi kacamata yang dia kenakan. “Kalau hanya perkiraan diagnosis, mungkin saya bisa, ini berdasarkan dari pengalaman menangani beberapa pasien. Tapi, kita tetap harus memastikannya dengan tes laboratorium.”
“Apakah saya mandul, Dok?” tanya Reyna langsung pada intinya.
Dokter Fabian tersenyum. “Kalau dari beberapa gejala yang Ibu Reyna alami, ini bukan kemandulan ....”
“Terus ada apa, Dok? Apa justru saya yang bermasalah?” Kali ini Aufar yang bertanya.
Dokter Fabian menggeleng. “Kemungkinan tidak ada yang mandul di antara Ibu Reyna maupun Pak Aufar. Hanya saja mungkin memang ada masalah kesuburan dengan Ibu Reyna. Bisa karena hormon, atau ....”
“Atau apa, Dok?” tanya Reyna memotong ucapan Dokter Fabian karena merasa sangat penasaran.
“Bisa karena ada yang menghambat proses pembuahan.” Sayangnya penjelasan dokter Fabian masih belum bisa dipahami oleh Aufar maupun Reyna. Mereka langsung menanyakan maksud sang dokter secara bersamaan. “Maksudnya, bisa karena ada gangguan di rahim, seperti kista atau kanker.”
Suasana kembali hening. Kecemasan seketika menyelimuti lagi hati Reyna. “Tapi, apa saya tetap bisa hamil, Dok? Atau ada kemungkinan kalau nanti rahim saya harus diangkat?”
Dokter Fabian kembali menggelengkan kepala. “Walaupun hanya satu persen, siapa pun tetap bisa hamil, Bu. Karena soal anak, itu memang hak prerogatif Tuhan. Banyak juga pasien saya yang sama-sama subur, tidak ada masalah, justru belum hamil selama bertahun-tahun. Ada pula pasien saya yang memiliki masalah seperti kista yang cukup parah, bahkan membahayakan nyawa jika hamil, justru bisa hamil dan melahirkan anaknya dengan selamat. Kita sama-sama berusaha ya, Pak, Bu. Jangan lupa untuk terus berdoa, meminta pertolongan pada Tuhan.”
Aufar dan Reyna kembali terdiam mendengar penjelasan Dokter Fabian. Apa yang dikatakan memang ada benarnya. Mereka juga memiliki keyakinan yang sama bahwa anak memang hak Allah untuk memberikannya kepada siapa pun yang dikehendaki. Manusia bisa berusaha semaksimal mungkin, tetapi tetap harus menyisakan ruang ikhlas apabila yang diinginkan tidak sesuai dengan apa yang terjadi.
“Tapi, Dok, kalau memang ada kemungkinan untuk hamil, kira-kira apa saja yang mungkin bisa kita lakukan?” tanya Reyna lagi yang masih penasaran.
“Begini, Bu Reyna, ada beberapa treatment yang bisa kita lakukan, tetapi kembali lagi, tergantung bagaimana hasil tesnya nanti. Treatment-nya itu bisa berupa suntik hormon, sampai IVF, in vitro fertilization, atau yang biasa kita sebut dengan bayi tabung,” terang Dokter Fabian.
“Kapan kita bisa mulai semuanya, Dok? Saya ingin bisa segera hamil.” Lagi-lagi Reyna menggebu setelah mengetahui kemungkinannya untuk bisa hamil. Dia tidak ingin lagi menunda apa pun. Waktu yang diberikan oleh Rossa terus berjalan. Wanita itu tidak ingin membuang waktu sedikit pun untuk bisa bersantai atau ketenteramannya menjadi istri Aufar akan kembali terancam.
“Untuk tesnya bisa kita lakukan hari ini, tapi untuk hasilnya mungkin baru bisa kita ketahui besok. Sekalian besok kita obrolkan lagi treatment apa yang harus kita lakukan berdasarkan hasil tersebut,” jawab Dokter Fabian yang makin membuat Reyna tak sabar.
“Kalau gitu, mari kita lakukan tes sekarang, Dok ....” Dokter Fabian tersenyum melihat antusias Reyna.
“Sabar dong, Sayang. Dokter Fabian juga pasti ingin bantu kita untuk segera punya momongan, tapi kamu harus tetap tenang. Oke!” Aufar sebenarnya merasa sedikit cemas, karena menyadari Reyna begitu berharap pada proses ini. Sungguh, dia tidak ingin lagi melihat kekecewaan di wajah dan mata Reyna. Karena itu sama saja seperti mengecewakan dirinya sendiri.
“Baik, kalau begitu, mari kita mulai tesnya. Ibu Reyna bisa ikut dengan Suster Indri, dan Pak Aufar bisa ikut dengan saya,” ajak Dokter Fabian.
Keempat orang itu kini keluar dari ruang kontrol Dokter Fabian. Menuju ruangan yang memang dikhususkan untuk pengambilan sampel untuk keperluan tes kesuburan keduanya.
Pengambilan sampel berlangsung cukup lama, hingga tepat saat terdengar suara azan yang menandakan masuknya waktu Dzuhur, mereka sama-sama keluar dari ruangan yang berbeda.
“Kita akan mengetahui hasilnya besok sore paling cepat, karena saya menginginkan melakukan cek menyeluruh untuk Ibu Reyna. Kalau hasilnya sudah keluar, saya akan menghubungi Pak Aufar untuk membahas kelanjutan treatment-nya,” ujar Dokter Fabian.
Mereka pun akhirnya pamit meninggalkan rumah sakit kepada Dokter Fabian, tetapi karena hari masih sangat panjang, Aufar ingin mengajak Reyna untuk berbelanja. Sayangnya Reyna menolak.
“Sebaiknya Mas antar aku pulang, terus Mas ke kantor. Nggak enak sama papa kalau Mas sampai nggak masuk. Lagian ini masih setengah hari juga,” ujar Reyna yang memang ingin beristirahat. Hari itu sangat melelahkan setelah semua drama yang terjadi.
Aufar tidak menjawab, dia hanya mempersilakan Reyna untuk masuk ke dalam mobil, lalu mengemudikannya ke tempat yang dia inginkan. Sesekali, pria itu mengangkat tangan kirinya dari setir mobil, melihat jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangan.
“Loh, Mas, ini kan bukan jalan ke rumah. Ini berlawanan arah. Mas mau bawa aku ke mana?” tanya Reyna penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Makmum
RomansaKenyataan pahit harus dialami oleh Aufar dan Reyna, yang sudah lama menunggu hadirnya buah hati, saat dokter menyampaikan bahwa Reyna tak bisa hamil. Tekanan dari orang tua yang terus mendesak agar segera punya anak, serta bayangan perceraian yang s...