Prolog

161 33 35
                                    

Asap kelabu pekat mewarnai langit sore kota Aga. Suara sirene mobil pemadam kebakaran bisa terdengar sangat jelas di sekitar Jalan Mawar. Ani, yang baru saja pulang dari kerja, lari sekencang yang ia bisa. Tidak peduli seberapa lelahnya ia pada hari itu, satu hal yang ada di benaknya: pamannya harus ia selamatkan.

Begitu ia melihat apartemen tempat tinggalnya sudah dilalap si jago merah, ia terhenti sebentar sambil menelan ludahnya. Kemudian, setelah mengumpulkan niatnya, ia segera berlari ke dalam kerumunan, berusaha untuk maju sampai ke barisan paling depan. Ketika sampai kepada salah seorang petugas pemadam kebakaran, ia bertanya dengan suara yang keras.

"Di mana pamanku? Di mana Tuan Amar?", tanyanya gelisah.

"Maaf, Nona," ujar petugas tersebut. "Aku tidak yakin ada yang berhasil selamat dari kebakaran ini."

Mendengar hal tersebut, Ani langsung menerobos petugas itu. Tubuhnya yang kecil menyelinap masuk melewati tangan petugas pemadam kebakaran yang berusaha mencegahnya.

"Berhenti! Kau tidak akan dapat menolong siapa pun", teriak petugas pemadam kebakaran itu. Namun, perkataannya tersebut tidak dihiraukannya.

Ketika sudah berhasil masuk ke dalam, Ani langsung melihat ke arah tangga yang menuju ke lantai dua. Dia dan pamannya tinggal di lantai tiga. Dengan bergegas, tanpa menghiraukan betapa sesaknya udara di apartemen yang penuh dengan asap itu dan fakta bahwa dia baru saja berlari sepanjang jalan menuju apartemennya, Ani segera berlari menaiki tangga itu sambil berteriak-teriak, "Paman! Kumohon, jawab aku, Paman! Katakan kau masih hidup!"

Begitu sampai di anak tangga terakhir menuju lantai tiga, ia melihat ke arah ruang apartemennya. Ada asap mengepul keluar dari ruangannya dan tampak, secara samar-samar, dua sosok hitam berdiri di depan ruangan tersebut. Ani terkejut. Salah satu sosok itu menoleh ke arahnya dan dengan keras Ani meneriaki kedua sosok itu, "Siapa kalian?!" Namun, secara perlahan, kedua sosok itu menghilang di dalam kepulan asap. Ketika Ani mencari mereka, dia tidak dapat menemukan mereka sama sekali. Yang ditemukannya hanyalah pintu ruangannya yang tergeletak dan terbakar di lorong lantai tiga. Ani masuk ke ruangan tersebut dan melihat pemandangan paling mengenaskan yang akan selalu dilihatnya kapan pun dia menutup matanya.

Dia melihat sosok hitam dengan tekstur kulitnya yang sangat rapuh terbaring di atas meja kerja yang sudah ambruk. Mulutnya terlihat menganga seolah hal terakhir yang dilihatnya tampak begitu mengerikan dan kelihatannya memang begitu. Itulah Amar yang sudah hangus terbakar oleh api yang begitu dahsyat.

Ani tidak mengerti bagaimana hal ini bisa terjadi pada pamannya. Air matanya perlahan menetes melihat pemandangan tersebut dan lutut-lututnya gemetaran. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Ani. Ia hanya bisa ternganga sama seperti mayat Amar. Lalu, Ani berjalan perlahan menuju mayat pamannya. Ia segera menyadari bahwa api sudah mengelilinginya. Ia melihat ke belakang dan benar saja, api sudah mulai merapatkan barisannya dan menutup jalan keluar Ani satu-satunya. Ani memandang kembali kepada mayat pamannya dan berkata, "Sudah tidak ada siapa-siapa lagi yang kumiliki di dunia ini lagi, Paman. Aku tidak mau hidup tanpamu. Aku akan segera bergabung bersamamu." Ia mendekati mayat pamannya lalu memeluknya sambil menangis tersedu-sedu.

Di tengah-tengah tangisannya, ia melihat suatu sosok muncul dari tengah-tengah api berjalan ke arahnya. Ani bisa melihat kobaran api di depannya seolah-olah memberi jalan supaya sosok tersebut bisa lewat. Ketika sosok tersebut sudah cukup dekat, ia mampu mengenali sosok tersebut. Pria tersebut adalah sang Raja. Ia memakai jubah putih dengan tudung menutupi kepalanya namun Ani masih dapat mengenali wajahnya serta rambut pirangnya yang terurai.

"Ani," kata sang Raja, "pamanmu sudah menunjukkan pengabdiannya kepadaku. Waktunya telah tiba baginya untuk pergi kepada bintang-bintang. Telah tiba juga waktunya bagimu untuk menunjukkan pengabdianmu padaku."

Ani yang kebingungan segera berdiri dan menghapus air matanya. Ia sendiri bertanya-tanya dalam hatinya, "Mengapa sang Raja bisa ada di sini? Apa hubungannya dengan kematian Paman?" Ani tidak segan-segan bertanya demi memuaskan rasa ingin tahunya. Dia pun segera membalas perkataan raja demikian, "Yang Mulia, apakah yang membuat pamanku layak menerima kematian yang tidak terhormat seperti ini kalau memang ia telah mengabdikan dirinya kepada Yang Mulia?"

Ani tahu memang bukan waktunya sekarang untuk bertanya mengenai hal tersebut apalagi mereka sedang berada di tengah-tengah kobaran api. Namun, Ani merasa bahwa seolah-olah waktu melambat di sekitarnya sejak kedatangan sang Raja. Ia memperhatikan bagaimana kobaran api yang mendekatinya mulai melambat dan bahkan tak bergerak sama sekali.

Sang Raja menjawab dengan lemah lembut. "Ani," katanya, "kematian pamanmu merupakan suatu bentuk kepahlawanan dan pengorbanan yang luar biasa dan layak untuk dihargai dan dikenang sepanjang masa. Bagaimana cara mati seseorang bukanlah hal yang penting dalam hidup ini. Yang penting ialah bagaimana cara seseorang menjalani hidupnya. Pertanyaannya sekarang ialah: apakah kamu bersedia untuk melanjutkan pekerjaan pamanmu? Aku sangat yakin itulah yang akan sangat diinginkan olehnya."

Ani terperangah mendengarkan jawaban sang Raja. Seolah-olah dia tahu bahwa Ani tadi hendak membiarkan dirinya terbakar bersama pamannya dan tampaknya memang dia tahu. Ani memandang kembali ke mayat pamannya dan memikirkan ulang keputusannya tadi. Akhirnya, ia mengiyakan tawaran sang Raja.

Kemudian, sang Raja mengulurkan tangannya dan muncullah sebuah bola cahaya dari telapak tangannya. Cahayanya berwarna ungu dan ketika dilihat, Ani merasa pikirannya dijernihkan, seolah-olah kehilangan pamannya merupakan suatu hal yang wajar baginya. Ani meraih cahaya tersebut dan benda itu masuk ke dalam tubuhnya sama seperti ketika benda itu keluar dari tangan sang Raja. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya pada saat itu.

Sang Raja bersabda, "Aku memberikan kepadamu sebuah talenta, sebagian kecil dari kekuatan Sihir Kuno yang hanya dimiliki olehku. Talenta ini akan memberimu kekuatan angin dan asap."

Sang Raja melanjutkan, "Ani, aku menunjukmu menjadi anggota Lokapala. Selama kepergianku, kamu termasuk orang yang kutunjuk untuk menjaga kerajaan ini dari ancaman-ancaman yang akan datang. Musuh-musuh akan bermunculan, Ani, segera sesudah aku meninggalkan kerajaan ini. Tugasmu ialah menemukan mereka dan melawan semua orang yang menentang kekuasaanku. Aku sendiri telah menunjuk seseorang untuk melatihmu menggunakan talentamu dan juga untuk mengurus penghidupanmu selanjutnya. Oleh sebab itu, jangan kuatir dan jalankanlah perintahku ini dengan taat! Sekarang, selamatkanlah dirimu! Gunakan talentamu untuk mengubah dirimu serta mayat pamanmu menjadi asap dan keluarlah dari sini!"

Setelah berkata demikian, sang Raja hilang lenyap dari pandangannya. Ani memperhatikan sekelilingnya dan api kembali merambat dalam kecepatan normal. Ia berbalik melihat mayat pamannya kemudian merangkulnya. "Aku harap aku tahu apa yang kulakukan," ucap Ani sambil menutup matanya. Perlahan-lahan, kepala Ani mulai mengeluarkan asap. Asap tersebut semakin lama semakin banyak sementara kepala Ani memudar, berubah menjadi kumpulan asap tersebut. Lama kelamaan, seluruh tubuh Ani beserta dengan mayat Amar sudah berubah menjadi gumpalan asap yang tebal.

Asap tersebut kemudian bergerak menuju ke arah jendela, menyusup ke antara sela-selanya lalu melayang turun menuju bagian belakang apartemen. Setelah melewati sedikit pergumulan mencoba mencari tahu bagaimana caranya memadat kembali, Ani akhirnya berhasil kembali ke wujud aslinya bersama dengan mayat pamannya. Ani meletakkan mayat pamannya dengan perlahan.

Ia kemudian berlari menuju ke kerumunan orang banyak yang ada di depan apartemennya dan meminta tolong kepada pihak medis yang baru saja datang dengan ambulans. Mereka segera menuju ke tempat mayat Amar diletakkan lalu mengangkutnya ke rumah sakit.

LOKAPALA: PEMBERIAN SANG RAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang