Bab VII | Penyergapan dan Pertanyaan

69 17 12
                                    

"Sudah mau jam dua belas," kata Ani sambil mengunyah ciloknya, "tapi belum ada tanda-tanda mereka akan datang."

"Kita tunggu saja sampai jam satu," balas Tuan Kester. "Kalau mereka tidak datang-datang, kita pulang."

Sudah dua jam berlalu sejak Ani kembali dari dalam Bank Aga untuk mengirimkan surat pengunduran dirinya. Mobil dan motor dengan bermacam-macam warna sudah datang dan pergi, tetapi masih belum juga kelihatan Maya, Badi, atau orang-orang bertudung hitam. Mata Ani sudah mulai bosan memandang parkiran Bank Aga di seberang jalan. Meskipun begitu, jantungnya masih berdegup kencang, merisaukan apa yang kiranya akan terjadi nanti kalau mereka betul-betul datang. Apakah mereka akan berhasil menangkap mereka? Atau mereka justru akan gagal?

Ani sudah membayangkan berbagai macam kemungkinan yang terjadi, tetapi pikiran-pikiran itu selalu ditepisnya dengan berkata dalam hatinya: "Kalau aku sudah membayangkannya berarti hal itu tidak akan terjadi." Dia sudah banyak belajar dari pengalamannya. Ketika dia mengira bahwa teman-teman sekolahnya akan menyukai gaya rambutnya yang baru, dia justru ditertawakan satu sekolah. Ketika dia mengira bahwa pamannya akan marah mendengar sepedanya yang jatuh ke dalam selokan, pamannya malah menjawabnya dengan lemah lembut dan membelikannya sepeda baru keesokan harinya. Itulah sebabnya Ani merasa risau. Dia tidak yakin apa yang akan terjadi sebentar lagi dan tidak tahu apakah dia siap menghadapinya atau tidak.

Ani menghela nafasnya. "Aku bilang pada Safi supaya tidak kuatir soal diriku, tetapi sekarang aku kuatir soal diriku."

"Kita semua pernah begitu," kata Tuan Kester yang sedang memotong kukunya.

"Biar kutebak," kata Ani, "kau pernah bilang begitu ke anakmu?"

"Anakku, istriku. Kau tidak ingin mereka kuatir karena kau sendiri sudah cukup kuatir. Aku pikir itu alasan yang bagus untuk menenangkan mereka."

"Apa kau kuatir sekarang, Tuan?"

"Yah," katanya sambil menghela nafas, "sepanjang pengalamanku, rasa takut dan kuatir tidak pernah sirna. Kau tidak akan pernah tahu musuh macam apa yang kau hadapi, itu sebabnya kekhawatiran dan ketakutan pasti akan muncul. Tapi, aku selalu mencoba untuk mengingat bahwa apa yang kukerjakan ini untuk sang Raja dan talenta yang kudapat pun berasal darinya. Aku pikir dia tahu apa yang dia berikan dan aku yakin apa yang diberikannya sudah cukup untuk menghadapi apa pun itu."

Kunyahan Ani berhenti. Matanya memandang dengan lekat ke arah pria itu. Kata-katanya mengingatkannya pada pamannya, yang selalu mengagumi dan mengingat sang Raja.

Dia menelan ciloknya dan berkata, "Aku berharap Lin mendengarnya juga. Gadis yang malang. Aku tidak pernah memiliki figur seorang ibu, tetapi aku bisa merasakan kesedihannya. Tidak heran dia ingin ikut bersama kita."

"Kalau begitu kau yang mengatakannya padanya. Dia melihatmu seperti melihat ibunya sendiri."

"Dan maafkan aku, Tuan, tapi aku juga mendengarmu seperti mendengar pamanku sendiri."

Tuan Kester tertawa. "Tampaknya aku cukup banyak memengaruhi pamanmu. Hei, mereka sudah datang!"

Tepat di parkiran Bank Aga, baru saja keluar dari sebuah sedan hitam, dua orang berpakaian hitam, menutupi tubuh mereka dari kepala sampai ke kaki sehingga mereka tampak seperti dua pencabut nyawa hanya saja tanpa sabit di tangan mereka. Yang satu lebih pendek dari yang lain, dan yang lebih tinggi mengangkat tangannya ke arah CCTV di pojok langit-langit lalu menurunkan tangannya lagi. Sesampainya di muka pintu masuk, mereka tampak dihadang oleh petugas keamanan, tetapi tak lama kemudian, petugas itu tampak didorong ke dalam, lalu mereka berdua masuk.

LOKAPALA: PEMBERIAN SANG RAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang